Ganalaya

Hilyati Marsyalita
Chapter #4

Terbayang-bayang

Libur sekolah baru saja dimulai, Laya benar-benar merasakan udara kebebasan dan waktu beristirahat bisa lebih banyak. Kemarin juga dirinya dapat telepon dari Mira, kalau dirinya diajak datang ke rumahnya sekalian berliburan. Sekarang dirinya tengah bersiap-siap pergi ke rumah Mira yang katanya jarak rumahnya jauh dari kost.

Walaupun mereka berdua bersahabat sejak lama mulai dari awal perkuliahan, tetapi Laya baru kali ini pergi ke rumah Mira. Di mana teman-teman sekelasnya sudah ke rumah Mira hanya sekedar main-main, cuman Laya saja yang tidak berangkat, ia lebih baik menyendiri daripada harus berkumpul bersama teman-temannya. Menuju rumah Mira memang jauh harus menaiki angkot, tepatnya dua kali. Di dalam angkot terdapat kejadian-kejadian yang lucu, seperti ayam yang lepas dari cengkraman, Ibu-ibu yang saling menggosipkan tetangganya, anak kecil yang merengek nangis karena tidak dibelikan jajanan, dan ada seorang lelaki tua yang marah-marah karena diturunkannya terlalu jauh. Laya sempat berpikir, mungkin Mira sering menonton kejadian-kejadian lucu di dalam angkot, apalagi harus menaiki dua angkot tambah lucu lagi.

“ini Mang,” kata Laya memberi ongkos pada supir angkot.

Laya turun di depan sawah yang di sampingnya terdapat toko kain tekstil sesuai dengan petunjuk Mira, menuju rumah Mira harus melewati jalan setapak yang masih dikerumuni rerumputan hijau. “Mira pergi ke kampus dulu penuh perjuangan juga, ya,” geming Laya sambil melihat-lihat sekitar.

Rerumputan sekitarnya sangat tinggi, jika dirinya tidak menggunakan sepatu, kakinya bakalan gatal-gatal. Laya masih berjalan mengikuti jalan setapak ini sampai dirinya menemukan Mira, ia berjalan mendekati Laya. “Laya!” sahut Mira, ia setengah berlari menghampiri Laya.

“Mira,” sahut Laya, mereka berdua pun berjalan bebarengan. “malam-malam di sini agak takut, ya, soalnya jarak dari rumah ke rumah agak jauh. Aku nggak bakalan berani tinggal di sini,” kata Laya, ia tidak percaya rumah Mira agak jauh dari jalan raya.

“kalau buatku sudah biasa, Laya,” pekik Mira, ia memimpin jalan. “itu rumahku,” tunjuk Mira pada rumah yang berwarna biru langit.

Ketika masuk ke dalam rumah, Laya bersalaman pada Mama dan Bapak Mira. Mereka berdua senang sekali didatangi Laya, karena Laya adalah sosok sahabat yang sering diceritakan pada keluarganya. Adik Mira bernama Yuli dan Esa langsung menyalami Laya dan ia sangat senang disambut hangat.

“kamu duduk aja di sana, ya,” kata Mira, ia lalu pergi ke dalam kamar.

Yuli dan Esa ketawa-ketawa sambil berlarian dan keluar rumah entah ke mana, Bapak dan Mama Mira pergi ke dapur yang tersisa hanyalah Laya di tengah ruangan. Sekejap, Mama Mira membawa bajigur hangat dan ubi rebus disuguhinya pada Laya.

“Bu, nggak usah repot-repot,” kata Laya merasa tidak enak.

“kami senang kehadiran Laya ke sini,” tutur Mama Mira ramah. “kamu nggak bakalan pulang, Neng Laya?”

“belum pulang aja, Bu.”

“kalau nggak pulang, kapan-kapan mampir ke sini, ya.”

Laya mengangguk malu-malu. Ibunya Mira pamit pergi ke belakang. Di rumah Mira, dirinya sangat diterima karena melihat tingkah laku Bapak dan Ibunya Mira. Bahkan kedua adik Mira yang tidak segan mengajak Laya mengobrol dan bercanda.

