Ganalaya

Hilyati Marsyalita
Chapter #3

Senyuman Manis Malam Hari

Laya dan guru-guru lainnya bertepuk tangan meriah, seisi aula terdengar berisik yang berasal dari suara tepuk tangan. Penampilan anak-anak kelas akhir memang sungguh menyenangkan dan membuat para penonton lainnya memberikan penilaian bagus. Laya, dirinya termasuk orang yang berhak menilai penampilan mereka sebagai nilai praktek tugas akhir.

“Ibu sangat senang dan bahagia karena penampilan kalian semua yang hebat dan memukau, Ibu juga bangga sekali karena kalian sangat antusias dan bersikeras latihan selama beberapa minggu kemarin sehingga dapat menampilkan drama-drama yang spektakuler ini,” ucap Laya dengan lantang dan bersemangat membuat para siswa-siswi akhir dan siswa-siswi yang lainnya bertepuk tangan.

Setelah penampilan murid-murid selesai, Laya terlihat duduk di ruang guru sembari minum teh hangat yang disediakan Mang Acung terkhusus buat para guru-guru di sekolah ini. Posisi meja Laya berada di belakang sekali, ia dipilihkan tempat duduk di sana karena sudah tidak ada meja lagi yang tersedia. Baru kali ini, pengalaman baru dirinya yang menjadi penilai tugas akhir bahasa Indonesia di SMA ini. Laya membayangkan bahwa suatu saat mereka yang tampil akan melanjutkan hidupnya kembali, mereka ada yang memutuskan bekerja ataupun kuliah, mereka memiliki nasib dan takdir di tangannya.

Penampilan mereka semua sangat memukau dan mengesankan, dimulai dari penampilan tari yang khusus dipersembahkan buat Laya sebagai penilai. Lalu, disusul dengan penampilan inti yaitu drama-drama dari setiap kelas. Drama mereka pasti tidak jauh dari cerita Si Malin Kundang atau Si Kabayan. Namun, adapula beberapa kelas yang sangat kreatif, mereka membuat naskah drama sendiri yang makna dan pesan kehidupannya sangat dalam sekali.

“Ibu Laya, terima kasih sudah menilai penampilan kami,” ujar Risma sambil membawa sebuah bingkisan yang terbungkus kertas kado berwarna cokelat.

“apa ini, Risma?”

“buat Ibu dari aku,” jawab Risma dengan bibir mungilnya yang lucu. “Semoga aja Ibu suka, ya.”

Risma menyalami tangan kanan Laya, lalu ia pergi bersama teman perempuannya ke luar dari ruang guru. Laya mengucek-ngucek kedua matanya, ia tidak percaya bahwa dirinya menerima sebuah bingkisan kado dari murid sendiri. Sungguh hal ini pertama kalinya terjadi dalam hidupnya. Ia membuka bingkisan tersebut perlahan-lahan, di dalamnya ternyata sebuah gambar sketsa dirinya sendiri, dan sebuah baju dress bunga-bunga kecil berwarna biru. Lengkungan bibir tidak bisa dihapus di wajahnya saat ini, dirinya tidak bisa mengusir rasa kebahagiaan yang tumbuh lirih dalam hatinya.

“Kado dari murid, ya, Bu Laya?” tanya Ibu Riri berbisik pada Laya.

“Apaan sih, Bu Mira?”

“Nggak apa-apa, harusnya Ibu Mira teh bangga karena murid Ibu teh bisa menghargai Ibu,” kata Ibu Riri, ia duduk di samping Laya saat ini.

“Nggak dikasih bingkisan sama anak-anak juga tidak masalah, Bu Riri, aku udah senang lihat mereka bahagia.”

“Hmmmmm, gimana udah ada jodoh?” tanya Ibu Riri yang seringkali bertanya seperti itu, mungkin bisa disebut hampir setiap hari.

“Belum.”

