“Ini semua karena Park In-Ho!” Pesta ulang tahun kali ini akan sangat sulit dilupakan.
Di satu sisi semuanya tampak sempurna. Dekorasi lampu dan lilin yang menerangi pekarangan luas, melengkapi kesan artistik yang telah dimiliki vila. Lampu-lampu berwarna madu di dalam jar yang menggantung di beberapa tempat berkilauan seperti pecahan bulan bercahaya di dalam toples kaca, serta cahaya lilin di dalam gelas kaca warna-warni tersusun melingkar menyerupai permen lolipop di atas rerumputan hijau. Di salah satu sudut pekarangan, sebuah gazebo bercat cokelat kayu yang dihiasi tanaman hijau menjalar di keempat tiangnya dan lampu-lampu kecil berbentuk bintang berkilauan menjuntai dari atapnya, terlihat sangat nyaman untuk bersantai. Ditambah dengan alat panggang barbecue dan bahan makanan yang sudah tersedia di samping gazebo, akan menjadikannya tempat sempurna untuk suatu makan malam menyenangkan. Seluruh dekorasi itu dapat membuat suasana malam yang dingin menjadi terasa hangat.
Akan tetapi, saat aku melihat ke sisi lain pekarangan, semuanya terlihat sangat buruk. Bahkan dekorasi indah dari lampu, lilin dan gazebo pun menjadi tidak ada artinya karena pemandangan itu.
Ingin rasanya aku menelepon Pasukan Anti Huru Hara. Tapi, aku tidak bisa menelepon Pasukan Anti Huru Hara hanya karena masalah kecil, seperti pesta ulang tahunku yang berharga telah disabotase.
Argh. Aku sangat geram sampai aku tidak bisa bereaksi.
Suara entakan suara musik berdebam dari sisi pekarangan itu. Para pelaku sabotase berpesta dengan meriah di sana.
Kuembuskan napas kesekian kali, menahan marah. Ini seharusnya malam ulang tahun romantis milikku bersama tamu yang kuundang. Seluruh dekorasi cantik di tempat ini sudah disiapkan sejak pagi, hanya untukku dan dia. Namun, saat ini bayangan malam ulang tahun menyenangkan yang ada di dalam kepalaku sudah berubah menjadi kepingan yang hancur.
‘Park In-Ho sudah mengaduk-aduk kesabaranku di air mendidih, menjadikannya bubur dan memakannya.’
Lima belas menit lalu, ketika jam menunjukkan pukul dua belas. Aku yang sedang menunggu kedatangan tamuku dikejutkan oleh sekelompok orang tak kukenal yang tiba-tiba memasuki pekarangan vila dipimpin oleh kakak tiriku. Mereka datang sambil membawa kotak-kotak besar yang ternyata berisi makanan dan minuman, serta peralatan dj dan pengeras suara. Kemudian, hanya dalam hitungan detik, mereka semua sudah menguasai sebagian besar pekarangan dan mulai membuat pesta mereka sendiri.
Jadi, sekarang kakak tiriku dan teman-temannya yang ia undang seenaknya ke tempat ini tanpa seizinku pun menikmati pesta di sana. Sementara aku, tidak tahu harus melakukan apa, kecuali berdiri di samping gazebo dan melipat tangan di depan dada sembari menatap kerumunan orang berpesta pora.
Tiba-tiba saja aku ingin mengenakan sarung tangan super dan menjentikkan jari untuk melenyapkan mereka semua dari hadapanku.
“Sembilan belas pasti angka ketidakberuntunganku,” gumamku. “Kenapa aku harus punya kakak laki-laki saat usia sembilan belas? Dia itu benar-benar musibah ulang tahun!”
Aku membencinya dari kepala sampai ujung kaki. Park In-Ho, kakak tiriku itu.
Tentu saja. Karena mengetahui aku akan merayakan ulang tahun tanpa keramaian, dia dengan bahagia merencanakan sabotase seperti ini. Dia memang ahlinya merusak suasana. Dia sudah sukses membuatku berakhir sendirian di pesta milikku. Tamu istimewa yang kuundang pun tidak terlihat di mana-mana.
Hari ini aku hanya mengundangnya. Seorang teman pria yang sedang dekat denganku. Dia adalah pria yang bisa menjadikan seluruh hari menjadi manis dan menyenangkan.
Kutatap ponsel di tanganku, sunyi. “Seharusnya Rafael memberi kabar kalau akan terlambat.”
“Hai! Kamu di sini?”
Suara itu membuatku mendongak.
Seorang pria menghampiriku, menyapa dengan sikap seolah telah mengenalku lebih dari sedetik—atau haruskah kukatakan setahun?
‘Siapa?’
Dia memamerkan senyuman yang—kuakui, dia tahu betul bagaimana caranya tersenyum—sangat menggoda dan membuat wajah tampannya akan semakin menarik perhatian.
“Kenapa gak bilang kalau kamu datang juga?”
Hah? Alisku terangkat naik. Kenapa aku harus bilang-bilang padanya saat datang ke pesta ulang tahunku sendiri di vila milik pribadi? Aku bahkan tidak mengundangnya.
