Angin malam yang begitu dingin menemani langkah gontainya sembari menahan luka di aekujur tubuhnya yang sudah memerah. Pandangannya terus beralih ke arah belakang, memastikan bahwa pemburu hitam yang menginginkan nyawanya sejak lima hari itu sudah tidak sampai untuk dijangkau mata kanannya yang masih jelas untuk melihat jarak jauh. Dia terus menjajakan kakinya di tengah kota yang sudah tidak begitu ramai, sampai ia benar-benar tidak kuasa menahan bobot tubuhnya yang semakin memberat. Ia mencari tempat aman. Tidak, dia tidak bisa berjalan lebih jauh lagi. Nafasnya sudah tersengal-sengal dan pandangan matanya kabur. Terakhir kali dia melihat sebuah rumah kecil berdinding putih.
"Klinik hewan," bacanya lirih. Tanpa berpikir panjang dia langsung mencari cara untuk masuk. Dan ya, jendela sisi samping tempat itu tidak dikunci. Dengan daya yang tersisa, dia masuk ke tempat itu. Pandangannya yang buram masih bisa menyadari bahwa di dalam sana tidak ada orang. Dia pun menyalakan lampu untuk mencari alat-alat yang dibutuhkan jntuk mengoperasi dirinya. Peluru tajam telah tertanam di perut bawah sebelah kirinya. Dengan memampuan yang tidak seberapa itu, akhirnya dia berhasil mengambil satu peluru yang sedari tadi membuatnya tidak leluasa untuk bergerak.
"Aarrgghh ..." dia terua mengerang kesakitan. Dia mengambil obat pengurang rasa sakit agar dia tetap bisa mengendalikan kesadarannya. Kemampuan jahjt kulit yang tidak pernah dia lakukan, akhirnya dia melakukannya. Dia berhasil mengoperasi dirinya, dan dia masih hidup. Setelah menutup lukanya dengan kain kasa, dia kenakan kembali kaos hitamnya yang dia lepas sebelum memulai operasi.
Dia terus mencoba bangkit, tapi tubuhnya tidak biaa memberi dukungan lagi untuknya. Tubuhnya yang kekar itu tidak kuasa lagi menahan rasa sakit yang sudah merambah pada setiap sisi tubuhnya.
***
"Kalian kehilangan dia?"
"Iya, Tuan. Dia tiba-tiba menghilang," ungkap salah satu utusan tanpa mengangkat kepala dan melihat tuannya yang sedang menyandarkan tangan di atas meja kaca di sisi kanannya.
"Maafkan kami, Tuan," saut utusan yang lainnya.
"Mengejar orang yang sudah sekarat saja kalian tidak becus. Mulai besok, kalian tidak perlu kembali ke sini!"
"Apa, Tuan? Maksud tuan ...,"
"Sst!" salah seorang penasihat pribadi memberi isyarat agar mereka berlima segera pergi, atau tuan mereka akan semakin murka.
Dengan langkah sedikit ragu dan penuh amarah yang tertahan, mereka pun mundur dan akhirnyabpergi dari ruangan sang tuan.
"Kemana dia?" dia berjalan ke arah jendela besar di depannya, menerawang keluar sana. "Siapa namanya?"
"Erik Ganendra, Tuan," jawab sang penasihat, Marwan, yang selalu setia berdiri di belakang tuannya, Roberto Alfa Meshach, pemilik Cormorant Bank Company, salah satu perusahaan berpengaruh di Indonesia.
"Tunggu saja, cepat atau lambataku akan menagkapmu, hisup atau mati sekalipun," tukasnya tersenyum percata diri pada masa depan.
***