Kemeja dengan warna dasar putih bergaris biru membalut dirinya, disandingkan dengan celana cropped model cigarette cut hitam berhasil menghipnotis beberapa pasang mata yang melihatnya karena terkagum-kagum seketika akan ketampanannya. Lengan kemejanya yang ia lipat hingga bawah siku memperlihatkan tangannya yang keras dan berotot. Sentuhan jam tangan merek Rolex berwarna silver di tangan kirinya ia masukkan dalam saku sedang satu tangan lainnya sibuk dengan handphone-nya. Rambutnya yang hitam pekat ia perlihatkan dengan gaya undercut, membuat dirinya terlihat seperti pria dewasa yang memiliki kecerdasan tinggi dan rahangnya yang keras menggambarkan dirinya yang cool dan tegas. Ia terus berjalan santai menuju lantai 15, tempat ayahnya berada.
“Apa beliau sedang ada tamu?” tanya Gara pada pegawai yang tengah duduk di depan ruangan pemilik Cormorant Bank Company, Robert.
“Tidak ada, Tuan,” jawabnya terus tersenyum.
“Baiklah, aku akan masuk,” balasnya membalas senyum.
Klek,
“Ayah,”
“O, kamu sudah sampai. Kemarilah, Nak,” Robert mengajak putranya itu duduk.
"Kenapa ayah memanggilku untuk datang ke sini?” tanya Gara langsung merujuk pada pembahasan.
“Kamu sangat to the point, ya. Baiklah ... ayah akan memberi tahumu tentang sesuatu,” Robert berdiri untuk mengambil sebuah foto di laci meja kerjanya, kemudian kembali dan menyerahkan foto itu pada Gara.
“Siapa dia?” tanyanya kemudian dengan memicingkan mata.
“Dia … katakanlah dia itu musuhmu. Beberapa hari lalu dia berhasil kabur dari anak buah ayah yang ayah tugaskan untuk menagkapnya,"
“Dia seorang tentara?” tanyanya penuh selidik, melihat dalam foto itu seorang pria mengenakan seragam tentara lengkap.
“Benar. Dia sangat berbahaya bagi perusahaan ini. Jika dia masih hidup, mungkin saat ini dia sedang menyusun rencana untuk meruntuhkan perusahaan, dan juga mengambil alih L’avant Group.”
“Apa? Perusahaan ibu juga? Siapa sebenarnya dia? Kenapa sepertinya dia sangat berpengaruh?”
“Kamu tidak bertanya lebih dulu apa yang ayah inginkan darimu?”
“Baiklah, Ayah. Apa yang bisa Gara lakukan?”
“Ayah ingin kamu mencarinya. Bekerjasamalah dengan anak buah ayah. Kamu akan memimpin pencarian sekaligus perlawanan kalau dia memang masih hidup,”
“Baik, Yah. Aku akan melakukannya. Ayah bisa mengandalkanku,”
***
“Ayah, apa aku harus benar-benar ikut latihan itu?” Qeya terus merengek agar dia tidak jadi mengikuti latihan kedokteran di rumah sakit ayahnya, di mana dia berada sekarang.
“Iya, Sayang … bukankah itu sangat baik untukmu?” tutur Kemal, ayahnya sekaligus pemilik Rumah Sakit Andari, salah satu rumah sakit terbesar di Pulau Jawa.
“Tapi untuk sekarang Qeya tidak ingin melakukan apapun, Ayah. Qeya sedang sibuk di klinik,” Qeya tidak tahu mengapa alasan yang dia buat seperti itu. Sibuk? Sepertinya tidak. Qeya hanya ingin menjaga Erik, mungkin itu lebih tepatnya.
Kenapa aku bisa memilih alasan itu?
“Kamu sibuk? Memangnya apa yang kamu lakukan di sana?”
“Aku merawat seseorang,”
“Bukannya tempat itu untuk merawat hewan?”
Skak matt! Benar, Qeya’s Concern adalah tempat perawatan hewan, yang pastinya di dalamnya hanya menerima pasien binatang peliharaan. Pikiran Qeya entah kemana. Yang dia pikirkan hanya satu, dia tidak bisa lebih lama lagi untuk meninggalkan tentara idolanya itu.
“Iya … Ayah harus tau. Sekarang Qeya juga sedang belajar untuk mengobati dan merawat manusia,”
“Memangnya dia kenapa?”
“Dia tertembak,”
Ups! Qeya memang sedang tidak bisa mengendalikan perkataannya. Bagaimana dia bisa begitu jujur pada ayahnya yang tengah menginterogasi dirinya?
“Dia tertembak? Bagaimana kamu bisa merawat orang yang sudah tertembak? Qeya, katakan pada ayah apa yang terjadi?” Kemal memegang erat kedua pundak Qeya yang tidak cukup lebar. Dia benar-benar bingung dengan putri tunggalnya itu.
“Sudahlah ayah,” Qeya melepaskan tangan ayahnya lembut. “Intinya Qeya tidak bisa ikut latihan itu untuk beberapa hari ini. Oke, Ayah. Aku pergi dulu, Ayah.” Qeya tersenyum mengecup pipi Kemal dan meninggalkan kebingungan di wajah ayahnya. “Aku pergi, Ayah,” pamitnya kemudian.
***
Klek!
Erik melihat Qeya tengah duduk, melihatnya dengan wajah datar dan matanya yang tajam.
“Habis dari mana saja kamu?” tanyanya masih mempertahankan raut wajahnya yang menggemaskan itu. Kedua lengan ia lipat di depan dadanya, menandakan dia marah.
“Aku …,” Erik terlihat bingung, “mencari pekerjaan, tentu saja,” lanjutnya lega karena bisa menemukan alasan yang tepat.
“Sudah aku bilang jangan mencari pekerjaan dulu,” wajah Qeya semakin menciut, dan kini pandangannya ia alihkan ke samping, menghindari Erik. Dia benar-benar marah.
“Dengar, aku sekarang adalah tentara yang kuat. Lagi pula aku akan merasa tidak enak terus seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk melunasi utangku,”