Ganalaya

Hilyati Marsyalita
Chapter #2

Pertemuan

1996

Kota Bandung.

Walaupun siang, tetapi masih saja terasa sejuk apalagi bila dikelilingi pepohonan rindang. Diteduhi adalah kata yang cocok untuk pepohonan di sekitar kota Bandung. Tidak hanya cuaca yang bersahabat, di setiap bangunan dan pemandangannya pun tidak luput dari bangunan peninggalan kolonial Belanda. Di pinggir jalan itu, ada seorang bapak-bapak penjual koran. Penjual koran yang membaca koran ditemani rokok dan secangkir kopi hangat. Beberapa detik ada seorang lelaki melihat-lihat, mencari koran yang pantas dipinang.

“Pak, koran itu berapa, ya?”

“tiga ribu, Pak,” jawab pedagang koran sambil menyeruput kopi.

Lelaki itu langsung membuka koran dan membacanya, ia terkagum-kagum ternyata cerita pendek yang berjudul “Perempuan Menari” dicetak di koran. Tapi, ia langsung mencari kolom lowongan pekerjaan berusaha mencari pekerjaan yang cocok. Mudah-mudahan saja. Cuman ada suara perempuan yang menggamit perhatian.

“Pak, aku mau beli koran yang itu,” tunjuk perempuan itu pada koran yang terpajang, “berapa, Pak?”        

“tiga ribu, Neng.”

Perempuan itu memberikan uang pas dengan wajah yang sumringah membuat si penjual koran tak lepas pandangannya, “ini, Pak.”

Perempuan itu membuka kolom cerita pendek yang membuatnya sangat serius membaca, lelaki itu mengintip apa yang ia baca sampai membuat perempuan itu terfokus pada alurnya. Lelaki memberanikan diri, “Neng, nyari kerja?”

“bukan. Aku sedang baca cerita pendek, senang sekali, kata teman-temanku ini cerita pendeknya seru banget,” jawab perempuan itu dengan ramah, “nama penulisnya itu Gana, dia kadang menerbitkan cerpen-cerpen sebelumnya dan sangat digandrungi. Kata teman-temanku, penulisnya ini baru menerbitkan cerpen lagi setelah lama tidak.”

Lelaki itu terperanjat, “kamu suka ceritanya?”

“sukalah,” jawab perempuan itu dengan nada mengayun, “kamu lagi baca cerpen juga, ya?”

“tidak. Aku hanya nyari lowongan kerja, mau nyari bareng?” tanya lelaki itu, tapi mungkin ia tidak sengaja menggoda.

Perempuan itu ketawa kecil, “nggak,” dengan suara malu-malu.

Mereka berdua pun sibuk dengan bacaannya masing-masing tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya, di mana kendaraan melaju cepat, orang-orang berlalu-lalang, suara-suara kebisingan kota. Mereka berdua membaca sambil berdiri dengan waktu yang agak lama sampai minuman kopi si penjual koran habis diteguknya.

“ahhhh….habis ceritanya, gimana sih?” perempuan itu kesal, karena cerita pendeknya habis. “Mas, aku nyesel baca cerita pendek ini, bukan karena jelek ceritanya,” katanya pada lelaki itu.

“terus karena apa?”

“karena cerpen ini terlalu bagus,” jawab perempuan itu dengan wajah cemberutnya.

Lelaki itu tersenyum dalam hatinya, ada rasa bangga dalam dirinya. Ternyata karya-karyanya sangat disukai kaum muda dengan nuansa romansa, “kayaknya kalau ada penulisnya pasti bangga mendengarkan pujian itu,” kata lelaki itu.

“iyalah, aku senang banget malahan kalau ketemu sama penulisnya. Serius. Aku bakalan ngomel-ngomel si penulisnya, kenapa tidak sekalian menulis novel juga, lagian bakalan banyak orang yang beli,” riuh perempuan itu dengan dipenuhi kejujuran dan kekesalan.

“hmmmm, boleh aku kenalan denganmu?”

Keluwesan gestur perempuan berubah menjadi gugup dan berhati-hati, ia melirik lelaki tersebut, “boleh,” jawab perempuan itu dengan lembut walaupun keadaannya sedang gugup.

“baik.”

“aku Laya.”

“namaku Gana, Gana El-Adaby,” jawab lelaki itu dengan ramah.

“hah!?” spontan Laya berteriak. “kamu Gana penulis cerpen ini, kan?”

Gana menahan tawa dibalik senyumannya melihat seorang perempuan yang tidak menyangka bahwa dirinyalah sang penulis cerpen tersebut. “terima kasih atas omelannya, nanti akan kuusahakan untuk membuat karya tulis yang panjang sehingga kamu sangat puas untuk membacanya,” kata Gana merasa tidak apa-apa.

Perasaan Laya bercampur aduk antara senang, bahagia, terkejut, tidak percaya, jadi menghasilkan perasaan yang membingungkan. Entah apa yang tadi ia ucapkan, apakah berupa kritik atau saran masukan, apakah perkataannya menyayati hati Gana si penulis itu, lumayan panik. Namun, Gana ia kembali mencari lowongan pekerjaan dalam koran di tengah Laya kebingungan ingin meminta maaf.

“hmmmm, Gana…. Mas Gana…..” sahutnya ragu-ragu.

“iya?”

“maaf, jika tadi perkataanku menyakitimu, Mas Gana,” ungkap Laya yang sedari tadi dilingkupi rasa bersalah.

“tidak perlu minta maaf,” timpal Gana, “saran darimu memang masuk akal, itu benar-benar masuk akal. Lama aku tidak menulis membuatku melupakan duniaku sendiri. Itu resikonya apabila aku terlalu sibuk pada dunia yang lain, tepatnya pekerjaan.”

“semoga lancar, Mas,” ucap Laya begitu lemas.

Gana tersenyum mendengarnya, “kamu nggak nyari kerja?”

“oh,” katanya. “tidak, aku lagi kerja juga.”

“kerja apa?”

“hmmmm, aku ngajar anak-anak di sekolah, lebih tepatnya ngajar mata pelajaran bahasa Indonesia,” jawab Laya menyimpan rasa bangga dalam hatinya.

Lihat selengkapnya