Petir yang terdengar cukup keras berhasil membuat Qeya membuka matanya. Dia bangun dan duduk di atas ranjang dengan tenang. Pertanyaan pun mulai muncul dari benaknya.
Bagaimana aku bisa tidur di sini? Apa aku berjalan sendiri ke sini, atau …,
Pikirannya beralih pada Erik. Jika dia yang tidur di ranjang, berarti Erik tidur di sofa. Hujan malam ini cukup membuatnya kedinginan walaupun sedari tadi dia tidur dengan berbalut selimut.
Apa dia baik-baik saja?
Dia pasti kedinginan,
“Aku mikir apa sih? Aku khawatir sama dia? Nggak lah, tapi …,”
Akhirnya Qeya turun dari ranjangnya dan berjalan menuju ruang depan. Matanya menyapu sekeliling, tapi dia tidak juga menemukan sosok yang dicarinya.
“Di mana dia? Dia tidak mungkin ada di luar, kan?” berlawanan dengan perkataannya, Qeya justru melangkah pelan ke arah pintu.
“Tidak, dia tidak mungkin ada di luar kan? Hujan-hujanan seperti anak kecil saja. Terlalu bodoh jika menyerahkan dirinya pada hujan malam ini. Ini terlalu dingin. Mungkin dia belum pulang. Dan mungkin tadi aku memang berjalan sendiri ke kamar. Semuanya bisa terjadi, kan?” Qeya terus berpikir apa saja yang mungkin terjadi walaupun bertentangan dengan apa yang dikatakan hatinya. Qeya pun berbalik, hendak kembali menuju kamarnya. Dia cukup stress dengan apa yang di pikirkannya. Dia terus memikirkan Erik.
Klek!
Pintu,
Qeya kembali berbalik menghadap pintu. Sebuah pemandangan yang cukup membuatnya terkejut. Cowok yang sedari tadi meracuni pikirannya, sekarang justru sedang berdiri di depannya dengan penampilan yang sangat kacau.
“Erik,” panggilnya pelan, hampir tidak terdengar karena hujan masih menguasai fungsi telinga. Qeya sangat terkejut dengan penglihatannya. Sekujur tubuh Erik basah, tubuhnya menggigil, dan Qeya juga cukup jeli untuk melihat kedua matanya yang memerah.
“Erik, apa yang terjadi?”
“Boleh saya memeluk Anda?” ucapan Erik terdengar asing lagi. Dia menggunakan sapaan ‘anda’ dan menyebut dirinya dengan ‘saya’. Qeya menjadi orang asing lagi.
“Erik,”
Sebuah pelukan akhirnya mendekap Qeya yang semakin mematung karenanya. Tubuh dan pakaian Erik yang basah tidak cukup membuatnya kedinginan. Justru keduanya semakin merasa lebih hangat karena di saat kedinginan tubuh akan mengeluarkan suhu tubuh yang lebih panas untuk menghangatkan dirinya.
“Bantu aku melupaknnya,”
Qeya bisa merasakan bagaimana sakitnya. Nafas Erik yang tidak teratur itu memberi tahunya bahwa dia sangat kesakitan.
“Tubuhmu sangat panas, Erik.” Qeya melepas pelukannya. “Gantilah bajumu, aku akan menyiapkan air panas untuk mengompresmu. Kamu pasti kedinginan,” Qeya tersenyum kemudian meninggalkan Erik. Entah apa yang Qeya pikirkan, tapi hatinya sedikit terusik dengan ucapan Erik terakhir kali.
Usai berganti baju, Erik duduk bersila di atas sofa, karena seluruh ujung jarinya terasa sangat dingin. Tak lama kemudian, Qeya datang membawa selimut dan wadah berisi air panas dan kain kering.