GAME OVER

Gemi
Chapter #15

14. Pria Bunga Matahari dan Pria Cincin.

Berbagai hal di masa lalu menjadi semakin samar saat aku beranjak dewasa.

Banyak hal yang hilang karena terlupakan. Hanya beberapa yang terkadang kembali, terlintas begitu saja.

Dan hari ini, kenangan samar ketika aku masih seorang gadis kecil tiba-tiba saja terlintas. Ke hari itu, saat musim sedang dingin seperti sekarang.

‘Dia datang lagi dan menatap dinding itu lagi.’

Dia yang berdiri di depan Dinding Kenangan terlihat menyilaukan di bawah cahaya lampu.

“Dunia ini,” ucapnya sembari menatap lurus ke arah foto-foto di Dinding Kenangan, “adalah dunia yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh siapa pun lagi.”

“Oppa,” kataku sambil melangkah menghampirinya, “tulis saja surat pada orang itu,”

Pemuda bertubuh jangkung itu menoleh dan tersenyum. Dia sangat jarang tersenyum, jadi saat tersenyum dia terlihat benar-benar manis. Matanya menatap, berbinar cerdas dan tajam—meski sering terlihat sedih, tatapannya selalu terasa hangat. Rambutnya yang hitam menjadi berkilau saat ditimpa cahaya dan poninya jatuh di dahinya dengan sedikit berantakan. Jika dia berdiri di keramaian, dia pasti akan menjadi pusat perhatian dengan mudah.

“Surat?” ujarnya.

“Ya. Kirimkan kepada orang yang selalu Oppa lihat di Dinding Kenangan.”

“Oh, itu …”

Kusodorkan pena di tanganku padanya. Bunga matahari kaca di ujung pena itu berkilau-kilauan. “Ini!”

“Untukku?”

Aku mengangguk dan tersenyum lebar. “Ini adalah tongkat sihir kesayanganku. Sekarang kuberikan pada Oppa untuk digunakan seperti si … hir ….”

“Baiklah!” Ia berlutut dengan satu kaki ditekuk ke lantai dan mengulurkan kedua tangan padaku, berlagak seperti menerima sesuatu dari seorang ratu.

Kuletakkan pena itu ke tangannya. “Kuserahkan padamu, Oppa.”

“Terima kasih, Nona Penyihir Cantik!”

“Hihihi …”

Sebagai gadis kecil, aku sangat menyukainya. Dia membuatku gembira setiap aku melihatnya datang mengunjungi Haebaragi. Aku yang saat itu masih seorang gadis kecil—hingga sekarang pun—menganggapnya sebagai Cheotssarang Oppa. Oppa cinta pertamaku.

Senyumanku mengembang karena ingatan masa lalu itu. Wajah Oppa di Dinding Kenangan itu membuatku mengingat sesuatu yang saat beranjak dewasa hanya kuanggap sebagai ‘kisah masa kecil yang lucu’.

“Dia mengenalku sejak semula,” aku bergumam sendiri. “Oppa … bukan, Taeyang ssi.”

Wajah Oppa di dalam bingkai foto di Dinding Kenangan itu dan wajah pemuda di dalam bingkai foto di ruang baca apartemen Taeyang, adalah wajah yang sama. Ya, Cheotssarang Oppa dan Taeyang adalah orang yang sama.

Aku tidak menyadari pada awalnya. Namun, hari itu, ketika melihat Taeyang berdiri di depan Dinding Kenangan—saat ia datang ke Haebaragi untuk mengajakku menemui Halmeoni—aku pun mengetahuinya.

Wajahnya menjadi semakin tampan saat usianya bertambah, ia pun telah membentuk tubuh dengan berolahraga. Penampilannya berubah dibandingkan saat usianya dua puluhan.

Akan tetapi, ada satu hal yang tidak berubah. Dia yang dulu dan sekarang masih membuatku menanyakan sesuatu yang sama.

“Foto siapa yang selalu dilihatnya di tempat ini?”

Aku mengalihkan tatapan dari fotonya dan mulai meneliti setiap foto yang ada di dinding satu persatu. Ada sekian banyak foto, bagaimana aku bisa menebak foto siapa yang dia lihat?