Laya hanya bisa menjawab singkat berupaya Ibu Riri mengerti bahwa pertanyaan yang ia ucapkan sangat tidak mengenakkan dan mengganggu dirinya. Mungkin, Ibu Riri terus-menerus bertanya seperti itu pengaruh dari usianya yang jauh beda sekali dari Laya. Laya membereskan meja, lalu ia berhambur pergi keluar, tepatnya dia pulang saja. Di jalanan yang lumayan sepi, dari arah sekolah ia memutuskan jalan kaki saja lebih hemat uang.

“Laya!” teriak seorang perempuan berusia empat puluh tahunan.

Laya bergeming, dirinya mematung, “Ibu Aan?” tanyanya.

“Iya. Gimana kabarmu, sayang?” tanya Ibu Aan sambil mengelus-elus pundak Laya.

“Baik, Bu,” jawab Laya dengan nada lembutnya. “Ibu apa kabar?”

"Alhamdulillah, Laya. Ibu baik-baik aja,” jawab Ibu Aan.

“Tumben Ibu ke sini,” kata Laya sedikit aneh.

Alhamdulillah, Ibu ada kue-kue buat Laya. Kue-kue ini kebanyakan banget di rumah, jadi Ibu kirim buat kamu,” jawab Ibu Aan dengan logat sundanya yang tidak bisa dihilangkan.

“Aduh, Bu, makasih,” pekik Laya sambil memegang dua toples kue kering buatan Ibu Aan.

“Hmmmm, nggak kangen rumah?” celetuk Ibu Aan.

“Kangenlah, Bu,” pekik Laya.

“Gimana kalau kamu sedang kangen-kangennya pada rumah, Ibu ajakin nanti jalan-jalan. Soalnya Ibu sama suami Ibu mau jalan-jalan, mau nge-date ala-ala anak muda.”

“Ke mana?”

“Iya, daerah sini aja, nanti sama Ibu ajak, ya.”

“Terserah, Ibu,” jawab Laya yang pasti ajakan dari Ibu Aan dan suaminya tidak pernah mengecewakan.

Laya masih ingat, bagaimana Ibu Aan dan suaminya mengajak rekreasi pergi ke kawah putih yang ada di bagian selatan kota ini. Menurut Laya itu adalah tempat wisata yang tidak terlupakan dan sangat mengesankan. Kata Ibu Aan rekreasi ke kawah putih itu adalah hadiah buat Laya karena sudah menemani Ibu Aan setelah semua anaknya berumah tangga. Kemudian rekreasi ke kebun teh di daerah Pangalengan, berenang di kolam air panas di daerah Garut, dan juga menonton bioskop di kota Bandung yang pada saat itu masih jarang ada.

“Ngelamun, Laya,” gebrak Ibu Aan dengan tangan yang menerpa pundak Laya.

Laya tersenyum malu, “nggak, Bu.”

“Seneng nggak, kalau diajak jalan-jalan sama Ibu?”

"Seneng banget, Bu,” jawab Laya karena memang sebegitu adanya.

Ibu Aan tersenyum dan Laya pun ikut tersenyum. Ajakan Ibu Aan tidak pernah sama sekali ia tolak, sebab liburan bareng Ibu Aan tidak kalah seru. “Tapi, kapan, Bu?” tanya Laya memberanikan diri.

"Kamu kapan ada waktu luangnya?”

Laya tidak berpikir panjang, ia menjawab pertanyaan Ibu Aan, “malam minggu saja, Ibu.”

“Oh, nggak sibuk, kan?”

"Tidak.”

“Baik, ini nomor telepon Ibu,” kata Ibu sambil memberikan nomor telepon yang ditulis di atas secarik kertas kecil. “Nanti kamu telepon, ya!”

“Iya, Bu.”

