“Apa kamu baik-baik saja seperti ini?” Qeya mulai diresahkan dengan keadaan cowok yang sekarang ini sedang membaca koran di depannya.
“Aku sangat baik,” tukas Erik tanpa melirik penanya. “Haruskah aku mencari pekerjaan? Kita lihat apa yang bisa aku lakukan…,”
“Apa kamu gila! Dengan kondisimu yang seperti ini kamu masih sempat mencari pekerjaan?” bentak Qeya, membuatnya berhenti membaca tapi tak lama kedua matanya kembali menyapu berita seisi Koran yang dipegangnya itu. “Kamu tentara terbodoh yang pernah aku temui,” umpatnya.
“Apa? Kamu bilang apa?” tanya Erik akhirnya menurunkan lembaran koran yang sedari tadi menutupi wajahnya,
“Tidak ada,” balas Qeya semakin kesal.
“Aku dengar kamu mengumpat, kan? Kamu bilang aku tentara terbodoh?” ucap Erik dengan nada semakin meninggi, tapi tiba-tiba dia menghembuskan nafas pendek, “Benar, kamu benar. Aku adalah tantara yang bodoh. Hhh … kenapa aku bisa ada di sini?” kepala Erik bergerak turun menghadap lantai kosong.
Kini Qeya justru merasa bersalah.
Ada apa dengannya? Apa perkataanku terlalu berlebihan? Apa dia punya masalah lain? Apa aku mengusik perasaannya?
“Maaf, apa ada masalah?” tanya Qeya memelankan suaranya, melihat dengan teliti raut wajah Erik yang berubah seketika. “Kamu terlihat sedih,” Qeya semakin bersalah dengan perkataan yang ia lontarkan sebelumnya, “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini,” lanjutnya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu, dan dua hari yang lalu.
“Sepertinya aku tidak berhak mengetahui privasimu,”
“Teman-temanku tewas karena aku yang terlalu bodoh,”
“Apa?”
***
“Te-ra-tai. Ganti dan keluar,”
Sekujur tubuhku serasa tak bertulang. Jatuh, tak berdaya. Aku menatap bulan purnama yang terlihat cantik menatap kami yang sedang gundah. Aku mencoba menata ulang nafasku. Hhh ... tidak, air mata lolos begitu saja dari pelupuk mataku, bersatu dengan debu dan keringat yang memenuhi wajahku.
Aku mencoba bangkit kembali, menguatkan tekad untuk memastikan mereka berempat, Aros, Iyan, Abdul, dan Mike baik-baik saja. Aku melangkah pelan, mencoba untuk sesedikit mungkin menimbulkan suara. Karena di sana, di pendopo tua itu aku tidak bisa memprediksi apapun.
Tangan kiriku yang kosong membuka tirai dahan semak menjalar, dan nafasku benar-benar serasa akan terhenti. Pemandangan yang sangat tidak ingin aku lihat.
“Mike,” aku tersungkur jatuh menubruk Mike yang sudah terkapar di depanku.
Darah…
“Mike, bangun! Mike!” aku terus menggoyangkan tubuhnya berharap dia membuka mata dan bisa menjelaskan apa yang sudah terjadi.
“Uhuk! Uhuk! Hhhh … Erik, lari!” tukas Mike sesekali membuka mata sembari menata nafasnya yang sudah tidak teratur itu.
“Apa? A-apa yang terjadi padamu? Mereka yang melakukannya? Jawab, Mike!” air mataku kembali menetes. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi temanku yang sangat membutuhkanku, tapi aku sendiri bingung harus bagaimana.