Ganalaya

Hilyati Marsyalita
Chapter #5

Pelukan Pertama, Berdansa, dan Guyuran Hujan

Dunia yang ramai dengan isi kepala yang berisik. Laya mematikan lampu kamarnya, karena sebentar lagi cahaya dari luar masuk ke dalam kamar. Dirinya harus membereskan barang-barang yang berantakan, baju-baju yang harus dilipat, dan sebagian baju yang harus dicuci. Ada satu buku puisi dan satu novel milik Gana yang sudah habis dibaca, ia harus mengembalikannya kembali.

Tidak ada yang sebaik dari pagi yang memulai aktivitas manusia, terkadang ada manusia terbangun mendahului ayam jantan yang berkokok. Adapula, manusia yang terbangun ketika matahari mulai menyapa. Semua penghuni kost sudah terbangun dari pagi buta, pintu-pintu kamar mereka telah dibuka mempersilahkan udara fajar masuk.

Neng Laya,” sahut Bi Ina sambil menggedor-gedor pintu kamar.

“apa, Bi?” tanya Laya.

"ada yang menelpon katanya dari Ibu Neng Laya.”

“oh, ya?”

Laya langsung pergi ke bawah mengangkat telepon dari Ibunya, “Ibu, apa kabar?”

"baik, Laya, gimana kabarmu?”

“aku baik, Bu,” jawab Laya, ia benar-benar merindukan Ibunya.

“selama libur ngajar kamu nggak balik ke rumah, Lay, nggak kangen sama Ibu?”

Laya tersenyum, ia membayangkan Ibunya ada di hadapannya, “aku kangen sama Ibu, tapi emang aku udah niat dari tahun kemarin kalau udah kerja di sini, nggak bakalan keseringan pulang.”

"nggak apa-apa, Lay, biar kamu belajar mandiri juga, ya,” kata Ibu dalam hatinya benar-benar merindukan anaknya yang belum pulang-pulang ke rumah.

“iya, Bu,” jawab Laya, dirinya merasa penuh kegirangan. “Ibu, gimana kabar Ayah?”

“baik, dia baik,” jawab Ibu. “biasa dirinya lagi sibuk, Lay, doain Ayahmu aja biar sehat terus dan dimudahkan urusan serta rezekinya, ya.”

“iya, Bu, Laya bakalan terus ngedoain Ayah atau Ibu,” pekik Laya, ia benar-benar ingin sekali memandang wajah Ayah dan Ibunya yang tidak hanya sekedar dari foto saja.

“Lay, kata Ibu Aan pas malam dia nelepon. Katanya, kamu sekarang ke rumah Ibu Aan ada acara yang diselenggarakan anaknya itu loh. Duh, Ibu lupa lagi namanya siapa.”

“jadi, Laya harus ke rumah Ibu Aan jam berapa?”

"katanya, kamu jam sepuluh harus ada di sana aja,” jawab Ibu, ia menyarankan agar tidak telat.

“iya, Bu, Laya bakalan ke sana.”

"terus tadi Ibu Aan minta nomor telepon kost kamu, ya, Ibu kasihkan. Nggak apa-apa, kan?”

“nggak apa-apalah, Bu,” jawab Laya, ia merasa Ibu Aan hanya akan menelponnya ketika berkepentingan saja.

“awas inget, jaga kesehatan kamu, dan jangan lupa telepon Ibumu ini!” suara Ibu agak menyentak dan nadanya meninggi.

“aku malulah, Bu, soalnya ini telepon kost bukan telepon pribadi milikku,” kata Laya, ia memang memiliki rasa tidak enak kalau keterusan memakai fasilitas kost.

“baiklah, Ibu cuman bercanda doang, intinya kamu kapan-kapan sempetin ngabarin Ibu, ya,” pinta Ibu, ia tidak meminta apapun kecuali kabar anaknya sendiri.

“iya, Bu,” kata Laya.

“Ibu tutup dulu, ya, Assalamualaikum.”

waalaikumsalam.”

Laya bergegas mencuci baju dan menjemurnya. Setelah semuanya beres, ia langsung mandi dan mempercantik dirinya. Ia memakai dress berwarna merah bata dengan corak bunga-bunga kecil yang lucu. Laya ingin tampil berbeda, ia mengepang rambutnya yang terurai panjang. Ia bersiap-siap membawa tas dan buku milik Gana. Sebelum pergi ke rumah Ibu Aan, Laya mampir terlebih dahulu ke kontrakan Gana. Laya mengetuk-ngetuk pintu, namun kamarnya sudah gelap dan seperti tidak ada penghuni.

“mau ke siapa, Neng?” tanya seorang lelaki yang tinggal di samping kontraka Gana.

“aku mau ketemu sama Gana,” jawab Laya agak ragu karena ia berbicara pada orang asing.

“Gana tadi udah pergi, Neng, nggak tahu ke mana. Mungkin nanti sore aja ke sini lagi.”

