“Lari!!!”
Refleks Angela berteriak saat melihat pemuda berseragam putih abu di ujung jalan hanya diam bersama raut tanya sambil menunjuk diri. Gadis kurus sebatas bahu si pemuda ketika melintas itu tampak panik karena orang yang diperingatkannya seperti idiot bingung.
Angela tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau sekadar ‘iseng’ masuk dalam pelataran rumah besar bak istana di kompleks itu bisa menjadi korban pengejaran dari makhluk berukuran setinggi pinggang orang dewasa, berbulu cokelat emas, mata belo, dan terus menggonggong selama berlari.
Dia membatin, Sumpah! Enggak ada lucu-lucunya tuh anjing!
Mendapat tarikan Angela, si pemuda turut mengambil langkah seribu dengan sangat terpaksa. “Kenapa gue jadi ikutan lari, elah?” keluhnya.
Merasa anjing yang mengejar mereka bukan ancaman, pemuda itu seketika berhenti berlari meski berkali-kali ditarik Angela.
“Gue enggak mau ambil risiko, ya. Bahaya tau, enggak?” cecar Angela, menyerah dan meninggalkan si pemuda, mencari tempat sembunyi dengan naik pohon di balik tembok yang terlihat. Dia sendiri lupa sedang mengenakan rok ketika memanjat.
“Warungnya enggak usah dibuka lebar-lebar, Neng!” Pemuda itu mendengkus, segera membuang tatapannya ke arah kedatangan si anjing raksasa.
“Eh, lo aja yang mesum pakai ngeliatin gue manjat!” timpal Angela setelah berada di atas dan membenahi posisi duduknya. Dia sudah memastikan telah mengenakan celana pendek di balik rok sekolah selututnya.
Walaupun kesal, Angela tidak memungkiri pesona dari pemuda yang sepertinya tampak sangat familier. Angela seolah pernah melihat sosok mirip idol yang sering sahabatnya tonton.
“Ah, iya. Suga!” Hampir Angela memekik jika saja tangannya tidak lebih cepat membungkam mulut. “Meli bakal heboh kalau lihat versi kawenya tuh cowok.”
Bagi Angela, gaya berdiri tegak pemuda tinggi itu ketika menyugar rambut burgundi terang berpotongan undercut-nya ke belakang mengesankan sosok bad boy ala platform daring atau drama negeri ginseng. Mulus, jauh dari gaya preman yang pernah dilihatnya di pasar.
“Lo enggak takut? Itu anjingnya besar, loh! Buruan lari!” Merasa masih berbaik hati, Angela memperingatkan sekali lagi.
“Just wait and see!” tunjuk si pemuda ke arah Angela sebelum meletakkan jarinya itu ke depan bibir, pertanda memintanya diam.
Angela dengan polosnya spontan mengangguk meski tahu tidak dilihat karena pemuda itu langsung berjongkok dan menurunkan tangan ke permukaan jalan. Dia seketika menganga, terkejut karena anjing sebesar itu justru tidak lagi menyalak nyaring.
“Anjing gini doang?” teriaknya—terdengar tawa renyah yang memikat—seraya melambaikan tangan, mengisyaratkan Angela untuk menghampiri.
Penasaran, Angela melompat turun dan mendekat, melihat tatapan anjing dalam belaian si pemuda yang berubah ramah. “Jiah, bisa takluk sama lo?”
Padahal Angela sudah ketakutan setengah mati dan memikirkan banyak risiko, termasuk kena rabies dan mati di tempat. Namun melihat senyuman lebar yang melengkung di wajah pemuda itu, debaran jantung Angela seakan menguat sampai perlu dipegangi.