Aku diajak menonton teater di sebuah gedung yang sangay terkenal karena penampilan-penampilan teaternya yang mengagumkan. Ali, dia adalah pacarku, dia sangat mengetahui apa yang menjadi kesukaanku sampai dia rela beli tiket teater sebelumnya buat acara malam mingguan kita. Sudah lama kita berdua belum merasakan angin malam Jakarta sambil naik motor.
Ali, dia sangat tahu kalau aku lebih menyukai menonton teater, ketimbang nonton film di bioskop. Kecintaanku pada teater, malah membuat Ali lebih terpikat padaku. Sesekali, Ali menatapku. Aku tahu dia sedang menatapku, namun aku tetap mengalihkan pandanganku agar tetap fokus menonton penampilan teater yang ada di depanku. Aku sangat terhanyut dalam alur cerita serta dialog-dialog para tokoh yang menggelegar. Setelah menonton teater, Ali mengajakku untuk makan malam di cafe yang masih buka sampai tengah malam sekalipun.
"Sahra, ini adalah cafe kesukaanku. Dulu aku sama Ayah dan Ibuku senang pergi ke sini," pekik Ali dengan kedua mata yang tetap tersorot pada Sahra.
Aku tersenyum sambil melihat-lihat. "Enak juga tempatnya," kataku dan itu fakta.
"Mau ke atas?"
"Buat apa?" tanya balikku takut Ali ada niat macam-macam.
"Ayo!"
Ali menarik tanganku, kita berdua menaiki tangga. Cafe ini memang unik bergaya vintage, ada telepon rumah zaman dulu, setiap temboknya tertempel poster dan foto-foto artis zaman dahulu, pokoknya barang-barang yang berbau vintage. Ketika sampai di lantai atas dikejutkan dengan ruangannya lebih luas dan lebih nyaman.
"Enak, kan?"
Aku hanya tersenyum dan tidak menjawab sambil memerhatikan seluruh ruangan dari ujung ke ujung.
"Ayo, kita keluar," ajak Ali. "Kita ke balkon!"
Ali berjalan mendahuluiku dan aku mengikutinya. Ali menunjukkan pemandangan seisi kota Jakarta yang sangat ramai dengan lampu-lampu yang menyala dari rumah warga. Keindahan kota Jakarta sangat terlihat indah dari sini.
"Jadi, gimana kamu pengen nikah di sini?"
"hah!?"
Aku terbelalak dan jantungku berdegup kencang. "Kamu mempermainkn pernikahan, Ali!" tukasku.
"Maksudmu?"
"Aku...belum...bisa...nikah," tegasku, satu demi satu kata berharap suaraku masuk ke dalam hatinya. "Aku masih pengen sendiri dan aku masih bisa sendiri, Ali."
"Kita sudah pacaran lama, Sahra. Aku juga lebih tua tiga tahun darimu, aku sudah punya kerjaan tetap, hidup mapan, dan aku punya modal untuk menikah. Kurang apalagi?"
"Kamu nggak akan ngerti, Ali."
"Nggak ngerti gimana?" suara Ali meninggi.