Laya mengangguk-angguk, ia mengucapkan terima kasih sebelum dirinya pamit pergi kembali. Laya tidak yakin kalau Gana ada di ruangan teater, jadi ia memutuskan untuk langsung pergi saja ke rumah Ibu Aan yang harus ditempuh menggunakan angkot. Rumahnya di pinggir jalan Mohammad Toha. Laya membayar ongkos angkotnya, ia tidak habis pikir diundang ke acara syukuran keluarga Ibu Aan padahal dirinya bukan siapa-siapa.

“Ibu ada Laya,” teriak Mela anak bungsu Ibu Aan. Mela memang seumuran dengan Laya, Mela lebih dahulu menikah daripada Laya. “Laya, aku senang banget kamu ke sini,” ujar Mela berhambur memeluk Laya.

“kamu sama suamimu?” tanya Laya yang bingung mau nanya apa lagi.

"iya, Laya. Ada kakakku juga, Aa Rian.”

"komplit sekali,” lirih Laya baru sadar ini adalah acara besar-besaran. “ini acara syukuran, kan?” tanya Laya pada Mela.

“bukan, ini acara tunangan adikku,” pekik Mela.

“bukannya, Ibu Aan anaknya cuman Rian sama kamu aja, Mel,” tukas Laya, dirinya memang baru tahu kalau Ibu Aan memiliki anak satu lagi.

“bukan…bukan.”

“jadi?”

“dia itu anak Uwaku, tapi dianggap sebagai anak sendiri sama Ibuku karena Uwaku udah meninggal dunia,” jelas Mela mengajak Laya duduk di ruang tamu.

Laya mengangguk-angguk, “aku baru tahu, Mel.”

“nggak apa-apa.”

Mela mengenalkan Laya pada saudara-saudaranya yang lain, semua saudara Ibu Aan sangat menerima Laya dengan senang hati. Ibu Aan berhambur memeluk Laya, dirinya merasa sangat senang atas kedatangan Laya. “Ibu, kenapa kamu ngomong ke Ibuku ada acara syukuran, bukan acara lamaran?”

Ibu Aan menepuk jidat, “waduh, Ibu lupa, Laya,” kata Ibu Aan dirinya memang tidak sadar mengucapkannya. “padahal dari hati udah bulet mau ngomong ‘acara tunangan’, ehh keluar dari mulut malah ‘acara syukuran’.”

“nggak apa-apa, Ibu, cuman agak terkejut aja,” pekik Laya, dirinya merasa terkejut tak karuan.

Perbincangan Ibu Aan dan Laya tidak berangsur lama, Ibu Aan mengajak Laya ke kamar atas, lalu mengenalkan Laya pada Lisa yang akan tunangan hari ini. Lisa berdandan sangat cantik, mengenakan pakaian dengan nuansa sangat feminim, rambutnya di sisi sebelah kanan dihiasi jepit rambut berwarna perak, bibirnya ketir dan perasaannya sangat campur aduk menghadapi acara terbesar dalam hidupnya.

Laya duduk di samping Lisa, ia menemani Lisa karena dirinya duduk sendirian di kamar atas. “aku akan membantumu memakai cream pelembab ini ke tanganmu,” kata Laya, ia mencoba mengoleskan cream ada tangan Lisa.

“tidak apa-apa, kan?”

“nggak apa-apa. Aku senang bisa membantumu,” kata Laya, ia tidak merasa diberatkan.

“Laya, aku boleh sedikit bercerita padamu?” lirih Lisa. “aku sangat gugup menjalani hari ini, tapi aku bahagia. Fase hidupku juga sampai ke tahapan bertunangan. Bapakku meninggalkanku ketika Mamaku meninggal dunia, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja daripada kuliah. Aku benar-benar bahagia, tapi mungkin Ayahku nggak bisa merasakan kebahagiaanku. Hal itu juga yang menjadikanku gugup.”

“tenang saja, itu perasaan yang wajar, Lisa,” Laya mencoba menenangkan. “tapi, turut berduka cita atas meninggal Mamamu.”

“makasih, Laya.”

"nggak apa-apa, Lisa,” Laya menggamit tangan Lisa. “kamu kuat dan mungkin Tuhan juga sayang sama kamu, makanya ngirim lelaki buat ngejaga kamu.”

Lisa tertawa kecil, “iya, biar setiap hari aku punya teman.”

