Ganalaya

Hilyati Marsyalita
Chapter #7

Ungkapan Spontan

1997.

Laya bercermin, ia melihat bayangannya yang sedang bergerak mengikuti gerakan tubuhnya. Ia memilin-milin rambutnya sembari berpikir, apakah dirinya harus mengepang rambutnya atau tidak. Karena menurut Gana, dirinya terlihat lebih cantik dengan rambut yang terurai. Laya pun menyisir rambutnya, ia kembali menguraikan rambutnya walaupun dia tidak ada aktivitas pergi keluar.

Ada yang mengetuk pintu dan ternyata Bi Ina, “Neng Laya ada telepon dari orang.”

Laya mengernyitkan dahinya, “telepon orang? Siapa, Bi?”

Bi ina menggelengkan kepalanya, “nggak tahu, Neng.”

Laya terburu-buru turun menaiki anak tangga, ia langsung menggenggam telepon rumah, “siapa ini?” pekiknya tanpa rasa takut.

“aku.”

Laya menebak, “Gana?”

“iya, kamu mengenaliku lewat suara.”

Laya menahan tawa salah tingkahnya, “kamu dapat nomor telepon kost-ku dari siapa?” tanya Laya dengan suara pelan-pelan.

“ada saja. Kamu nggak perlu tahu.”

“seorang Gana akan selalu mendapatkan apa yang ia mau,” ucap Laya, ia tahu tingkah laku Gana.

Gana terdengar tertawa dari telepon, “gimana kamu sudah siap?”

“siap apanya?”

“mau jalan-jalan?”

“ke mana?”

“ke mana aja, kita naik mobil,” ajak Gana.

“kalau sama kamu, motor juga masuk parit. Apalagi mobil, mungkin masuk ke rumah sakit,” lantang Laya.

“kamu nggak percaya?”

“nggak,” timpal Laya dengan berani.

Gana langsung memutuskan teleponnya, Laya mengernyitkan dahi, ia melihat telepon yang ia genggam. “sungguh, Gana adalah orang aneh,” lirihnya dalam hati.

Laya bergegas kembali ke kamarnya, ia merebahkan dirinya di atas ranjang. Hari ini ia lantang memutuskan tidak akan memiliki aktivitas apapun. Ia ingin memanjakan dirinya untuk menikmati hari terakhir libur mengajar. Laya menunggu rasa ngantuknya datang setelah sepuluh menit menungguh, akhirnya ia terlelap. Namun, Bi Ina sudah memanggilnya lagi, “Neng,” sahut Bi Ina menghentikan langkah Laya. “ada anak lelaki nyari Neng,” kata Bi Ina berteriak dari bawah.

Laya langsung berjalan cepat menuju gerbang untuk menemui anak lelaki tersebut. Anak lelaki memberikan secarik kertas pada Laya dan langsung berlari pergi setelahnya. Laya merasa bingung ketika membacanya, temui aku sekarang di depan gang kost-mu. Laya melirik-lirik ke luar gerbang kost-nya, takutnya ada yang iseng. Ia kembali pergi ke dalam kamar sembari bersiap-siap membawa tas selempangnya. Ia langsung berjalan keluar menuju depan gang, ingin memastikan apa yang tulisan katakan itu benar atau tidak.

Di depan gang tersebut, terdapat lelaki yang sedang menyandar di depan pintu mobil Jeep sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Laya menghentikan langkahnya, ia tidak percaya kalau Gana bisa mengendarai mobil sampai sini. Bukannya langsung menyapa Gana, Laya malah memerhatikan di sekeliling mobil, lalu melirik ke dalam mobil takutnya ada supir diam-diam yang sedang bersembunyi.

“apa?” tanya Gana. “kamu masih belum percaya, kalau aku bisa mengendarai mobil?”

Laya menggelengkan kepalanya, “iya, aku percaya sekarang, baik.”

Gana tersenyum, lalu mengajaknya masuk ke dalam mobil. Mereka berdua duduk berdampingan. “mau ke mana kita, Laya?” tanya Gana sebelum menyalakan mesin mobil.

“aku nggak tahu, kamu ada rekomendasi pergi ke mana gitu?” Laya balik bertanya pada Gana. “aku bingung soalnya,” gerutu Laya.

“baik, terserah aku aja.”

Gana mengendarai mobilnya. Laya merasa tegang, dirinya masih ingat kejadian motor masuk ke dalam parit. Ia takut mobilnya tercebur masuk ke dalam parit yang besar alias sungai. “tenang……tenang….” Gana menenangkan Laya yang terlihat tegang.

Laya menelan ludahnya, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.

“ini bukan mobil balap, Lay,” canda Gana. “aku nggak bisa ngendarain motor, tapi aku bisa ngendarain mobil,” ujar Laya sambil fokus menyetir.

“kalau ngendarain mobil, aku nggak bisa,” timpal Laya, ia bisa menjadi lebih tenang.

“itulah kita dengan kelebihan dan kekurangan.”

“terus kita mau ke mana?” tanya Laya, ia meninggikan punggungnya.

“sesampainya aja,” jawab Gana dengan santai membuat Laya percaya bahwa tempat yang akan dikunjungi mereka berdua bakalan spesial.

Mobil melaju lumayan cepat. Gaya berkendara Gana disukai Laya, tidak terburu-buru dan santai. Laya melihat ke luar jendela mobil, ia menyandarkan punggung pada kursi mobil, “mobil ini punya kamu?”

“tidaklah,” sergah Gana dengan senyuman mekarnya. “lagian orang sepertiku nggak bisa beli mobil. Aku belum punya apa-apa, Laya. Rumah masih ngontrak juga, ngapain beli mobil mendingan beli dulu rumah.”

Laya tersenyum, “aku baru ngerasain dibawa sama kamu jalan-jalan pakai kendaraan seperti ini.”

“iya, da kemarin-kemarin mah pas kita ketemu di Bu Aan, kamu yang nyetirin motornya,” pekik Gana, ia tahu kalau Laya berpikir ke sana.

Laya tertawa, ia masih ingat kejadiannya, “kejadian itu bakalan aku inget terus selama hidupku, Gana.”

Gana tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa menahan malu kalau Laya membicarakan peristiwa ‘motor masuk parit’. Itu juga momen pertama kali, dirinya dibonceng pakai motor oleh perempuan. Kalau Laya sampai cerita ke Asep, ia bakalan mengolok-olok Gana karena sudah berbohong atas namanya. “tapi, kamu jangan ngomong ke Asep tentang itu, ya,” ujar Gana mengingatkan.

“baik……baik,” Laya menghentikan tawanya. “semua rahasiamu akan aman bersamaku,” Laya mengerlingkan mata sebelah kanannya.

“wow, mata itu,” kagum Gana.

“apa?”

“mata yang membuatku tergila-gila,” gombal Gana sedemikian rupa.

Laya langsung terdiam, ia menahan rasa malunya, kalau hatinya diperlihatkan pasti sedang berjoget ria dan berjingkrak-jingkrak gembira. Mereka berdua terdiam selama perjalanan, Laya fokus saja melihat ke depan dan Gana menyetir sambil menyunggingkan senyuman menang.

“tapi, kenapa kamu tahu nomor telepon kost-ku?” tanya Laya, ia lupa dari tadi dirinya ingin menanyakan itu.

“kamu ingat, buku yang dititipkan di rumah Bu Aan?”

“iya, aku ingat.”

Lihat selengkapnya