Aku melihat wajah di dalam setiap foto dengan cermat. Mulai dari ukuran foto yang besar sampai yang kecil, dari sudut ke sudut, hingga mataku menjadi lelah.

Dan, kemudian pandanganku terhenti di salah satu foto.

“Oh! Ini!”

Foto seorang anak laki-laki bersama seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terlihat cantik dalam gaun berwarna beige. Foto yang sama baru saja kulihat di rumah abu ibunya Taeyang beberapa waktu lalu.

 

***

 

Jantungku berdebar kencang, seperti saat sedang bersiap melompat dari ketinggian dan terbang dengan wingsuit.

Fotonya dan ibunya ada di Haebaragi …’

Meskipun tubuhku sedang duduk di kursi pesawat, pikiranku berada di sebuah foto yang kulihat di Dinding Kenangan pagi tadi. Foto Taeyang kecil dan ibunya.

‘Apa dia menghentikan proyek itu karena Haebaragi?’

“Sepertinya kamu meninggalkan sesuatu …”

Aku tersentak oleh suara itu. Dahiku langsung mengernyit saat melihat si pemilik suara. “Kamu ... ngapain di sini?”

“Memangnya kenapa?” Samudra duduk di kursi kosong di sebelahku dengan sikap elegan.

“Ini kelas ekonomi. Keluarga pemilik Grup World kenapa duduk di sini?”

“Aku sedang berhemat,” jawabnya.

“Berhemat?” Mana mungkin aku percaya. “Oh, begitu.”

“Tidak juga, sih. Sebenarnya aku di sini hanya untuk duduk di dekatmu.” Samudra tersenyum sembari mengangkat alisnya sesaat.

Aku menatapnya dengan wajah datar. Mungkinkah neneknya tidak bicara padanya tentang sesuatu seperti ‘jangan pernah berhubungan dengan gadis bernama Himalaya’? “Oh, ya?”

“Iya.”

“Hummm …”

Samudra tertawa ringan. “Yah, tentang perjanjian kamu dengan Nenek,” katanya akhirnya. “Itu hanya perjanjianmu yang menyatakan tidak akan berhubungan dengan keluarga pemilik Grup World. Tapi, aku tidak pernah membuat perjanjian apa pun. Karena itu aku masih akan berhubungan denganmu, ya.”

“Kamu tahu tentang perjanjian itu?”

Taeyang Hyeong mengatakannya saat memperingatkanku agar menjauh darimu.”

‘Dia memperingatkanmu? Kenapa?’ Aku penasaran, tapi malas menanyakannya.

Samudra meletakkan sebuah kotak di pangkuanku. “Punya kamu. Tertinggal.”

Aku melirik ke arah kotak hitam kecil itu. “Punyaku?” Kuraih kotak itu dan membukanya. Melihat isinya membuat dahiku berkerut.

Sangat berkilauan. Sebuah cincin bertatahkan berlian dan berbentuk seperti mahkota. Itu cincin pertunanganku dengan Samudra.

Kutolehkan kepala padanya. “Bukan tertinggal, tapi sengaja ditinggalkan. Karena ini bukan punyaku lagi.” Aku menyodorkan kembali kotak itu kepada Samudra.

“Itu masih punya kamu,” ujar Samudra. “Karena sejak semula itu dibuat khusus untuk kamu. Jadi, hanya kamu yang pas memakainya.”

“Memangnya sekarang aku masih pas memakainya?”

Samudra tersenyum dengan hangat. “Masih.”

“….”

Tiba-tiba terpikir olehku, mungkin penerbangan yang hanya beberapa jam ini bisa memperbaiki hubungan kami yang pernah berakhir dengan tidak terlalu baik.

 

***

 

Dua tahun kemudian. Incheon International Airport, Korea.

Penyuara telinga tanpa kabel yang terpasang di telinga kiriku memperdengarkan petikan gitar yang mengiringi suara merdu seorang pria. Ponsel di tangan kananku yang mengenakan cincin berbentuk mahkota berkilauan di jari tengah itu, sedang memperlihatkan sebuah siaran langsung di saluran Youtube yang memiliki jutaan pengikut. Sebuah konser dari Hongdae, menampilkan nyanyian solo seorang musisi jalanan yang sangat kukenal. Park In-Ho.

