“Lo pernah macarin dia?”
Angkasa tertegun, syok mendengar pekikan Meli yang mempertanyakan tentang Bima dengan Angela. Meski Angkasa cenderung terlihat tidak peduli sekeliling saat bermain gim sebelumnya, dia tetap mendengarkan.
“Angela? Meli? Bisa maju ke depan papan tulis?” Pak Susilo memanggil kedua gadis di deretan tempat duduk paling pojok belakang itu. Gaya bicaranya tenang dan berwibawa, tapi perintahnya membuat Angela dan Meli terbelalak. “Rincikan rumus persamaan tiga variabel minggu lalu dalam bentuk huruf.”
Tidak ada pilihan, kedua siswi itu maju ke depan dan mengingat-ingat tugas yang diberikan dengan mencoret spidol di papan tulis. Meski bingung dan menuliskan asal, masih juga mereka saling bicara. Tentunya dalam frekuensi yang tidak terdengar guru.
“Bima itu mantan ketua basket, Meli. Bukan mantan gue.” Sengit tatapan Angela tersamarkan ketukan ujung spidol di pelipisnya. Dengan gemas, ditoyornya dahi Meli sambil mencibir, “Telinga ... telinga. Konekkin dulu sana sama otak. Jangan urusan percintaan mulu yang dibahas.”
Meli balas menendang belakang rok Angela. Setelah tenang karena khawatir Pak Susilo melihat mereka, baru Meli bertanya lagi, “Kenalnya di mana?”
“Bima?”
“Siapa lagi?”
Pertanyaan Meli tidak terjawabkan karena Pak Susilo kembali menegur. “Kerjakan dengan tulisan, bukan suara.”
Bukannya Angela tidak ingin cerita pada Meli, hanya saja hubungan pertemanan dengan seseorang yang dianggap wow seperti Bima tidak perlu diumbar. Apalagi kebanyakan orang di zaman sekarang selalu pesimis terhadap pertemanan antara lawan jenis.
“Nah, Anak-Anak. Ini contoh dari teman kalian yang tidak mendengarkan pelajaran sebelumnya,” sarkas Pak Susilo seraya menunjuk kedua siswinya yang masih berdiri menghadap papan tulis. Pria yang sebenarnya terlihat awet muda itu mengajukan tawaran, “Ada yang bisa menuliskan rincian rumus dengan benar?”
Angkasa mengacungkan tangan. Baginya, rumus Matematika itu sangat sederhana. Diulang-ulang sejak sekolah dasar. Kenapa masih terlihat rumit?
”Ya, Angkasa?” tunjuk Pak Susilo. “Silakan maju!”
Pemuda itu serius ketika mewujudkan pemikirannya dan menuliskan ax ditambah by ditambah cz ditambah d sama dengan nol. Dia sangat yakin jika mayoritas siswa akan bilang Matematika sulit dan mengabaikan detailnya.
Sama seperti ayah yang Angkasa ingat. Seorang ayah yang hanya melihat dirinya dari sisi terburuk. Dan ketika Angkasa terpuruk, siapa lagi yang bisa menjadi pegangannya?
“Lo gabung komunitas pemain di tempat Bima?” tanya Angela, berbisik di antara goresan tinta spidol yang digariskan Angkasa.
“Tebakan yang bagus,” Angkasa menyunggingkan senyumnya sesaat, “tapi gue belum tau.”
Selesai, Angkasa dipersilakan kembali ke tempat semula disusul Angela dan Meli. Namun, senyuman Angkasa yang terpatri dalam kepala Angela justru lebih mirip seringai jahat yang semakin mengesalkan.