Mira keluar dari kamarnya sambil membawa dua buku bacaan yang dihadiahkan untuk Laya, “kamu suka ngasih aku kado ulang tahun, tapi aku suka lupa ngasih kamu kado. Jadi, ini kadonya, maaf telat.”

Laya terkesima, ia bahagia dan langsung membawa buku bacaan yang ternyata berisikan kumpulan puisi karya Taufiq Ismail. “Mir, ini sastrawan favoritku. Dari mana kamu tahu?”

“rahasia.”

Laya tersenyum, “makasih, Mira.”

“aku juga makasih.”

“kalau Gana udah menerbitkan buku, mungkin akan kubelikan satu buku buatmu,” canda Mira membuat Laya tergelitik.

Mereka berdua pun tertawa. Entahlah, Laya merasakan kalau Mira memang benar-benar sosok sahabat dari dahulu yang tidak ingin jauh darinya. Sampai sekarang, Laya merasakan kehangatan dan kedekatan dalam diri Mira yang tidak pernah berubah. Apabila tiada Mira dalam hidupnya, mungkin hidupnya bakalan sepi. Laya selalu berlirih bersyukur dalam hati memiliki Mira dalam hidupnya. Jika Mira menjauhinya suatu saat nanti, itu tidak masalah bagi Laya, karena persoalan yang paling penting adalah dirinya tidak akan pernah menjauhi Mira.

_*_

Tidak ada kegiatan yang dilakukan pada hari ini, tidak ada ajakan bermain bahkan Laya sudah malas berpergian keluar. Di kamar kost, ia membenamkan dirinya di atas ranjang merasakan lagi tidur di siang hari. Ia terbangun karena ada suara aneh di luar pintu, seperti sedang mengacak-acak tempat sampah.

“Bi, lagi ngapain?” tanya Laya, ia setengah bersembunyi di ujung pintu.

“kan, jadwalnya buang sampah, Neng,” jawab Bi Ina sambil memindahkan sampah ke dalam tong yang lebih besar.

Melihat Bi Ina jadi ingat mau bertanya, “eh, Bi. Pernah ngirim surat, nggak?”

"pernahlah, Neng. Mau ngirim surat ke pacar, ya?”

“ihhhh…..Bibi, bukanlah,” Laya kesal kalau sudah disangkutpautkan dengan lelaki. “aku mau ngirim naskah.”

“iya…iya..” Bi Ina berhenti menggodanya. “jadi, Neng Laya mau nanyain apa ke Bibi?”

“kantor pos buka sampai jam berapa?” tanya Laya sambil nyengir-nyengir.

“sekarang mah masih buka, Neng.”

“oh, ya,” ucap Laya. “makasih, ya, Bi.”

“sama-sama, Neng.”

Laya menutup kembali pintu kamar kost, ia berjingkrak kegirangan. Hari ini, ia berniat ingin menulis sebuah naskah cerpen lalu diterbitkan di media koran. Ia berharap karya cerpen pertamanya disukai dan menjangkau banyak pembaca. Laya mengambil selembar kertas, lalu ia mengetiknya dengan mesin tik yang ia punya.

Lembayung

         Di dunia yang penuh sesak ini, hanya dialah yang berharap menyambut suasana di sore hari, sosok perempuan menggamit doa di sore hari berharap malam yang akan menerpanya selalu di bawah perlindungan. Ia menatap keluar jendela, sore yang selalu seperti ini, ia tidak suka kalau sore harinya tidak seindah dengan suasana pagi hari. Orang-orang menyambut paginya dengan berdoa, mengawali aktivitas hariannya, anak-anak riang mereka bisa bermain sepuasnya sampai sore. Suasana malam hari pun selalu dinanti-nanti, mereka bisa bermain di bawah bintang-bintang dan rembulan.

         Lily ingin pulang dan mengistirahatkan badan serta pikirannya setelah bekerja seharian sampai sore. Ia berjaga toko aneka pakaian perempuan dan lelaki. Namun, sekarang ia harus lembur sampai malam, dan akan diberi upah tambahan. Lily mengambil pakaian bayi di gudang, lalu ia memajangnya satu demi satu.

         “permisi!” ada suara seseorang yang berdiri di kasir, “permisi!”

