“Jadi benar dia sudah mengubah dokumen ini,” tutur Gery setelah membaca dokumen milik Beni dan dokumen buatan Ria. Ria telah mengubah isi dokumen itu. Semua kerjasama L’avant Group bersama beberapa perusahaan besar di Indonesia, yang seharusnya akan mendatangkan untung, Ria membalikannya dan mengubahnya menjadi sebuah kerugian yang sangat besar.
“Gue tau. Saat itu… ayah pasti sangat menderita. Walaupun dia menelponku dan mengatakan kalo dia baik-baik saja. Aku tau dia berbohong. Semua media sudah meliputnya. Gue percaya ayah adalah pemimpin yang jujur, tapi dia dituduh melakukan penggelapan dana yang nilainya … hhh … apa dia pantas mendapatkan semua ini?”
Shera yang baru pertama kali melihat Erik berbicara dengan nada yang berbeda, dia sangat menyayangkan tentang kehidupannya yang terlalu rumit.
“Rik, lo baik-baik aja, kan?” Lucky mulai menerawang wajah Erik yang terus mencoba berpaling dari ketiga temannya itu.
“Gue baik-baik aja. Ayah yang mengajariku seperti itu. Dia selalu menganggap dirinya baik-baik saja,”
Kali ini berbeda. Erik yang mereka kenal lebih kuat ternyata dia sangat perasa. Bagi dia yang bahkan hampir tidak pernah mengutarakan isi hatinya, itu menjadi hal yang sangat asing.
Gery bangkit dari duduknya, berjalan ke arah Erik dan memeluknya. Bagi Gery, saat ini Erik adalah tanggung jawabnya sebagai pengisi posisi Dani, temannya.
“Kami ada di sini. Mulai sekarang lo bisa cerita apa yang lo rasain, Rik. Bagilah air mata lo itu. Kami punya tangan-tangan yang bisa hapus air mata lo. Kami juga punya pasang mata yang siap nangis bareng lo. Dan jangan lupa, kita … punya hati yang akan kita buat bahagia. Gue tau semua ini akan berakhir dengan bahagia. Siapin diri lo buat nyambut akhir itu. Lo bakal capek karena terlalu banyak senyum,”
Dan kali ini Erik bisa tersenyum di tengah air matanya yang masih mengalir deras.
“Makasih, Bang.”
“Ngomong-ngomong, lo lucu juga kalo lagi nangis!”
Erik segera melepas pelukannya. Shera dan Lucky juga tersenyum melihat tingkah Erik yang out of the box.
“Tenang, Rik! Kita masih setia kok. Jangan egois dengan terlalu mengandalkan diri sendiri. Kadang lo juga butuh orang lain buat dorong lo,” Lucky menambahi.
“Thanks, Ky,”
***
Vina berjalan gontai memasuki rumahnya. Gara yang sedang duduk di ruang depan mengalihkan perhatiannya dari laptop yang sedang dia cermati penuh.
“Vin, lo kenapa?” Gara menajamkan matanya, memerhatikan Vina yang berjalan tidak seimbang dan membuatnya khawatir. Dia adalah satu-satunya anggota keluarga yang selalu ada untuknya. Berbeda dari kedua orang tuanya, Gara lebih mementingkan Vina dibanding urusan bisnisnya. Pernah dua tahun lalu Gara membatalkan semua perjanjian bisnisnya karena Vina yang masuk rumah sakit karena demam tinggi.
“Gue nggak papa kok, Kak. Lo fokus aja sama pekerjaan lo. Gue mau ke kamar,”
Gara tidak bisa tenang jika hanya duduk setelah melihat keadaan adiknya berbeda dengan apa yang dikatakannya.
“Apa dia sakit?”
Gara berjalan cepat ke arah kamar Vina. Seketika dia mendengar suara seperti vas bunga yang jatuh dan pecah.