“Jadi, kamu ke rumah Mama waktu itu sama cewek tadi?” Nadia bertanya pada putranya seraya membuka bagasi mobil. “Beneran temen, kan?”
Ya, teman yang hampir membawa kabur anjing ras berharga belasan juta dan tidak berhasil menaklukkannya. Anjing berjenis golden retriever bukanlah tipe penyerang. Tebakan Angkasa, Angela tertarik membawa si bulu cokelat itu.
“Temen, Ma.” Angkasa menegaskan setelah meletakkan tas-tas belanja dari troli di sebelah tas belanja sebelumnya.
Dia sedikit seram dengan pengeluaran mamanya kali ini, berbeda dari mama tirinya yang lebih sering bepergian tanpa melibatkan Angkasa.
“Ini tangan kamu kenapa?” Nadia meraih pergelangan tangan Angkasa setelah menyalakan mesin mobilnya. Baru disadarinya guratan-guratan serupa goresan pisau yang membengkak di beberapa bagian lengan Angkasa.
“Entar juga hilang.” Angkasa menarik tangannya, tetapi sang ibu lebih kuat mencengkeram.
“Enggak lagi berlagak buat adegan bunuh diri, kan?” Sorotan mata Nadia terkesan tidak percaya.
Bagaimana Nadia tidak berpikir demikian? Angkasa berani kabur dari rumah—dan disyukurinya tidak lari ke hal buruk—dengan menemui Nadia. Belum termasuk berbagai macam ekstrakurikuler yang tidak diikuti Angkasa.
Mengetahui sang anak memiliki minat di luar sekolah cukup mampu menenangkan hati seorang ibu sepertinya.
“Ya Tuhan, Ma!” Berkeras sampai melepaskan pegangan yang menambah sensasi sengatan di permukaan kulitnya, Angkasa memilih meletakkan punggungnya pada sandaran bangku penumpang yang sedikit diturunkan.
“Liat aja deh entar kalau sampai rumah, pasti hilang,” tambahnya dengan yakin, lebih serupa dengan gerutuan.
Angkasa sudah terbiasa dengan gatal dan panas dari tekanan yang terbit kemerahan di permukaan kulit terangnya. Di awal mengalami, dia mencoba berbagai salep hingga minyak yang biasa dipercaya mengatasi iritasi kulit. Tidak berhasil untuknya dan justru memperburuk efek terhadap kulit.
“Dermatografia.” Kemungkinan yang didengarnya dari dokter kulit terakhir kali. Penyakit yang didapatkannya karena kelainan imunitas secara genetik.
Melihat jalanan dari balik kaca saat mobil yang dikendarai Nadia melaju, Angkasa mengembuskan napasnya dengan kasar. Telapak tangannya melekat di sana, dan dia menikmati setiap momen perubahan tekstur kulitnya ke semula.
Obat-obatan semacam kortikosteroid memang bisa mengurangi efek menyebalkannya, tetapi lebih merugikan bagi organ dalam hingga dokter yang ditemui Angkasa tidak meresepkan itu.
Angkasa hanya perlu menunggu, paling lama setengah jam untuk menghilangkan efek tekanan atau perubahan suhu drastis dari luar tubuh yang menjadi garis timbul di permukaan kulitnya.
Getar dari ponsel di saku mengingatkan Angkasa mengenai koalisi tim—pastinya akan lebih banyak pembicaraan tidak penting yang bisa dilewatkan. Dia tidak tertarik memanjat hanya untuk melihat mereka saling menggombal.
“Mau nyoba ikut ajang Esports?” Pesan dari Richard menarik minatnya.
“Belum tau,” kata seorang lagi—yang menggunakan nama Jiba?