GAME OVER

Gemi
Chapter #12

11. Masa Lalu Pria Itu.

Malam itu, di ruang baca.

Kami menuju ke arah sebuah meja kaca berbentuk bulat berwarna putih mengilat dengan dua buah kursi rotan berbentuk seperti kerang yang letaknya berhadapan.

Saat melangkah memasuki ruangan itu, aku bisa melihat beberapa perabot antik yang bernilai seni. Sebuah ruang baca yang bergaya minimalis dan elegan. Cantik. Aku lebih tertarik pada ruang baca itu daripada keinginan mengetahui maksud Halmeoni membawaku ke tempat itu.

“Duduklah.” Halmeoni mempersilakan seraya duduk di salah satu kursi.

Aku duduk di kursi yang berada di hadapannya.

“Himalaya. Itu namamu?” tanyanya sambil menuangkan teh dari sebuah teko kaca ke cawan teh buatan tangan yang sudah tersedia di meja itu sejak kami datang.

“Ya.”

“Kamu berasal dari Indonesia?” Halmeoni menyodorkan secawan teh ke hadapanku.

“Ya. Terima kasih.”

“Siapa orangtuamu, atau dari keluarga seperti apa kamu. Bagiku itu tidak terlalu penting,” Halmeoni berkata sambil menuangkan teh untuk dirinya sendiri. “Karena yang terpenting adalah pilihan cucuku.”

Aku suka cara berpikirnya.

“Sudah berapa lama kamu mengenal Taeyang?” tanyanya.

“Cukup lama,” jawabku.

“Selama apa?”

“Sebenarnya, kami sudah saling kenal sejak lama,” jelasku. “Tapi, kami baru bertemu lagi beberapa waktu belakangan.”

Halmeoni mengerutkan dahi. “Begitukah?”

“Ya.”

Ia terdiam sejenak, lalu berkata lagi. “Apa kamu tahu, siapa gadis yang berbincang dengan Taeyang di ruang makan tadi?”

“Kim Hae-Won Eonni?”

“Benar. Kim Hae-Won,” ujarnya. “Dia adalah gadis baik-baik yang kami harapkan bisa menjadi pasangan Taeyang.”

Ya, tentu saja. Itu bisa dimengerti.

“Keluarga kami sangat berharap mereka akan kembali bersama lagi,” Halmeoni melanjutkan. “Karena bahkan setelah mereka memutuskan untuk berpisah, mereka masih selalu bersikap seperti saat mereka masih sebagai sepasang kekasih. Mereka tidak terpisahkan dengan mudah.”

Aku mengangkat alis. Oh, begitu rupanya. “Kim Hae-Won Eonni memang sangat mudah disukai,” kataku tanpa merasa terganggu akan informasi itu.

Halmeoni meneguk tehnya sambil mengamati sikapku.

Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang ia inginkan saat membawaku berbincang di tempat ini. Tetapi, aku pikir saat ini ia sedang menilaiku, itu terlihat jelas dari bagaimana caranya melihat ke arahku.

“Kim Hae-Won dan Taeyang telah berteman sejak mereka kecil,” Halmeoni berkata, “Hae-Won adalah satu-satunya gadis yang mampu menangani Taeyang yang menjadi sangat berubah sejak ia ditinggalkan ibunya.”

Aku mengangguk. Aku bisa memahaminya. Mereka berdua sudah berteman sejak kecil, mereka menjadi dewasa bersama dan mereka pernah menjadi sepasang kekasih. Mereka memiliki hubungan yang baik.

“Taeyang adalah seorang pria yang sangat baik.” Halmeoni menatap lurus ke arahku. “Kukatakan ini bukan karena dia cucuku, tapi karena begitulah kenyataannya. Dia adalah seorang pria yang baik, meski terkadang dia selalu melakukan sesuatu yang membuat orang akan menjauhinya. Dia hanya seseorang yang tidak mudah membuka perasaannya dan tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan benar.”

“Ya.” Aku mengangguk lagi. Itu hal yang tidak bisa dibantah.

“Taeyang ditinggalkan ibunya saat ia berusia delapan tahun. Saat itu, ia mengetahui kalau ayah yang membesarkannya bukanlah ayah kandungnya,” Halmeoni berkata dengan wajah serius. “Ia juga mengetahui, bahwa alasan ibunya pergi meninggalkannya adalah untuk kembali pada kekasih lama ibunya. Pria itu, ayah kandung Taeyang.”

‘Apa?’ Aku terkejut dan sungguh bingung. Bukan hanya karena cerita yang kudengar, tetapi juga karena aku tidak mengerti mengapa Halmeoni bisa mengatakan sesuatu yang sepenting itu kepada seorang yang baru saja dikenalnya.