         Lily berjalan menghampirinya, “ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanya Lily sambil menyunggingkan senyumannya dan bersikap ramah layaknya pelayan toko lainnya.

         “aku ingin menukarkan baju ini dengan ukuran yang lebih besar, Ayahku salah membeli,” kata lelaki itu, ia menjaga ucapannya takut Lily tersinggung.

         “baiklah, aku akan membawakanmu ukuran lain,” kata Lily sigap, “tunggu dulu!”

         Lily masuk ke gudang mencari-cari ukuran baju yang lebih besar. Lelaki itu sibuk melihat-lihat pakaian lelaki yang lain.

         “Tuan, ini bajunya,” kata Lily, ia memberikan baju kepada lelaki itu. 

         “hmmm, kau yakin ini lebih besar?”

         “iya, ini lebih besar.”

         “baiklah, aku bawa, ada biaya tambahan?” tanya lelaki, kedua matanya menatap Lily.

         “tidak perlu, harganya sama saja.”

         “baiklah, terima kasih.”

         “sama-sama.”

         Berlarutnya malam, Lily mengunci pintu toko dan pulang dengan berjalan kaki. Di tengah jalan, ia bertabrakan dengan lelaki yang tadi ke toko untuk menukarkan ukuran baju, “ahh.. maaf, Tuan. Aku tak sengaja.”

         “oh, kamu, kamu baru pulang?”

         “iya, Tuan, maaf.”

         “tenang saja. Malam ini akan kuantar, mari naiklah mobilku,” lelaki mengajak Lily menaiki mobil yang di masa itu terkenal dengan kemewahannya hanya orang-orang kaya yang dapat membelinya.

         “namamu siapa?” tanya Lily agak malu-malu.

         “aku Irman.”

         “terima kasih, Irman. Aku Lily.”

         Lily turun dari mobil, ia memang selalu bertanya nama pada siapa saja yang baik kepadanya. Jika suatu saat nanti bertemu kembali, mungkin akan dibalas kebaikan-kebaikan mereka, walaupun tidak sebesar kebaikan yang mereka berikan pada kita. Lily merebahkan badan dan kelelahannya di atas ranjang, “kapan aku bisa menikmati soreku, aku hanya bisa menikmati malamku saja.”

         Entah kenapa ada alasan saja, lelaki bernama Irman tersebut selalu datang ke toko. Kadang membeli dasi, mantel, ataupun pakaian lainnya. Kadang membawa keluarga besarnya dan mengenalkan pada Lily. Ketika lembur malam, Irman selalu menunggunya di depan toko sambil merokok, ia ingin mengantar Lily pulang. Ia sangat takut, kalau perempuan di malam hari masih berlalu-lalang rentan terkena kejahatan. Malam ini agak spesial, Lily mengajaknya ke rumah untuk sekedar minum teh bareng. Mereka saling bertatap-tatapan, tersenyum, dan saling mengungkapkan ada benih cinta yang tertanam pada hati mereka.

         “apa impian kamu?” tanya Lily, dengan kepalanya berada di pangkuan Irman.

         “impianku banyak,” jawab Irman sambil membelai-belai kepalanya, “apa impianmu, Lily?”

         “jika aku mati, aku ingin jasadku dipersembahkan pada langit sore. Aku ingin menjadi bagian dari keindahan langit dan suasana di sore hari. Mungkin kamu juga tahu, Tuan. Langit sore tidak seindah pagi dan malam.”

         Hari-hari selanjutnya seperti yang lalu, sudah lama Lily tak mendapatkan lembur malam, jadi ia pulang pada sore hari. Dengan sejatinya, Irman selalu datang ke toko dan setiap hari mengantar pulang. Tidak ada kecanggungan di antara mereka berdua, mereka selalu bergandengan dan saling memeluk. Sampai akhirnya, mobil yang ditumpangi mereka berdua hampir menabrak seseorang yang berada di depannya. Lily terkejut dan menjerit di hadapannya ada dua orang lelaki yang berbadan tegap dan besar, Irman menenangkannya.

         Irman keluar memberanikan dirinya dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Namun, ia dihantam pukulan mengenai perut dan mukanya, terus-menerus Irman disiksa. Lily menjerit, suaranya meringgih ketakutan. Seorang lelaki mengeluarkan Lily secara paksa, Lily dilempar, kedua pipinya ditampar keras, rambutnya ditarik dan kembali dilemparkan.

