“Beneran lo ngajak gue bukan karena mau ngorek atau minta dicomblangin sama Angela?”
Angkasa bertanya setelah mobil yang dikendarai Bima parkir di depan garasi. Lebih tepatnya garasi yang disulap menjadi kafe sederhana dengan nuansa industrial dan mengedepankan maskulinitas terhadap setiap furnitur kayu yang terlihat dari luar, belum termasuk seni mural persenjataan mentah di dindingnya.
“Gue lihat lo aktif banget mainnya, ampe berapa kali gue nemu lo bolos mata pelajaran pake nongkrong di toilet.”
Angkasa refleks tergelak. “Wah, gue kepergok ini, ya?”
Pikirnya, masih ada saja orang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi terhadap hidup Angkasa. Padahal dia sengaja pindah ke tempat baru agar tidak menjadi pusat perhatian dan mendapat ketenangan, ternyata ketenaranlah yang mengejarnya dalam tanda kutip negatif.
Apa Angkasa harus berlindung dengan mengikuti Bima atau memenuhi permintaan Angela biar tidak diganggu?
“Ayo, masuk!” ajak Bima seraya mengisyaratkan arahan keluar dari kendaraannya.
Angkasa mengikuti, ingin tahu sejauh apa Bima berkeras mengajaknya membentuk klub.
Koalisi tim yang biasa bersama Angkasa di dunia maya pun menawarkan hal sama, membentuk klub resmi yang bisa bertanding dalam level lebih tinggi dengan bertemu langsung. Beberapa kali mereka merencanakan pertemuan yang belum juga bisa terwujud.
“Kenalin, ini Keanu.” Bima mengarahkan Angkasa menghadapi anak lelaki di belakang meja kasir. “Jenius dia, udah level sepuluh di sekolah kita biarpun masih lima belas tahun.”
Lima belas tahun? Tinggi mereka bahkan setara, tetapi sosok bernama Keanu memiliki struktur wajah yang tampak jelas belum selesai melewati masa pubernya.
“Kayaknya enggak pernah lihat.” Angkasa menggeleng, tidak yakin sepenuhnya, terlalu biasa melihat remaja sekarang menggunakan perangkat jemala menggantung di leher jika tidak digunakan.
“Apa sih yang lo lihat kalau lo aja mantengin hape mulu?” sindir Bima yang sekejap sudah mengenakan apron hitam berlabel nama kafe garasi mereka. PAS.
“Waifu.” Keanu menyebut istilah bagi animasi perempuan dari Jepang yang dikagumi seraya memejamkan mata dengan mulut terbuka sesaat. “Lebih menantang dari cewek-cewek di dunia nyata.”
“Bilang Mama apa soal animasi porno?” Tinju ringan Bima mendarat di bahu sang adik.
Keanu tertunduk lesu dan menyebutkan salah satu efek negatifnya, “Merusak otak.”
“Padahal di game juga para waifu lebih menantang,” sela Angkasa. Tidak munafik, kejernihan grafis masa kini bisa membuat mereka membentuk imajinasi kesempurnaan fisik wanita idaman dari karakter dalam gim.
“Sepakat.” Tanpa perlu aba-aba, mereka melakukan tos dadakan. Adik Bima menawarkan salaman akrab dan mengulang penyebutan namanya. “Gue Keanu.”
“Angkasa,” balas Angkasa, lalu melihat ke sekeliling. Banyak pengunjung yang sepertinya datang hanya untuk bermain. “Emang rame gini, ya?”
“Usaha password hotspot lebih laku daripada buka warnet,” ungkap Bima. Dagunya mengedik pada orang yang baru datang.
Angkasa bergeser ke pinggir meja kudapan. Terlihat deretan berbagai jenis kue dalam etalase dengan tulisan nama, penjelasan komposisi unik, dan harga yang bisa dibacanya sambil mendengarkan transaksi di meja kasir.