Ankle boots yang kukenakan berbunyi tok tok tok saat aku melangkah keluar dari bandara malam hari itu. Di luar, aku disambut udara musim dingin pertengahan Januari yang menerpa rambut hitamku yang tergerai panjang.

 Nuna!

 Aku tersenyum pada In-Su yang berlari ke arahku sembari melambai. Di belakangnya terlihat Lee Ajeossi melangkah mengikuti.

 In-Su menyambutku dengan pelukan erat. “Aku rindu sekali Nuna.”

 “Kapan kamu nggak rindu pada Nuna?”

 “Hehehe …”

 “Selamat datang kembali, Agassi,” Lee Ajeossi berkata dengan senyuman cerah.

 “Ajeossi, aku rindu sekali masakanmu,” kataku.

 “Ajeossi sudah membuat banyak masakan lezat,” In-Su berkata seraya mengambil alih koper yang kupegang. “Nuna bisa makan semuanya di rumah.”

 “Benarkah?”

Lee Ajeossi mengangguk.

“Sepertinya aku bisa makan semuanya sendiri karena sangat lapar.”

“Kalau begitu, akan Ajeossi buatkan lebih banyak lagi nanti,” ujar Lee Ajeossi.

“Hahaha … itu harus.”

 In-Su melangkah lebih dulu ke arah mobil BMW hitam yang terparkir di pinggir jalan tak jauh di depan kami dan menyimpan koperku ke dalam bagasi. Aku dan Lee Ajeossi melangkah ke tempat yang sama.

 Lee Ajeossi membukakan pintu mobil untukku, aku masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. Setelah memasukkan koperku ke bagasi, In-Su masuk ke mobil dan duduk di belakang setir.

 “Kamu sudah punya SIM?” tanyaku.

 “Tentu saja,” In-Su tersenyum bangga.

 Lee Ajeossi duduk di samping In-Su. “Dia tidak sabar ingin memamerkan kemampuan menyetirnya hari ini,” ujarnya.

 “Jangan ngebut,” kataku saat mobil mulai bergerak.

 “Tenang saja, Nuna. Aku adalah pengemudi hebat di dalam game.”

 “Jangan samakan menyetir di jalanan nyata dengan video game!”

 In-Su tertawa. “Oh, iya. Apa Nuna sudah membaca berita tentangku hari ini?”

 “Berita apa?”

 “Nuna beneran belum lihat?”

Nada suara merajuknya membuatku tertawa. “Nuna nggak pernah melewatkan berita tentangmu, kok,” kataku. “Chughahae, In-Su ya.” (Selamat, In-Su.) Aku mengangkat jempolku untuknya.

 In-Su melihatku melalui kaca spion. “Nuna juga, chughahaeyo.

“Kalian sudah melakukan semuanya dengan sangat baik,” Lee Ajeossi berkata.

“Kita semua sudah melakukan semuanya dengan baik,” kataku meralat. Kualihkan pandangan ke arah luar. Mobil melaju di bawah langit hitam, di tengah jalanan dengan penerangan lampu-lampu jalan yang berderetan benderang. ‘Musim dingin di bulan Januari terasa seperti kemarin.

Setelah dua tahun, aku kembali lagi ke kota ini. Karena kembali di bulan yang sama seperti saat aku pergi meninggalkannya, rasanya seperti hanya pergi kemarin dan kembali lagi. Musim dinginnya terasa sama, meski beberapa hal telah berubah.

 Dua tahun adalah waktu yang panjang juga pendek. Banyak hal dapat terjadi dalam satu hari, lebih banyak lagi dapat terjadi dalam dua tahun. Perubahan terjadi padaku dan segala sesuatu di sekitarku pun berubah.

Belakangan, namaku cukup sering muncul di pemberitaan, karena kemenanganku di dalam kompetisi seni berskala internasional yang diadakan di Jepang. Nama Haebaragi pun muncul, dikaitkan denganku sebagai pemiliknya. Toko suvenir kerajinan tangan itu kini tak hanya berada di Seoul, tetapi juga terdapat di Pulau Dewata Bali, bahkan galeri seni pahat kami sudah terdapat di Italia dan Jepang. Keberhasilan Haebaragi sebenarnya dimulai tahun lalu, sejak barang-barang kerajinan dari Haebaragi dikenal melalui sebuah film yang paling banyak ditonton di suatu layanan streaming digital.

