Ganendra

SAKHA ZENN
Chapter #15

Pilihan Terbaik

Di bawah langit jingga yang mulai kehilangan sinar matahari, Erik duduk diam di atas jembatan taman yang sudah sepi sejam yang lalu. Dia tidak mempunyai tujuan yang jelas. Untuk apa dia melakukan semua yang sudah ia lakukan sejauh ini. Untuk apa perbuatannya selama ini. Untuk balas dendam?

“Bu,” Erik menelpon ibunya. Satu-satunya ynag bisa mengobati keresahan hatinya adalah sosok ibu.

“Iya, Erik. Ada apa? Apa ada masalah?”

“Ibu kira Erik bakal telpon ibu cuma kalo ada masalah? Nggak kok, Bu. Erik baik-baik aja,” Erik enggan mengutarakan masalahnya. Dia bukanlah sosok anak yang akan mengatakan masalahnya pada ayah ibunya.

“Baiklah. Hhh … sudah berapa hari ibu tidak melihat kamu. Ibu sangat rindu sama kamu, Nak,” terdengar begitu jelas suara dari seberang sana, ibunya yang menahan tangis.

“Erik juga sangat rindu sama ibu, sama Rika juga. Salam buat Rika, Bu. Ibu kalo ada masalah langsung telpon Erik, ya. Erik bakal langsung ke sana,”

“Iya. Ibu sama Rika bakal baik-baik aja. Kamu fokus aja sama apa yang sedang kamu lakuin sekarang,”

“Bu, Ibu pernah merasa putus asa nggak, Bu?” Erik akhirnya mulai terbawa suasana.

“Pernah. Waktu itu … Bahkan ibu ngerasa semua yang udah ibu lakuin itu sia-sia. Padahal sekecil apapun usaha yang udah ibu lakuin, semua itu juga ada nilainya,”

“Terus apa yang ibu lakuin?”

“Ibu sangat bersyukur waktu itu ketemu sama ayah. Dia selalu dukung ibu. Juga temen-temen ibu yang pastinya punya peran besar buat menyukseskan apa yang pengin ibu capai waktu itu. Jadi kalo Erik lagi putus asa, kamu lihat kembali peran orang-orang di sekitar kamu, yang dukung kamu penuh, yang memprioritaskan kepentingan kamu dibanding kepentingan mereka sendiri. Ibu pikir begitu,”

Perkataan seorang ibu adalah sebuah anugerah, ilmu, juga doa yang akan sangat berarti bagi putra-putrinya. Dia yang sangat mengerti bagaimana perasaan anaknya walau hanya mendengar suara atau menatap wajahnya. Dia yang akan menyadari keberadaan anaknya walaupun dia tidak bisa merasakan secara langsung dengan panca indranya.

“Terimakasih, Bu. Erik ngerti sekarang,” Erik tersenyum mendengar cerita sekaligus nasihat ibunya. Selama ini Erik adalah cowok yang mandiri dan bisa menyelesaikan semua masalahnya. Tapi di balik itu semua, hatinya justru sangat lemah. Dia tidak bisa melupakan semua hal yang sudah membuat bekas di permukaan hatinya. Dia akan terus mengingatnya, sampai suatu kebahagiaan yang lebih besar bisa menutupi bahkan menyembuhkannya.

Selesai menutup telepon ibunya, dia mendapat panggilan.

“Nomor siapa ini?”

Erik pun menerimanya, “Halo, maaf ini siapa?”

***

Lihat selengkapnya