Aku selalu menepati janji.
Dan, karena itulah kami berada di tempat ini. Private dining room di suatu restoran.
Bos Han Kang yang baru saja tiba segera duduk di hadapan Taeyang dan aku. Kami duduk berseberangan, menghadap sebuah meja besar yang kosong.
“Belum memesan makanan?” tanya Bos Han Kang.
“Kami tidak akan makan,” jawab Taeyang—tadi ia bahkan menolak saat seorang maitre d’ datang membawakan wine terbaik yang selalu disuguhkan gratis untuk para tamu VIP. “Saya tidak menganggur. Waktu saya sangat terbatas. Jadi, katakan dengan cepat apa yang ingin Anda sampaikan.”
Aku menoleh ke arahnya. Kenapa dia bersikap seperti ini lagi? Kupikir, dia bersedia bertemu ayahnya karena akan berdamai.
Bos Han Kang menanggapi keangkuhan Taeyang dengan sikap tenang. “Berapa lama waktu yang kamu punya saat ini?”
“Lima menit.”
“Lima menit.” Bos Han Kang mengangguk. “Itu memang waktu yang sangat terbatas untuk makan dan berbincang tentang bisnis kami. Karena itu, sepertinya kita harus membuat janji untuk pertemuan lebih lama di lain waktu.”
“Kalau begitu, aturlah semua itu melalui sekretaris saya,” ujar Taeyang lagi, masih dengan nada yang sama sekali tidak bersahabat.
“Baiklah.”
Taeyang menatap jam tangannya. “Saya harus pergi sekarang.” Ia beranjak berdiri. “Kalau begitu, permisi. Selamat malam.”
Taeyang melangkah pergi, tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku membuatku ikut terseret bersamanya dan hanya bisa membungkuk sekilas untuk pamit kepada Bos Han Kang.
“Taeyang …”
Suara Bos Han Kang terdengar di belakang saat Taeyang meraih gagang pintu. Taeyang dan aku pun berhenti.
“Temuilah ibumu,” Bos Han Kang melanjutkan kalimatnya.
Taeyang sepertinya tidak peduli sama sekali akan niat baik sang Ayah. Ia tidak menanggapi perkataan itu dan melanjutkan langkahnya. Ia membuka pintu dan keluar dari ruangan itu, membawaku bersamanya.
“Kenapa tanganku ditarik-tarik begini?”
“Kalau tidak, kamu masih akan duduk di sana, ‘kan?” ujar Taeyang sambil terus melangkah.
Iya. Itu benar juga. “Ah! Tunggu dulu! Kamu lupa menanyakan di mana makam ibumu.”
Taeyang berhenti melangkah dan melepaskan tanganku. “Kalau begitu, tanyakan sana!”
“Eh?”
Taeyang menatap datar. “Aku sudah menemuinya, seperti yang kamu mau.”
Sepertinya dia berencana membuatku sangat malu di depan Bos Han Kang.
“Aku tunggu di mobil.” Ia tersenyum melihat wajah tidak senangku, dan melangkah pergi meninggalkanku tanpa ragu.
Aku bergeming. “Dia selalu bersikap sesuka hatinya …”
Aku mengembuskan napas kesal dan terpaksa berbalik ke arah ruangan yang baru saja kutinggalkan itu. Namun, aku segera berhenti saat melihat Bos Han Kang keluar dari ruangan itu dan melangkah menuju ke arahku.
“Ajeossi …”
“Terima kasih,” Bos Han Kang berkata sembari berhenti di depanku.
“Ya?” Terima kasih? Kenapa?
“Karena sudah menepati janji.”
“Oh …” Aku mengangguk.
Bos Han Kang tersenyum. “Dia pasti sangat menyukaimu.”
“Eh, sa, saya?” Itu mengejutkan. Terutama karena seingatku, kalimat serupa itu pernah kudengar juga sebelum ini.
“Dia menemuiku karena kamu, bukan?”
“Oh, tentang itu. Saya yakin, itu karena keinginannya,” ujarku.
“Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya orang yang membuatnya mau berbicara padaku.”
“….”
“Dia pasti sangat menyukaimu sampai dia menjadi sangat menurut.”
Jadi, menurutnya begitu. Tapi, itu tidak benar. Sebenarnya, Presdir Taeyang itu hanya menyukai Haebaragi kami. Sayang sekali, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. “Saya sangat tersanjung jika memang demikian,” aku tersenyum canggung. “Oh, iya. Ajeossi, tadi, Ajeossi mengatakan agar Taeyang ssi menemui ibunya …”
“Ah, maksudku adalah agar dia mengunjungi rumah abu ibunya.”
“Rumah abu? Di mana itu?”
***
Yangpyeong-gun. Kolumbarium yang sepi.
Taeyang menatap lurus ke arah foto seorang perempuan cantik berambut pendek sebahu yang mengenakan gaun warna beige dengan detail eyelet dan berlengan panjang model balon. Perempuan itu tersenyum dan memeluk seorang anak laki-laki berkemeja putih rapi yang berdiri dengan sikap angkuh—foto Taeyang saat berusia delapan tahun bersama ibunya. Foto tersebut berada di dalam salah satu kotak abu berpintu kaca, di sampingnya terdapat guci putih dan sebuah nisan kayu.
Kami berada di Rumah Abu dimana abu ibunya tersimpan. Sejak kami datang tak ada satu kata pun kami ucapkan. Hingga kudengar suara beratnya berucap lirih.