Laya dan Lisa tertawa. Baru saja mereka berdua saling mengenal, tapi rasanya seperti sudah lama bertemu. Lisa berbicara panjang lebar mengenai masa sulit-sulitnya ketika ditinggalkan Mama meninggal dunia. Sungguh dari cerita Lisa sangat digambarkan bahwa ditinggalka sosok Ibu itu seperti dihilangkan harapan untuk hidup, apalagi Bapaknya yang kabur entah ke mana. Ada yang bilang Bapaknya menjadi supir angkut di daerah Soreang dan adapula yang bilang supir angkot di Cicalengka. Sebelum acara tunangan ini, kemarin-kemarin, Lisa mencari Bapaknya ke daerah Soreang dan Cicalengka, namun tetap tidak ada. Hampir semua tukang angkot ditanya pun jawabannya sama, Bapaknya tidak ada kabar dan hilang. Laya melihat keteguhan dan ketabahan dari sorot kedua mata Lisa. Apabila di posisi Lisa, mungkin Laya tidak akan bisa sekuat Lisa.

“mereka datang……mereka datang,” teriak semua orang yang ada di bawah.

Lisa memegang erat-erat tangan Laya, “calonku datang?”

“iya,” jawab Laya dengan nada menggembirakan.

Terdengar dari bawah, keluarga dari pihak lelaki sudah datang dan dipersilahkan duduk. Terdengar toples-toples kaca dan gelas-gelas berisikan air sedang dipersiapkan di atas meja. Suara Ibu Aan sungguh melejit, beliau menerima tamu dengan senang hati dan mempersilahkan untuk terlebih dahulu mencicipi makanan-makanan yang sudah disediakan.

“bentar, ya, kita panggil dulu Lisa,” kata Ibu Aan, ia pun menyuruh Mela untuk membawa Lisa ke bawah.

Mela terburu-buru ke atas menaiki tangga, lalu Laya dan Mela mendampingi Lisa untuk turun ke bawah. Setiap langkah, Lisa menyembunyikan rasa malu, sekarang dirinya tampil di hadapan keluarga besar kekasihnya. Laya perlahan menaikkan pandangannya, berjalan menuruni anak tangga tanpa melihat ke bawah. Ia melihat Gana sedang duduk di atas kursi berdampingan dengan sosok kekasih Lisa.

“ini Lisa,” ujar Ibu Aan mengenalkan Lisa pada anggota keluarga calon tunangannya.

Lisa pun duduk di samping Ibu Aan, Pak Iyong mengawali acara tersebut dengan doa dan sambutan dari keluarganya. Selama acara tunangan berlangsung, Gana tiada henti-hentinya memandang Laya. Mereka berdua saling tersenyum, mata mereka saling bertemu. Gana baru kali ini melihat Laya dengan gaya yang baru, rambut panjang yang terkepang rapi. Bagi Laya, alasan Gana tidak ada di kontrakannya adalah untuk mendampingi lelaki yang entah saudaranya atau temannya.

Ingin rasanya Laya menghampiri Gana walupun sekedar mengucapkan ‘selamat pagi’ atau ‘selamat malam’. Ia malah mengingat naik becak berdua lalu berdansa berdua di depan gerbang kost. Bayangan-bayangan kebersamaan ini sungguh mengganggu pikiran mereka berdua, tapi mereka suka. Setelah sekian lama acara berlangsung, akhirnya sampailah pada acara memasangkan cincin di jari perempuan.

Sakib, sosok kekasih Lisa memasangkan cincin pada Lisa dan Lisa pun sebaliknya. Semua keluarga bertepuk tangan, akhirnya mereka berdua berhasil menunaikan pertunangan. Lisa menyalami kedua orang tua Sakib dan Sakib menyalami Ibu Aan dan Pak Iyong yang menjadi wali orang tua Lisa. Gana menawarkan jabatan tangan pada Laya, “Gana,” ujar Gana yang berpura-pura menjadi orang asing di hadapan orang-orang.

“apa kamu?” pekik Laya yang tidak mengerti.

“kita kenalan lagi dari awal,” jawab Gana, dirinya tengah merayu Laya.

“kenapa, padahal kita udah kenal dari awal sebelum di sini,” timpal Laya, ia tidak mengerti apa yang diinginkan Gana.

“kayak so sweet gitu, kita ketemu di pertunangan orang lain daripada ketemu di depan tukang koran,” canda Gana.

Laya mendelik, “eh, so sweet tahu pas kita ketemu di depan tukang koran. Kayak beda aja dari yang lain.” Laya tidak bisa berhenti menatap Gana. “ngomong-ngomong, kamu kenapa bisa ikut rombongan Sakib?” tanya Laya.

“Sakib itu temanku dan aku yang mengenalkan Sakib pada Lisa.”

Mulut Laya menganga, “kok bisa sih?”

“gini ceritanya,” Gana mengawali kisahnya. “kebetulan, aku kenal Lisa karena dikenalkan sama Ibu Aan waktu Mama Lisa meninggal dunia. Dia anak yang kehilangan rasa riangnya. Kemudian, singkat cerita, aku diundang ke acara Ibu Aan waktu itu aqiqah cucunya anak dari Rian. Aku malu kalau sendirian ke sana, jadi aku ajak Sakib buat menemaniku. Eh, kok, Lisa terpincut sama Sakib dan Sakib juga terpincut cinta sama Lisa.”

Lihat selengkapnya