Kedua tangan Laya yang sudah kerepotan memegang dua toples makanan, tapi harus mengambil secarik kertas dari tangan Ibu Aan. Emang benar-benar, Ibu Aan adalah salah satu teman Ibunya yang berasal dari Bandung. Mereka berdua dipertemukan dalam satu kelas di kampus daerah Bandung juga. Ibu Laya benar-benar cerewet sekali kalau soal anaknya, akhirnya Ibunya Laya buru-buru mengabari Ibu Aan buat menitipkan anaknya.

Di kamar kost, Laya terbaring beristirahat. Di samping kamar kostnya terdengar seseorang sedang menyetel musik di radio. Kebetulan kamar kost yang ditempati Laya adalah kamar kost khusus perempuan, perempuan dengan berbagai bidang. Penghuni kost juga di antaranya ada yang sudah bekerja ataupun masih mahasiswi, jadi tidak aneh apabila pagi-pagi sudah ramai suasananya.

Laya bangun dari tidurnya, ia duduk di atas ranjangnya, lalu memegang novel yang belum rampung ia baca. Novel yang ia pegang berjudul ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’, tidak hanya diceritakan peristiwa tenggelamnya sebuah kapal pada saat itu, tetapi juga ia tenggelam dalam romansa Zainuddin dan Hayati karya Hamka. Sungguh sangat berbelit sekali apabila dirinya adalah sesosok Hayati yang malah menikah dengan Aziz, padahal yang didambakannya hanyalah Zainuddin seorang.

“Lay…Laya….Lay!”

Teriak Mira sambil gedor-gedor pintu dengan keras, Laya langsung keluar, “apaan sih, Mir, nanti orang lain keganggu, apalagi Ibu kost di sini super sensitif.”

Mira langsung masuk ke dalam kamar dan Laya menutup pintu lalu menguncinya. Belum saja Laya duduk di samping dirinya, Mira langsung melayangkan pertanyaan, “gimana nih kerjaannya?”

“Kerjaanku?” tanya Laya mengerung ia langsung merebahkan dirinya di atas ranjang sekalian.

“Iyalah, Laya, kerjaan kamu,” gemas Mira.

Laya mengingat baik-baik, “baik-baik dan seru banget, apalagi aku ditugaskan menilai ujian praktek drama kelas akhir.”

“Keren….keren….” pekik Mira, ia ikut-ikutan membaringkan dirinya di atas ranjang. “eh, jadi keinget tugas kuliah kita yang bikin drama itu?”

“Iya, ya, jadi kangen masa kuliah,” tutur Laya, tetiba saja ingatannya melayang pada masa-masa kuliahnya dulu. “Tapi gimana soal kerjaanmu?”

Alhamdulillah, lancar sukses.”

“Kamu tahu Gana penulis itu?” tanya Laya.

Mira mengernyitkan dahinya, agak lupa, “penulis cerpen itu, kan?”

Laya mengangguk.

 “Apa emang?”

“Aku ketemu sama dia,” tutur Laya dengan senyuman yang dilukiskan pada wajahnya.

Mira seolah-olah tidak percaya, “beneran?”

“Iya,” jawab Laya yang jujur seadanya dan sebenar-benarnya, “masa aku bohong, Mir.”

Mira menohok tidak berkata-kata, seperti disambar petir. Pemandangan itu membuat Laya tertawa melihatnya. Melihat temannya yang tidak percaya bahwa tadi dirinya melewati seorang penulis favoritnya sendiri.

“Gana itu penulis favorit aku, Lay,” greget Mira dan ada iri dalam hatinya. “Aku pernah lihat dia waktu dulu di acara kampus gitu dan itu cuman sekali aja.”

“malahan aku belum sama sekali, Mir, ini baru pertama kalinya aku ketemu sama dia,” ujar Laya, ia benar-benar yakin tidak pernah bertemu dengan Gana. “buktinya, aku juga ngegurutu tentang Gana yang sekalian aja bikin novel, soalnya bikin cerpen juga udah pada bagus-bagus. Aku serius banget, aku nggak tahu kalau aku langsung ngomong ke orangnya. Di depan mataku, Mir.”

“kapan-kapan kenalin dong,” goda Mira.