 Dan, semua itu kemudian dikaitkan dengan In-Su. Seorang pencipta permainan video game ‘Time Travel Wall’ yang karyanya baru-baru ini diadaptasi menjadi sebuah drama fantasi di Korea.

 Dua tahun membawa kami semua ke hari ini. Hari yang datang setelah melewati berbagai kesulitan dan kerja keras.

“Apa yang terjadi?” ujar In-Su.

In-Su tiba-tiba menghentikan mobil di tengah jalanan Gaehwa Tunnel. Membuatku mengalihkan pandangan dari konser Park In-Ho yang sedang kutonton di ponselku ke arahnya.

  “Kenapa berhenti?” tanyaku.

  “Nuna, sepertinya ada kecelakaan di depan.”

“Tetaplah di mobil. Ajeossi akan melihat ke sana,” Lee Ajeossi berkata, kemudian ia keluar dari mobil.

Beberapa meter di depan kami terlihat sebuah mobil mewah yang berhenti dengan posisi melintang, kondisi mobil itu rusak di bagian depan. Tak jauh dari mobil itu terdapat mobil mewah lain yang mengalami kerusakan di bagian belakang.

“Sepertinya salah satu mobil itu menyalip dengan sembarangan,” In-Su berkata sambil memacu mobil dengan kecepatan sangat lambat, mendekati Lee Ajeossi yang sudah berada di dekat mobil yang mengalami kecelakaan itu. “Di dalam terowongan sering ada yang menyetir dengan terlalu bersemangat menyalip saat melihat jarak yang cukup banyak antara kendaraan satu dengan lainnya. Padahal sopir membuat jarak antar kendaraan sejauh beberapa meter agar tidak terjadi kecelakaan seperti ini.”

“Menyalip ugal-ugalan, ya?” Kuturunkan kaca jendela mobil dan melongok keluar. “Apa pengendara mobil itu baik-baik saja?”

In-Su menghentikan mobil saat melihat Lee Ajeossi berjalan mendekat ke arah kami, tampak seseorang bersama dengannya. Melangkah di belakang Lee Ajeossi, seorang wanita sebayanya yang berpenampilan elegan namun sedikit kacau.

Agassi, sopir Nyonya ini meminta tolong agar membawa nyonyanya ke rumah sakit,” Lee Ajeossi berkata dari luar mobil.

“Ya.” Aku membuka pintu mobil dan segera mempersilakan masuk wanita yang disebut sebagai Nyonya itu. “Silakan—” Dan, tatapanku melebar saat menyadari siapa si Nyonya itu. “Halmeoni?”

Si Nyonya yang tak lain adalah halmeoni-nya Taeyang, menolehkan kepala menatapku yang sedang duduk di dalam mobil. Raut wajahnya memperlihatkan kalau dia tidak menyangka akan bertemu denganku di tempat ini.

Agassi mengenal Nyonya ini?” tanya Lee Ajeossi.

Aku mengangguk padanya, lalu berkata pada Halmeoni, “Halmeoni, ayo, kuantar ke rumah sakit!”

Halmeoni bergeming. Jadi, segera kuraih tangannya, membawanya masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku.

“Kalau begitu, pergilah lebih dulu,” ujar Lee Ajeossi. “Ajeossi akan tetap di sini, sebagai saksi. Kita tidak bisa meninggalkan tempat begitu saja saat melihat kecelakaan.”

“Apa sudah menghubungi Polisi?” tanyaku. “Bagaimana dengan pengendara yang satunya lagi?”

“Sopir Nyonya ini sudah menghubungi Polisi dan ambulans,” Lee Ajeossi menjawab. “Pengendara yang satunya masih berada di dalam mobilnya, sepertinya tidak mengalami cedera parah. Justru sopir Nyonya ini yang sepertinya cedera cukup parah, tapi dia tetap ingin berada di tempat ini sampai Polisi datang.”

“Oh. Baiklah.” Aku mengerti, sopir itu tentu akan menyelesaikan masalah kecelakaan itu lebih dulu daripada memikirkan tentang kondisi dirinya, sebab ia adalah orangnya Grup World.

Lee Ajeossi menutup pintu mobil. “Hati-hati di jalan.”

Lihat selengkapnya