“Enggak boleh, ye! Enak aja minta-minta nama akun! Siapa elo?” Angela melihat sekeliling kelas karena mereka jadi menyoroti ucapan Angkasa.
Mendadak suasana di sekitar mereka berubah canggung. Empat teman Angela pun sampai menganga heran.
Memang semenjak pemuda itu bergabung di kelas mereka, tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya selain urusan pelajaran dan keperluan kelas. Berbanding terbalik dengan kesan awal Angela saat bertemu Angkasa karena kejaran anjing.
Saat itu Angkasa terlihat mudah ramah, apalagi berurusan dengan makhluk berbulu keemasan yang takluk di tangannya.
“Eh, ini jaketnya masih dibawa?” tanya Angkasa pada benda yang disampirkan pada sandaran kursi Angela.
Angela spontan memeluk pelapis pakaian berbahan kanvas tebal itu sambil melotot. “Bukan urusan lo! Udah lo suruh buang juga, kan?”
Buat Angela, membeli jaket seperti milik Angkasa bukanlah hal yang sulit, tetapi momen yang terjadi di antara mereka cukup mahal untuk dikenang.
Bukannya jaket itu sudah diberikan Angela kembali ketika membawa Angkasa ke ruang kesehatan? Bagaimana bisa jaket itu bersama Angela?
Angkasa mengingat cara gadis itu mengobati bekas pukulan dari Garin yang memaksanya melepaskan seragam.
“Lagian, warna jaketnya tuh gue banget! Hitam!” gerutu Angela setelah pemuda itu mundur, kembali ke tempat duduknya karena sadar diperhatikan.
Di luar interaksi Angela dan Angkasa yang berubah, gadis itu masih penasaran dengan tampilan mengerikan dari wajah seorang Angkasa setelah insiden pemukulan di hari pertama. Pemuda itu terlihat baik-baik saja ketika bergabung di kelas.
Selain itu, Meli dan Riana sepertinya selalu berdebat mengenai kelebihan Angkasa di kelas. Seolah segala hal yang dikenakan Angkasa selalu mengagumkan di mata mereka. Bagi Angela, Angkasa justru jadi menyebalkan.
“Kapan sih kalian enggak ngebahas anak baru itu mulu?” keluh Angela seraya memutar pandangan dari kedua bola matanya dengan bosan. Entah bagaimana kesan dari kedua temannya kelak jika tahu a handsome boy berubah menjadi the beast.
“By the way, nickname? Dia main Killer Strike juga?” Suara Angela cenderung berbisik.
Belakangan permainan berbasis role play game dan sejenisnya memang sedang naik daun, bahkan sepupu manja Angela yang sedang kuliah di Sydney bisa menjadi BA—Brand Ambassador—gim perang lainnya. Padahal gim selalu dikaitkan dengan perbedaan gender.
“Angkasa!” Mantan kapten basket sekolah memanggil si anak baru. Bima melambaikan tangan dan masuk dalam ruang kelas yang akan digunakan untuk mata pelajaran Matematika level sebelas.
Perasaan Angela, Angkasa dan Bima baru berkenalan di UKS setelah insiden perundungan di hari pertama Angkasa masuk. “Bagaimana bisa mereka terlihat akrab?” desis Angela penasaran.