“Kamu mengerti?”

“Ah, maaf. Tapi, saya tidak mengerti.”

“Taeyang Wisesa tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga ini,” Halmeoni berkata dengan nada tenang dan dingin. “Jika kamu mendekatinya karena melihat keluarga kami atau karena posisinya saat ini. Sebaiknya kamu memikirkannya kembali. Sebab, semua itu bisa hilang dalam sekejap.”

‘Ah, begitu? Dia mencoba memperingatkanku.’ Aku tersenyum dengan anggun. “Saya mengerti.”

Halmeoni menaikkan sebelah alisnya. Ia mungkin sedang menebak isi kepalaku saat melihat reaksiku.

“Chandra Wisesa, putraku, adalah satu-satunya orang yang selalu membanggakan Taeyang sebagai putranya,” Halmeoni melanjutkan, “Karena putraku jatuh sakit, di usia muda Taeyang harus menerima semua yang dipercayakan oleh putraku kepadanya. Karena itu, dia harus menghadapi seluruh keluarga, keluarga ayahnya yang memandangnya sebagai anak seorang perempuan jalang.”

Aku tertegun. Itu adalah situasi yang sangat rumit untuknya, tapi dia masih tetap bertahan di tempat ini. Aku jadi ingin tahu, apa Halmeoni juga menganggapnya anak perempuan jalang?

“Anak itu telah membuktikan padaku bahwa dia layak untuk menjadi anak dari putraku,” Halmeoni melanjutkan lagi, “Jadi, aku memberinya hak untuk tetap menjadi cucuku karena dia layak untuk itu.”

Aku tersenyum tipis. Sepertinya, dia menyayangi cucunya meski dia tidak mengatakannya secara gamblang. Aku bisa melihat kemiripannya dengan Taeyang, cucunya itu, mereka sama-sama memiliki gengsi yang tinggi. Aku tidak percaya mereka tidak memiliki darah yang sama.

“Hae-Won adalah satu-satunya pendukungnya. Gadis itu selalu berada di sampingnya. Menghiburnya dan membuatnya bisa bertahan dari orang-orang yang memandangnya sebagai seorang putra yang harus dibuang.” Halmeoni menghela ringan. “Hubungan Taeyang dan Hae-Won bertahan sangat lama, sampai akhirnya mereka berpisah ketika Hae-Won menanyakan komitmen serius, sebuah pernikahan.”

“Jadi, Taeyang ssi menolak untuk menjalani hidup dalam ikatan pernikahan?”

“Seperti itulah. Dia membuat gadis itu pergi.”

“Taeyang ssi tidak seperti pria yang memiliki trauma dalam urusan cinta.”

“Dia membenci ibunya karena meninggalkannya. Dia juga membenci sikap ayah yang membesarkannya karena terlalu mencintai perempuan yang telah pergi itu,” lanjut Halmeoni, “Dia membenci orang-orang yang menganggapnya remeh. Dia memiliki banyak kebencian di dalam hatinya.”

“Saya yakin, Taeyang ssi juga memiliki banyak cinta di dalam hatinya.”

“Menurutmu begitu?”

“Taeyang ssi hanya sulit menunjukkannya.”

“Dia mungkin memilikinya. Tapi, cinta yang dia percayai hanyalah satu kata yang digunakan untuk menaklukkan seseorang agar bisa dimanfaatkan.”

Kalimat Halmeoni yang terakhir itu mengingatkanku pada permainan yang sedang dimainkan olehku dan Taeyang. Kata cinta yang dimanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu. Itu membuatku tersenyum sendiri.

“Namun, Taeyang ssi tidak akan bertahan di tempat ini jika dia hanya berpikir seperti itu,” kataku, “Saya yakin, Taeyang ssi masih berada di sini karena dia percaya bahwa ada cinta yang tulus dari keluarga yang menyayanginya.”

“Keluarga yang menyayanginya?”

“Sebuah keluarga bukan tentang hubungan darah saja,” kataku dengan nada ringan. “Itu adalah orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya di saat dia dalam keadaan terburuk sekalipun. Itu adalah ayahnya dan Anda, Halmeoni. Taeyang ssi pasti sangat menyayangimu, meski dia tidak mengatakannya.”

Halmeoni tersenyum hangat. Pertama kalinya ia tersenyum dengan raut wajah seperti itu sejak kami berbincang. Senyuman itu seketika menanggalkan kesan angkuh dan dingin dari dirinya.

“Pantas saja dia mengenalkanmu padaku.”