“Eomma ....” Suara Taeyang keluar untuk pertama kali setelah kami datang ke tempat ini. Kepalanya tertunduk dan suaranya mulai terdengar serak. “Eomma ...”
Hanya satu kata yang dia ucapkan berulang-ulang. Ia mengucapkan satu kata itu sambil menahan air mata yang sudah menumpuk. Sepertinya tidak ada kata lain yang bisa dikatakannya untuk mengungkapkan penyesalan yang terlihat sangat jelas di wajahnya.
Aku merasa hatiku menjadi sakit saat melihatnya seperti itu, seolah aku bisa merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Ibu yang begitu ia benci karena meninggalkannya itu ternyata sangat menyayanginya lebih dari yang diketahuinya.
Aku berusaha menahan diriku agar tidak menangis. “Saat meninggalkan orang yang mereka cintai, orang yang sudah meninggal hanya punya satu keinginan,” ujarku. “Melihat orang yang mereka cintai hidup dengan bahagia.”
Meski tidak ingin, tapi air mataku keluar begitu saja saat aku mengatakan itu. Karena itu adalah ucapan Papa di saat Mama meninggalkan kami dulu.
“Ibumu pasti menginginkan itu,” kataku lagi.
Taeyang menghela napas panjang, seperti melepas sesak yang tertahan di dalam dadanya.
Aku mengusap air mataku dan berusaha tersenyum. Tapi, air mataku masih saja keluar sampai menumpuk di mataku.
Taeyang yang berdiri di sebelahku menolehkan kepala ke arahku sementara di belakangku tangannya menepuk-nepuk bahuku dengan lembut. Aku pun mengangkat tanganku dan menepuk pelan punggungnya. Beberapa saat kami berdiri seperti itu, saling mendukung satu sama lain tanpa mengatakan apa-apa.
“Taeyang ssi,” kataku akhirnya, “Mau kuberitahu cara untuk menghilangkan kesedihan?”
“Kamu mau menghiburku?”
Aku mengangguk dan tetap menjaga senyumku. “Cara menghilangkan kesedihan yang pertama.”
“?”
“Makan yang banyak.”
Taeyang menghela napas lagi, raut wajahnya mengatakan isi kepalanya, seolah dia berkata: ‘itu caramu menghiburku? Yang benar saja?’.
Aku memegang perutku yang tiba-tiba berbunyi.
“Kamu lapar?”
Aku mengangguk dengan wajah memelas. “Karena kupikir kita akan makan malam di restoran tadi, jadi aku belum makan apa-apa sejak siang …”
Taeyang tersenyum tipis. “Baiklah.”
***
Nonhyeon-dong. Apartemen Taeyang.
“Kenapa kita makan di apartemenmu?” aku berkata, sembari berjalan menyusuri apartemennya.
Sesekali aku melongok ke ruangan-ruangan di dalam apartemen itu. Bukan hanya melihat seberapa luas dan mewahnya tempat tinggal seorang pewaris Grup World, tetapi juga melihat berbagai karya seni yang terpajang di beberapa tempat.
Apartemen mewah yang menggabungkan gaya modern dan tradisional. Aku terkagum. Ornamen modern seperti kaca dan baja tampak di beberapa tempat, disatukan dengan perabotan mewah. Warna-warna netral menguasai seluruh ruangan, menciptakan suasana yang menenangkan dan menghangatkan.
Aku sangat tertarik pada penataan dekorasinya. Beberapa perabot terlihat unik, aku merasa seperti berada di galeri seni. “Aku ingin apartemen seperti ini,” gumamku.
“Kamu bisa memiliki apartemen ini.”
Taeyang tiba-tiba muncul di belakang saat aku sedang melongok ke ruang bacanya yang terlihat sangat nyaman, dia membuatku sedikit kaget.
Aku menolehkan kepala ke arahnya dengan tatapan melebar. “Benarkah?”
Taeyang mengangguk. “Kamu mau apartemenku ini?”
Aku menatap wajahnya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi bercanda. “Jangan bilang kalau untuk mendapatkan apartemen ini aku harus menukarnya dengan tokoku,” ujarku seraya pergi dari hadapannya, “Tidak. Terima kasih. Aku akan membeli apartemenku sendiri saat aku punya uang nanti.”
Taeyang mengikuti di belakang. “Kenapa kamu begitu mempertahankan toko itu? Tidak masuk akal menolak apartemen ini. Kamu bisa hidup dengan nyaman di sebuah apartemen mewah. Kamu akan mendapatkan perhatian sebagai gadis kelas atas. Harga apartemen ini beserta seluruh isinya juga lebih mahal dari tokomu itu.”
“Tukang pamer.”
Aku melangkah ke arah ruang tengah. Dan mengempaskan tubuh di sofa berwarna biru gelap, duduk menghadap ke arah meja kaca dengan kaki meja terbuat dari besi berwarna emas itu. Di meja sudah terhidang berbagai makanan dan minuman yang tadi kami beli dan kami letakkan saja di sana. Aku mengambil sekaleng jus.
“Aku tidak bisa menukarnya dengan apa pun,” kataku sambil membuka kaleng jus di tanganku.
Taeyang duduk di sofa abu-abu di depanku. Ia mengambil kopi kalengan dari meja, membukanya dan meminumnya. “Kenapa?”