“Mama mau ke mana?” Baru juga Angela tiba di rumah, ibunya sudah menyeret koper besar keluar dari kamar.
Lagi, dia ditinggalkan.
Ayahnya—Jeremy Tanzil lebih sering keliling berbagai negara sebagai chef tayangan televisi internasional. Sementara itu sang ibu, Marliana kerap menjelajahi berbagai destinasi wisata bersama komunitas filantropi dengan tujuan amal.
“Mama perlu menyelesaikan beberapa janji hari ini sebelum nemenin kakak kamu ke US nanti.”
Ya, seorang kakak perempuan yang baru diketahui Angela setelah enam belas tahun dia berperan sebagai sulung keluarga Tanzil. Awalnya Angela masih bingung menentukan apakah dia harus cemburu atau menerima dengan senang hati keberadaan seseorang yang lebih tua empat tahun darinya itu.
Sadar dengan permintaan Mister Phillip, Angela mengeluarkan selembar amplop dari dalam tasnya, lalu menyerahkan benda itu ke tangan Marliana dan dihadiahi tanya, “Ini apa?”
“Surat panggilan sekolah,” ucap Angela seringan bulu. Dia sudah terbiasa dengan reaksi berkerut sang ibu, dan Angela menunggu bentuk protes yang dianggapnya sebagai kepedulian.
“Surat panggilan kok ya langganan?” Marliana mengembalikan amplop surat Angela. “Minta Pak Arnold aja yang dateng, atau Bi Sumi?”
Entah sejak kapan, berbuat ulah tidak lagi membuat orang tua Angela melayangkan protes atau bahkan memberinya hukuman. Segalanya menjadi sangat membosankan bagi Angela. Apakah uang yang mereka gelontorkan mampu mengganti waktu yang terlewat sampai menyuruh asisten bahkan pengasuhnya?
Mungkin semenjak Isma dibawa oleh ibunya ke rumah mereka? Seolah segala perhatian hanya tertuju pada sang kakak dengan segala prestasi akademis yang dimiliki dalam bidang pendidikan bisnis.
“Enggak usah aja sekalian, Ma!” Angela berkata ketus, kemudian dia melangkah naik tangga menuju lantai dua tempat kamarnya berada.
”Kakak?” heran Angela ketika melewati depan kamar dengan pintu terbuka, dan mendapati rivalnya dalam persaudaraan itu membongkar isi dus-dus besar. Kerucut di bibirnya seketika sirna. “Kapan datang?”
“Baru.” Isma dengan senyuman menawannya benar-benar membuat Angela harus menahan kebencian setengah mati.
Bersandar pada ambang pintu, Angela mempertanyakan, “Berapa lama bakal tinggal?”
“Belum tau.”
Barang-barang yang baru didatangkan dari rumah lama Isma—terlihat tulisan alamat yang tercantum—menunjukkan jika dia akan sepenuhnya tinggal bersama Angela. Mungkin tidak lama mengingat beasiswa yang didapatkan Isma ke negeri Paman Sam.