Gamer's Romantic

Aldrich Candra
Chapter #9

Kita Impas

“Enggak usah nolongin gue lagi coba,” keluh Angkasa ketika Angela berkeras mengompres ruam di kulit pemuda itu menggunakan air dingin.

Angkasa benar jika bekas kemerahan yang terlihat lebih cepat memudar dan tidak akan ada yang menyadari perubahan kulitnya. Untung saja Angela membawa jaket pemberian Angkasa, jadi bisa digunakan menutupi perubahannya di tengah tontonan para siswa.

“Kenapa?” Angela sewot karena Angkasa terus menolak bantuannya. “Malu ditolongin cewek?”

Angkasa hanya khawatir dengan stigma negatif berduaan di UKS dan mungkin saja Bima salah sangka terhadapnya. “Bukan gitu, gue bisa sendiri.” Dia mengambil alih kompres dari tangan Angela.

“Temen-temen gue di luar nungguin kabar lo.” Pengakuan Angela seraya menunjuk arah luar tirai sedikit melegakan Angkasa.

“Bima masih jadi saksi di ruang BK, jadi belum tentu ke sini,” lanjutnya seraya menarik kursi mendekati ranjang UKS.

“Makasih buat yang tadi.” Diletakkan Angkasa kompres dari tangannya pada baskom kecil di nakas.

Air dingin beberapa bulan belakangan sering digunakannya, tepatnya semenjak Angkasa tahu jika air hangat menambah ruam di kulit dan sempat membuatnya gusar sendirian.

Benar, sendirian. Tidak mungkin dia mengeluhkan hal yang dianggap remeh oleh keluarga sang ayah.

“Lo sakit apaan sih ampe kayak gini tiap kena pukul?” Angela melihat sendiri perubahan kulit Angkasa dari ruam kemerahan seperti sengatan serangga raksasa hingga benar-benar menghilang.

Bagaimana rasanya? Apakah benar-benar enggak nyaman?

“Alergi,” jawab Angkasa cepat sampai Angela tersadar kalau dia terlalu tampak mengamati pemuda itu dengan penasaran.

“Karena pukulan?” Setengah tidak percaya, Angela terkekeh. “Enggak usah bercanda!”

Namun melihat Angkasa mengembuskan napas dengan kasar dan memalingkan wajah, Angela tahu telah salah bicara.

“Beneran?” yakin Angela.

“Lo keluar aja, deh.” Angkasa menggusar kepalanya lalu menarik selimut sebelum berbaring. Dia mengabaikan permintaan maaf yang diucapkan Angela.

Ruam seperti itu awamnya memang selalu dikategorikan dengan alergi. Makanan, suhu, tapi … pukulan? Angela sulit memercayai ada jenis alergi seperti itu.

“Dia kenapa, sih?” keluh Angela setelah meninggalkan Angkasa sendirian dalam ruangan. Dia menghampiri keempat temannya di deretan bangku panjang depan ruang kesehatan milik sekolah itu.

“Udah mendingan?” Meli lebih dulu berdiri, menuntut kabar dari Angela seraya mengibaskan kipas di tangannya dengan centil.

“Siapa?” Angela mengernyit kesal. “Angkasa?”

Lihat selengkapnya