“Noob banget sih lo! Tumbenan?” sindir Angkasa ketika menggunakan akunnya untuk berkomunikasi melalui layanan pesan singkat dalam gim yang dimainkan.
Sebutan yang mereka tahu bermakna cupu atau semacamnya itu dijawab rekan setim Angkasa, pemilik akun Zea, “Baru jamkos. Hari ini udah ngeselin. Kamu juga enggak usah ikutan ngeselin. Lagian, laper tau!”
Angkasa hanya heran dengan kekacauan strategi gadis satu-satunya di tim mereka itu—kalau memang Zea benar seorang gadis, bukan hode alias lelaki penyamar.
“Cie, yang anak sekolahan,” timpal pemilik akun Richard. Mereka hanya tinggal bertiga, si anonim sedang tidak aktif.
“Kalian sendiri enggak sibuk?” tanya Zea.
“Aku freelancer. Kalau diturutin kerjaannya, yah sibuk.” Emotikon tawa di ujung pesan menunjukkan karakter santai Richard, apa mungkin pribadi aslinya seperti itu juga?
Zea kembali mengetik. “Aran sibuk?”
“Belum sibuk.” Angkasa jujur.
Dia lebih banyak menunggu prosedur sebelum boleh masuk kelas dan menyerahkan segalanya pada Nadia, sang ibu, yang sibuk berdiskusi dengan bagian konseling sekolah mengenai pelajaran yang akan diambil satu semester ke depan.
Daripada bosan, pemuda tinggi itu memilih berkeliling, mencari tempat nyaman untuk duduk dan bebas bermain gim daring sementara siswa lain masih belajar. Melalui kelas-kelas yang tampak lengang, Angkasa berhenti pada tumpukan kursi panjang yang sepertinya tidak digunakan di bawah tangga.
Melihat layar beranda gim sebelum memulai kembali, diketikkan Angkasa dengan menandai nama Zea, “Kamu kelas berapa?” Dia menarik salah satu patahan kursi dan duduk di sana.
Zea membalas, “Sebelas.”
Angkasa menebak jika mereka akan seumuran. Mungkin dia bisa sedikit berbasa-basi. “Enggak ada IPA atau IPS-nya gitu, Zea?”
Entah apa namanya untuk kurikulum baru, apakah sekolah negeri masih menggunakan istilah seperti itu atau berganti sistem. Setahu Angkasa, sekolahnya menerapkan kredit semester untuk mengambil mata pelajaran wajib.
Sisanya? Seperti yang dilakukan mamanya, berdiskusi lebih dulu untuk mengambil pelajaran tambahan dan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat.
“Masih mau tanding? Leveling?” Zea sama sekali tidak menjawab pertanyaan Angkasa, bahkan mengganti bahasan sebelum berpamitan. “Aku tinggal dulu, yah?”
Angkasa ingin menertawakan cara gadis itu menghindari pertanyaan, tetapi urung karena melihat siswa lain seumurannya menghampiri.
“Oh ..., ini anak barunya? Nongkrong di sini juga?”
Awalnya Angkasa hanya akan mengabaikan dengan menyelesaikan permainan singkat di ponsel. Seperti kata Zea, leveling, menghadapi lawan-lawan mudah untuk menaikkan level karakter biar bisa menghadapi musuh yang lebih tangguh di pertandingan survive.
Melihat wajah-wajah yang sepertinya bersekolah hanya karena paksaan, Angkasa beranjak dari tempatnya duduk dan mengunci tampilan layar ponsel. “Enggak. Gue bentaran doang.”
Benda yang akan dimasukkan Angkasa dalam saku celana justru berpindah ke tangan antek dari sekumpulan siswa itu.
“Woh, main Killer Strike juga!” seru si tangan cepat ketika melihat tanda pemberitahuan yang perlu diakses menggunakan kata kunci.
Angkasa meminta, “Balikin ponsel gue,” dengan membuka telapak tangannya secara horizontal, masih berlaku sopan meski situasi yang dihadapinya sangat tidak nyaman.
“Anak baru juga, udah bisa nyombong,” dengkus siswa yang sepertinya pimpinan mereka dari gaya slengeannya. Direbutnya ponsel Angkasa dari si tangan cepat dengan sinis, menjatuhkan benda itu di antara mereka begitu santainya. “Sorry.”