Meski salju sedang turun di luar, Haebaragi terasa begitu hangat. Entah karena penghangat ruangan atau karena keberadaannya.
Sinar matanya yang menatap lurus ke arah foto di Dinding Kenangan itu terlihat berbeda daripada yang terakhir kuingat. Mata yang biasanya terlihat sedih walau sedang tertawa itu, hari ini terlihat lebih cerah.
“Rasanya seperti sedang melompati waktu ketika berada di sini,” Taeyang berkata seraya mengalihkan tatapan dari dinding itu ke arahku. “Karena itulah, aku ingin tempat ini lenyap sekaligus bertahan.”
“Itu sangat labil,” kataku. “Jadi, kamu ingin tempat ini lenyap atau bertahan?”
“Pada awalnya, aku ingin tempat ini lenyap. Tapi, kemudian aku berubah pikiran.”
“Kenapa?”
“Karena kamu.”
“Aku?”
“Karena kamu membuatku bisa berdamai dengan banyak hal.”
“Itu bukan aku, tapi karena kamu sendiri.” Aku melangkah ke arahnya dan berdiri menghadap Dinding Kenangan. “Bagaimana kabar ayahmu? Hari itu Halmeoni pasti sangat mencemaskannya.”
“Ayahku sudah melewati masa kritis. Sekarang masih dirawat di rumah sakit.”
“Semoga ayahmu segera sehat.”
“Aku juga berharap begitu.” Taeyang melirik ke arah jariku. “Cincin itu …”
Aku mengangkat tangan kananku, memperlihatkan cincin pemberian Samudra. “Cincin ini?”
“Lepaskan saja!”
“Kenapa? Ini bagus.” Apa dia tahu kalau ini pemberian Samudra?
“Akan kuganti.”
“Apa?”
“Dengan ini …” Taeyang mengeluarkan sebuah cincin dari saku jaketnya. Cincin berwarna perak dengan mata cincin berbentuk bunga matahari yang berkilau-kilauan. “Berliannya lebih banyak dari yang itu.”