         “kau sudah berani melanggar peraturan keluarga kita, Irman,” suara lelaki itu muncul dibalik kedua lelaki besar tersebut.

         Irman berusaha bangkit, ia ingin melihat siapa yang berkata kepadanya, dan ternyata itu adalah Ayahnya sendiri. Ayahnya telah memanggil dua mafia ini untuk menyiksanya dan Lily kena impasnya.

         “kau melanggar perjanjian keluarga kita untuk tidak jatuh cinta pada gadis miskin sepertinya,” suara Ayahnya penuh amarah, “karena kau melanggar janji, jadi kau harus membayarnya.”

         Irman tidak kuasa berkata apapun yang ia rasakan hanyalah kesakitan sekujur badan. Lily menangis, “Tuan, maafkanlah aku!”

         “sekarang, kau anakku. Kau harus memilih dua pilihan, aku yang membunuhmu atau aku yang membunuh perempuan miskin itu.”

         Tangisan Lily pecah, “aku mohon bunuh saja aku,” Lily terus-menerus memohon, “aku ingin Tuanku tetap hidup.”

         “a….ku sa…ja,” timpal Irman menguatkan dirinya dan bangun dari rasa kesakitan, “aku tidak berhak hidup denganmu, Ayah. Jadi, bunuh saja aku.”

         Irman menantang Ayahnya. Ayahnya mendaratkan senyuman licik di bibirnya, pistol tepat sudah berada di ujung kepala Irman. Namun, Ayahnya malah menembak Lily yang sedang berusaha berdiri dengan beberapa kali tembakan.

         “LILY!” teriak Irman, ia langsung mendekap Lily.

         Lily hampir tak bisa bernafas. Seluruh badannya dibaluri darah segar, kepalanya terus mengalir darah. Lily hanya tersenyum lemah, badannya perlahan-lahan terkulai. Ini adalah terakhir kalinya, ia memandang kekasihnya bernafas.

         Irman menahan sesak dan tangisnya, “Tuhan, kupersembahkan jasad kekasihku kepadamu. Dunia tidak memperbolehkannya hidup bahagia, aku mempersembahkan pada langit sore hari. Kumohon jadikanlah dia penghias langit di sore hari. Ia berkali-kali jatuh cinta pada soreMu, terimalah jasadnya.”

         Jasad Lily dalam dekapannya, seketika memudar perlahan, hilang. Tangisnya membuncah, ia seperti orang gila, kelayapan. Kebahagiaannya seketika hilang. Tubuh Irman rapuh dan dedanya sesak. Orang-orang ramai keluar dari rumah-rumah, berdesis-desis mengajak yang lain untuk melihat kejadian ini, mereka menyaksikan sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Irman bangkit dilihat langit sore memancarkan cahaya kuning.

         “jika aku mati, aku ingin jasadku dipersembahkan pada langit sore. Aku ingin menjadi bagian dari keindahan langit dan suasana di sore hari. Mungkin kamu juga tahu, Tuan. Langit sore tidak seindah pagi dan malam,” ia teringat ucapan Lily pada saat itu. Seketika ucapan serta harapan kekasihnya menjadi nyata, “kamu tidak pernah meninggalkanku, Lily. Langit mengabulkan harapanmu dan mengabulkan keinginanku juga agar aku tidak pernah merasakan kehilanganmu.”

_*_

Laya berhenti menulis, ia sudah memutuskan bahwa cerpen yang ia buat telah mencapai akhir cerita. Akhir yang sedih, bukan sesuatu yang menyedihkan pula baginya. Tapi akhir yang sedih adalah membesarkan kemungkinan untuk mengubah masa depan, mungkin bisa jadi akhir yang buruk akan mendatangkan sesuatu yang baik di masa depan. Laya memasukkan naskah tersebut ke dalam amplop, ia menulis alamat yang akan dituju.

Ia bergegas bersiap-siap untuk pergi ke kantor pos, dengan biasa dirinya membawa tas selempang berwarna hitam kesukaannya. Dirinya tidak melupakan membawa amplop berisikan naskah yang hendak ia terbitkan. Seorang petugas kantor pos menerima amplop itu dengan ramah, “mau beli perangko yang berapaan?”