“Eh?” Pantas saja? Kalimat itu lagi.

“Dia tidak akan mengenalkan seorang gadis pada neneknya ini, jika gadis itu bukan seseorang yang benar-benar dia kagumi,” Halmeoni berkata. “Hingga saat ini, hanya dua orang gadis yang pernah dibawanya menemuiku. Kim Hae-Won dan kamu.”

Aku menatap ke arah Halmeoni dengan ekspresi tak percaya.

“Bagaimana dia bisa mengagumimu, aku mengerti itu sekarang.”

‘Tapi, aku tidak mengerti sama sekali.’

“Dia mengagumimu meski mungkin dia tidak pernah mengatakan itu padamu.”

Itu membuatku merinding. Bagaimana mungkin pria seperti Taeyang Wisesa mengagumiku?

“Aku sangat mengenal cucuku. Jadi, aku tahu apakah dia bersungguh-sungguh menyukai seorang gadis atau tidak,” Halmeoni berkata dengan senyuman terkesan. “Saat ia datang padaku bersama seorang gadis, sebenarnya ia sedang memamerkan padaku, seperti inilah gadis yang disukainya dan gadis ini tidak akan bisa ditolak oleh seluruh keluarga kami.”

‘Sayang sekali, Halmeoni salah kali ini,’ pikirku dengan senyuman kaku dan perasaan tidak enak karena sudah menerima kepercayaannya yang berlebihan.

“Karena itulah, rahasia keluarga kami ini kuceritakan padamu,” ujar Halmeoni. “Karena aku percaya, gadis yang dikaguminya tentu bukan gadis yang biasa.”

“Bagaimana jika Halmeoni salah?” kataku tiba-tiba.

“Apa?” Air muka Halmeoni sedikit berubah.

Halmeoni sudah mengatakan sebuah skandal besar kepada gadis yang baru dikenal. Itu bisa saja bocor dan menjadi masalah besar.”

“Apakah kamu akan membocorkannya?”

“Tidak,” jawabku. “Bukan karena saya tahu itu akan sia-sia. Konglomerat yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan berita, hanya akan membuat saya menyesali perbuatan saya. Bukan itu alasan saya tidak akan membocorkan perbincangan ini kepada siapa pun. Tetapi, karena saya tidak pernah peduli seperti apa latar belakang pria yang menjalin hubungan dengan saya. Ini bukan tentang harta atau jabatannya. Saya dan Taeyang ssi memutuskan untuk menjalin hubungan, bukan karena hal-hal seperti itu.” Aku sedang menegaskan padanya tentang satu kesalahannya dan aku tidak tahu bagaimana pemikirannya tentang kalimat yang kukatakan.

“Kalau begitu, berjanjilah. Jangan pernah mengecewakan dia. Jangan pernah meninggalkannya seperti ibunya dan Kim Hae-Won.”

“Eh?” Aku tidak segera menjawab. Kalimat yang kukatakan ternyata membuatnya semakin memercayaiku. ‘Kalau saja Halmeoni tahu hubunganku dan cucunya yang sebenarnya …’ Aku tidak ingin membayangkan apa yang akan ia lakukan saat ia mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

“Himalaya?”

“Ah, i, iya!” aku gugup dan jawabanku meluncur spontan, “Kecuali Taeyang ssi meninggalkan saya, saya berjanji tidak akan pernah meninggalkannya.”

Senyuman lega menghiasi wajah Halmeoni. “Terima kasih.”

Aku tersenyum kaku. ‘Apa yang sudah kukatakan? Apa yang aku janjikan sebenarnya?’

Tiba-tiba aku merasa bersalah pada Halmeoni yang telah memercayaiku seperti itu. Aku merasa bersalah karena mengucapkan janji yang mungkin tidak akan bisa kutepati.

 

***

 

Haebaragi, siang itu.

Di layar tablet tipis berukuran sepuluh inci beberapa gambar desain perhiasan, patung, topeng dan bingkai foto, sedang kuperhatikan dengan asal. Sebab pikiranku saat ini sedang berada di tempat yang lain. Saat itu suara langkah kaki terdengar, seorang pengunjung memasuki toko kami.

“Eoseo oseyo,” (selamat datang) aku berkata, seraya menoleh ke arahnya. “Oh!”

Rupanya Samudra yang datang.

“Siang,” ujarnya, sambil melangkah ke arahku.

“Siang,” balasku.

Ia tersenyum dan melihat-lihat isi toko.

“Mencari suvenir?” tanyaku.

“Aku mencari kamu, Hima.”

Ah, begitu? “Ada yang ingin kamu bicarakan?”

Lihat selengkapnya