Bruk!
Pemuda berpakaian tentara hijau gelap mendarat dari ketinggian dua meter lebih di depan pintu putih bertakhtakan garis emas. Tangannya mantap memegang senapan. Begitu berbalik, derit pintu yang bergeser terbuka menyambut.
Dor!
Peluru terlontar dari kejauhan menyeberangi area kolam renang, tetapi pemuda itu berguling melewati pintu terbuka, memasuki koridor penuh kursi dan meja mewah dilengkapi bar.
Dia belum aman. Sayatan menghampiri lengan dan si pemuda berpakaian tentara itu refleks menghindari pelaku yang melukainya.
Senapan di tangan segera berganti cincin besi yang menyelimuti buku jari. Pemuda itu bergegas melancarkan tinjuan pada pemilik pisau yang terus menyerangnya.
Sekali kena dahi lawan, darah yang bercucuran, seketika menjatuhkan penyerang. Si pemuda lolos melalui koridor hingga menemui tangga menurun.
“Siap. Sudah berbelok masuk dek bawah.”
Si pemuda mulai berbicara melalui jalur komunikasi yang terhubung dan mengganti cincin besinya dengan senapan laras panjang. Jejak sepatu berujung besinya mengetuk lantai ketika melintasi area golf dalam ruangan.
“Aku pikir ini jebakan.” Suara wanita yang terhubung dalam jalur komunikasinya menyahut.
“Apa yang terjadi?” Langkah si pemuda berhenti. Dia menunduk di antara kursi-kursi yang bersusun membentuk lingkaran dalam ruang pertemuan. Pergerakan tersembunyi tampak melalui jendela di kejauhan.
“Dek kemudi sama sekali kosong, Zea.” Suara lain menyahut, lebih tebal dari nada bicara si pemuda yang kemudian lebih waspada melintasi ruang ketika menyebut nama sang komandan.
“Bomnya ada di sana?” tanya suara yang berbeda lagi.
Rekan satu timnya telah menyebar menuju empat dek berbeda untuk menemukan bom yang disembunyikan para teroris berpakaian hitam, tetapi nihil. Tidak ada tanda keberadaan benda yang bisa menghancurkan kapal selain serangan-serangan yang bisa mereka lumpuhkan.
“Waktu semakin sedikit!” Wanita di seberang terdengar panik.
Pemuda itu berlari menyusuri koridor bawah yang belum terjangkau dan menemukan ruangan mesin. Tepat, benda dengan penanda waktu berada di balik pintu yang dibukanya, melekat pada tiang di hadapan. Detik yang berjalan menuju angka nol dengan cepat, dan ....
“Aran!” Teriakan bersamaan dari ketiga rekan si pemuda berganti tampilan “Game over. You lose,” di layar ponsel.
Umpatan keluar dari bibir remaja berkacamata yang memukul meja di sekitar kibor tambahan yang terhubung dengan ponselnya. Dia hampir beranjak dari kursi tebal yang menopang tubuh, tetapi urung ketika melihat tampilan babak final di depan mata.
“Ah! Tinggal satu babak lagi. Maju, Richard?” Suara pemilik nama karakter Zea mempertanyakan kesiapan rekan lainnya.
“Skor satu sama.” Akun Richard menanggapi.
“Apa rencana selanjutnya? Aran?” tanya seorang lagi yang memilih anonim dengan berbagai karakter huruf aneh mengisi kolom nama.
“Dek atas kosong. Musuh bisa jadi bersembunyi di ruang mesin, tempat penyimpanan benda berharga, atau menunggu kita keluar.” Si remaja berkacamata menjelaskan strategi dari catatan penuh coretan di samping kibor yang terhubung dengan ponsel.
“Nyalakan bom di area penyimpanan,” sahut Zea. “Berikutnya kita yang menjadi teroris, bukan?”
“Aku naik ke menara,” aju si remaja. Akun di layarnya menunjukkan nama Aran.