“yang biasa berapa, Pak?” tanya Laya yang baru kali ini mengirim surat lewat kantor pos.

“dua ribu, Neng.”

“itu aja yang biasa, Pak,” kata Laya. “ini uangnya, Pak.”

Laya terburu-buru pergi dari kantor pos, ia ingin sekali mendayung dua pulau terlampaui. Sekalian saja, ia jalan-jalan pergi ke tukang buku loak yang pakai gerobak-gerobak yang berdiam di samping sungai Cikapundung. Untuk menempuh jarak pergi ke tukang buku loak memang menghabiskan waktu yang cukup lama, apalagi cuman jalan kaki. Entah mengapa selama beberapa hari setelah menonton teater karya Gana, pikirannya selalu dihantui tentang teater, jadi dirinya juga ingin mempelajari teori-teori teater.

Hampir sepanjang jalan terdapat pedagang buku loak yang berjajar-jajar, pembelinya pun tidak kalah ramai. Ada yang sibuk mencari buku sembari baca-baca sinopsisnya, ada yang mencari buku dengan bertanya-tanya ke si penjualnya, dan ada juga yang hanya melihat-lihat saja. Laya sangat menikmati keramaian yang seperti ini, keramaian yang berhubungan dengan kesukaannya. Laya memberanikan diri bertanya kepada penjual bukunya karena sangat bingung mencari buku yang diinginkannya, “Pak, ada buku tentang teori tentang teater gitu?”

“teori teater?” tanya si penjual memastikan.

“iya, Pak.”

“bentar!”

Si penjual mencari-cari buku yang diinginkan Laya, dengan sekejap Bapak penjual itu langsung menemukan bukunya. Namun diserobot oleh seorang lelaki, “saya beli buku itu, Pak,” sahutnya yang membuat Laya geram.

“lah, Pak. Kan, saya duluan yang minta dicariin. Saya bakalan beli loh, Pak,” kata Laya yang tidak ingin siapapun mendapatkan apa yang dicarinya, “ini, Pak, uangnya!”

“maaf, ya, Ujang. Neng ini yang pertama kali dapat buku ini, ya,” ujar Bapak penjual terhadap lelaki yang ada di samping Laya.

“Neng, buku ini dua puluh ribu, dan ini kembaliannya,” Bapak Penjual memberikan kembalian yang pas pada Laya.

“Laya,” lirih sesosok lelaki yang tadi menyerobot bukunya.

Laya menengok ke sampingnya, ternyata, “kamu, Gana.”

Gana tertawa kecil, “selain sama-sama beli koran, kita juga sama-sama beli buku, ya,” celetuk Gana mencairkan suasana hati Laya yang tadi kesal.

Laya menutup senyumannya dengan tangan, “benar-benar semuanya kebetulan, Gana,” pekik Laya yang memang bertemu lagi dengan Gana. Pertemuan ini adalah sesuatu yang di luar dugaan, “kamu memang suka beli di sini?”

“ya, gimana lagi, ya. Namanya juga mengirit keuangan,” jawab Gana sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 “santai,” tutur Laya, “aku juga gitu, sengaja beli aja ke pasar loak biar ngirit juga.”

“kamu udah ini mau ke mana?” tanya Gana yang beriringan langkahnya bersamaan dengan Laya.

"hmmm….bakalan pulang, Mas,” jawab Laya sambil memegang erat bukunya.

“kita duduk gitu di pinggir jalan sambil beli makanan atau minuman, kapan-kapan lagi kita ketemu, kan?”

“ihh, bukannya kita mau ke kedai susu itu, kan?” tanya Laya, ia masih ingat janji Gana setelah penampilan teater pada malam itu.

Gana menepuk jidat, dirinya hampir lupa tentang janji tersebut, “baiklah, tapi kita naik angkot ke sana.”

Laya terlihat senang hati menerima ajakan Gana. Mereka berdua menaiki angkot yang sedang berhenti menunggu penumpang. Namun, sebelumnya Gana bertanya, “Mang, nggak bakalan ini teh?

Lihat selengkapnya