“Kalau kamu bilang, aku gak akan memilih pergi dengan teman-teman cowok. Kamu tahu ‘kan, aku lebih suka cewek kayak kamu daripada mereka semua?”
‘Wah! Aku gak mau tahu.’ Aku menjawab di dalam pikiranku. Aku tidak mau tahu dan tidak tertarik untuk berbicara padanya.
“Ayo! Jangan melamun sendirian di sini, ntar kesambet!”
Apa dia sedang mencoba melucu? Ya, itu sungguh lucu. Aku menatapnya tanpa minat.
Pria berpenampilan modis, berkulit kecokelatan dan bertingkah sok akrab itu kemudian menarik tanganku. “Ayo!” ujarnya sembari menyeretku dengan mudah ke sisi pekarangan yang sudah dijadikan lantai dansa, memaksaku bergabung dengan semua orang yang sedang menikmati musik mengentak-entak dari alat dj yang dimainkan kakak tiriku.
Dia menyeretku tanpa izinku. Di mana sopan santunnya?
Seolah tidak paham akan arti dari raut wajah dan sikapku, santai saja dia bergoyang di depanku dan berkata, “Hey, apa aku sekeren itu sampai kamu gak bisa bersuara sedikit pun?”
Oh, astaga! Terserah!
Dia tersenyum. “Kamu bisa bicara, ‘kan? Atau—”
Dia tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Karena suatu ‘kecelakaan yang tak bisa dibilang kecil’ tiba-tiba menimpaku dan membuatku akhirnya mengeluarkan suara di depannya.
Setengah berteriak, suaraku memotong kalimat yang diucapkan pria sok akrab itu. Cairan dingin jatuh di atas kepalaku hingga wajahku jadi basah. Ini bukan hujan. Ini perbuatan seseorang.
“Apaan?!” Suaraku meninggi secara otomatis saat kepalaku menoleh mencari tahu apa atau tepatnya siapa yang menyebabkan hal itu.
Di sebelahku, kudapati seorang gadis tak kukenal sedang berdiri dengan sikap angkuh dan penuh percaya diri, seperti seorang ratu di dalam cerita Snow White. Dialah penyebabnya. Gadis itu baru saja menumpahkan minuman yang dibawanya ke atas kepalaku.
“Apa-apaan ini?” ucapku geram.
“Oops. Nggak sengaja, hahaha,” gadis itu berkata sambil tertawa senang. “Maaf, ya, sayang ...”
Yang benar saja?! Aku menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan psikopat. Dia bilang menumpahkan minuman di kepala orang seperti itu nggak sengaja? Lalu, minta maaf seolah tidak terjadi apa-apa? Dia seharusnya diberitahu, aku adalah Tuan Rumah di tempat ini dan dia sudah berbuat kurang ajar kepada Tuan Rumah!
Kupalingkan tatapan tajam pada kakak tiriku yang sedang sibuk dengan peralatan dj-nya, tak berhenti mengatur musik sambil bergoyang. Dia tidak memedulikan tatapanku. Ingin sekali aku mencekiknya sampai dia minta ampun. Kurang ajar sekali teman-temannya yang dia undang ini.
Aku menolehkan kepala kembali ke arah gadis kurang ajar itu. Aku akan memberitahunya bahwa aku tidak akan berakhir sebagai orang yang harus dikasihani di pesta milikku. Akulah Ratu di tempat ini! Dia harus tahu itu!
Detik berikutnya, semua yang ada di pesta bisa melihat bagaimana aku menggoyangkan tubuh mengikuti musik dengan sangat seksi dan menggoda, serta memperlihatkan pada mereka cara mendorong gadis aneh yang menumpahkan minuman ke kepalaku itu ke selokan dan mengabaikannya dengan tatapan kasihan.
Ya, itulah yang sedang kupikir akan aku lakukan, berpesta dan menjadi sedikit gila. Jika aku di luar sana bersama teman-temanku, pasti akan kulakukan itu tanpa ragu. Tapi, tidak di sini, tidak di vila keluarga kami, tidak di pesta ulang tahunku sendiri. Papa akan terkena serangan jantung kalau mengetahui aku bersikap seperti itu di tempat ini.
Karena pemikiran itu, kubiarkan saja menikmati pesta dan menjadi pusat perhatian hanya ada di dalam imajinasiku. Gadis kurang ajar itu beruntung malam ini.
Lagipula, aku diajarkan untuk menjaga sopan santun sebagai Tuan Rumah. Jadi, akan kubiarkan saja tamu-tamu kakak tiriku menikmati pesta dengan bahagia.
“Aku harus ganti baju,” kataku tenang, seolah aku baik-baik saja. Lalu, beranjak pergi meninggalkan kerumunan yang masih bergoyang mengikuti musik.
Mereka memperlakukanku seolah aku tidak terlihat. Mereka yang melihat pun hanya menertawaiku sambil terus menggoyangkan badan dan berbincang tentang betapa lucunya situasi barusan dengan teman di depan mereka.