Laya mendelik, “aku ketemu sama dia juga nggak sengaja, mungkin aku sama Gana nggak bakalan ketemu lagi.”

“eh, jangan kitu!”

“kenapa?”

“aku berharap kalian berdua dipertemukan kembali,” ujar Mira ditutur dengan tawanya yang menggoda.

“hmmmmmm, aku nggak berharap, Mir. Biasa aja menurutku, mau dipertemukan sama Tuhan boleh, tidak dipertemukan juga nggak apa-apa. Nggak ada efek samping juga kalau di hidupku kalau nggak ada dia,” kata Laya dengan santai.

_*_

Hari jum’at, Laya ingat dirinya belum menelpon Ibu Aan untuk mencari tahu waktu yang tepat buat jalan-jalan nanti. Laya bergegas turun ke bawah, ia menelpon Ibu Aan menggunakan telepon rumah milik Ibu kost yang dipersilahkan dipakai untuk siapa saja.

assalamualaikum, Ibu, ini dengan ibu Aan?” tanya Laya dalam telepon.

"waalaikumsalam, iya. Ini siapa, ya?”

“ini Laya, Bu.”

“oh, Laya, gimana besok jadi, kan?”

“jadi dong, Bu,” jawab Laya bersemangat.

“oh, iya, besok kita janjian aja di depan kost kamu, masih kost yang dulu, kan?”

“iya, Bu, masih.”

"kita jalan-jalan malam, jadi nanti Ibu sama suami Ibu jemput kamu jam setengah tujuh,” kata Ibu Aan yang suaranya terdengar berambisi ingin buru-buru main.

Laya tertawa kecil, “iya, Bu.”

"ditunggu, ya, Sayang,” kata Ibu Aan. “assalamualaikum.”

waalaikumsalam.”

Laya menutup teleponnya, ia bergegas kembali menuju kamar kost. Akhir-akhir ini, ia banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar kost untuk membaca buku atau cuman iseng-iseng saja menulis sebuah karangan cerita. Terkadang dalam suasana yang hening, Laya teringat aktivitas-aktivitas dirinya semasa di kampus. Ia senang membaca buku bahkan meminjam buku di perpustakaan. Entah mengapa, perpustakaan adalah tempat paling nyaman dan tenang di antara tempat yang lainnya.

Ia menghabiskan waktu pagi sampai siang untuk mengajar anak-anak SMA, terkadang pada waktu istirahat dirinya menghabiskan waktu di kantin hanya untuk mencoba beberapa jajanan anak-anak di sana. Kantin sekolah ini mengingatkannya pada kantin kampus. Kantin kampus juga jadi wisata favorit di kala lapar melanda perut. Laya selalu pergi ke kantin bersama Mira, dirinya akan merasa canggung kalau sendirian di kantin kampus. Namun, di kantin sekolah ini, Laya sudah membiasakan dirinya sendirian karena kesendirian di sini membuatnya merasa nyaman.

Pukul enam sore, Laya sudah bersiap-siap memakai baju dress yang cantic dan rapi, di bagian bawahnya yang dibuat bergelombang. Ia memakai tas kecil berwarna hitam untuk menyimpan uang, sapu tangan, dan catatan kecil sekaligus pulpen. Laya sudah tidak sabar, ke manakah Ibu Aan mengajaknya bermain kali ini.

Laya dijemput menggunakan mobil yang dikendarai oleh suaminya Ibu Aan, Pak Iyong. Laya duduk di belakang, ia menyenderkan punggungnya sambil melihat-lihat bangunan yang bercahaya karena lampu. Ibu Aan dan Pak Iyong mereka berdua terdiam dan hanya memerhatikan jalan saja.

“Laya, kapan pulang?” tanya Ibu Aan memecahkan kesunyian.

“aku nggak bakalan pulang, Bu, aku pengen kerja selama libur,” jawab Laya.

“udah ada kerjaannya?”

Lihat selengkapnya