“Hai, Ma!” Angkasa menyapa wanita yang keluar dari pintu utama rumah setelah penjaga di depan menggeser pagar teralis tinggi yang membatasi luas tanah pribadi dengan jalan umum. Dia jadi penasaran bagaimana salah satu anjing di dalamnya bisa melarikan diri jika melihat perawakan segar si penjaga.
“Kamu enggak sekolah?” Wanita pemilik rumah itu menghampiri Angkasa, mengambil alih pegangan tali kekang dari pemuda yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ma’. “Ini, juga. Kenapa Clara bisa bareng sama kamu?”
Pemilik nama Nadia Geneviva—terlihat dari penanda pada seragam ungu mudanya—juga tampak penasaran dengan lolosnya anjing ras berjenis Golden Retriever itu. Menurutnya anjing bertubuh besar itu termasuk jenis penurut dan tidak sembarangan kabur.
“Tadi ....” Angkasa menggaruk tengkuknya dengan bingung, menoleh ke belakang. Namun, gadis yang bersamanya tadi sudah menghilang. “Ah, yang bener aja!” Dia nyaris memekik, mendapati Angela ternyata melarikan diri.
“Bawa siapa?”
“Enggak apa-apa.” Penglihatan Angkasa mengedar ke sekeliling, mencari alibi, dan satu-satunya yang bisa dikatakan hanya, “Aku tadi lihat—siapa namanya? Clara?—dia lari ke jalanan,” tunjuk Angkasa ke anjing yang menikmati sisiran jari dari majikannya.
“Oh, iya. Papa kamu hubungin Mama semalam,” aku Nadia pada Angkasa di sela kegiatannya mengarahkan para pekerja di rumah yang juga menjadi sarana penampungan anjing ras itu. “Sudah berapa hari enggak pulang?”
“Lumayan, mungkin lebih dari sebulan.” Bahu Angkasa naik, meragukan jawabannya sendiri. Diambilnya salah satu kemasan kecil makanan anjing dan sesekali memberikan pada anakan yang menghampirinya.
“Kamu ngekos?” tanya Nadia. Langkahnya berhenti bersamaan raut gusar tertuju pada Angkasa.
“Mama enggak mau nawarin tinggal bareng? Aku bisa masak dan bebersih rumah,” kilah Angkasa sebelum mendapat ceramah panjang mengenai hak asuh yang tidak dimiliki Nadia. “Umurku juga sudah lebih dari tujuh belas, kalau Mama takut dituntut.”
“Mama bukan enggak mau, tapi—” suara Nadia tercekat oleh pemikirannya sendiri. Setelah menghela napas dengan paksa, dia menunjuk arah tangga naik, “pilih saja kamar di lantai atas.”
“Thanks, Ma!”
Angkasa berlari naik, meninggalkan dua amplop besar di tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Sebuah surat berisi permohonan pengunduran diri sebagai siswa dan surat rujukan pemeriksaan melalui serangkaian tes yang terbaca begitu rumit.
“Ini apa, Angkasa?”
Pertanyaan Nadia tidak dijawab. Angkasa memilih bungkam di balkon kamar paling belakang, melihat bangunan-bangunan lain memenuhi sebagian besar bukit tanpa pepohonan di ujung cakrawala. Jauh lebih tenang dibanding tinggal di tengah kota dengan berbagai kebisingan.
“Di sini juga bising.” Angkasa membenarkan pemikirannya dengan konteks bising berbeda. Gonggongan anjing di lantai bawah tidak semenyebalkan tuntutan orang tua, dia masih bisa menertawakannya.