Ganendra

SAKHA ZENN
Chapter #21

Mencari Kebenaran

“Pagi semua,” Vina menyapa Erik dan lainnya sesampainya di markas.

“Pagi,” saut Lucky mengangkat tangannya seperti dia absen di kelas.

“Eh, Vina. Lo udah keluar dari rumah sakit? Sukur deh kalo gitu. Sorry banget, ya, gue nggak sempet jengukin lo. Gue sok sibuk kemaren,” Shera meraih tangan Vina, dan mencoba meminta maaf padanya.

“Sok sibuk apanya? Kayaknya gue liat lo nggak bangun dari tempat PS,” sanggah Lucky. Gery dan Erik hanya tersenyum menanggapi kakak beradik yang jarang sekali akur itu.

“Hizzz! Nggak kok, gue bener-bener sibuk kemaren,” bantah Shera menunjukkan kekesalannya pada kakak satu-satunya itu.

“Udah, nggak papa kok, Ra. Yang penting gue udah bisa balik sekarang,”

“Iya, sukurlah,”

“Vina,” begitu Erik memanggilnya dia langsung paham. Dia kemudian mengambil sebuah flashdisk dari tas kecilnya.

“Ini, gue udah nyalin semuanya,” Vina memberikannya pada Erik, dan Erik berjalan ke arah Gery untuk membuka isi flashdisk itu. Erik memasangnya pada laptop Gery dan membuka file-nya.

“Apa ini?” tanya Lucky mendekat ke Erik, begitu juga Shera yang tidak kalah penasaran.

“Ini adalah dua dokumen yang berbeda tapi sama,”

“Hah?”

“Di sini ada dokumen yang Om Beni buat, dan satunya yang mamah gue buat,”

“Jadi …,”

“Di situ tertulis, dulu Om Beni sempat mengajak kerjasama beberapa perusahaan Indonesia, juga perusahaan Spanyol. Di situ menyatakan mereka semua setuju untuk bekerjasama. Tapi melihat dokumen satunya, isinya adalah kerjasama perusahaan dengan perusahaan Spanyol. Perusahaan itu sama dengan partner kerja Om Beni. Jadi bisa disimpulkan kalo mamah gue berhasil membelokkan niatan para pengusaha Spanyol itu agar mau bekerjasama dengannya. Dan lihat di file lain,”

Gery membuka file yang dimaksud Vina.

“Di situ ada sejumlah surat yang menyatakan bahwa Om Beni sudah melakukan penggelapan dana, dan itu 100 persen fitnah. Dan mamah yang lakuin semua itu,” nada bicara Vina semakin menurun. Dia secara terang-terangan menyebutkan kejahatan ibunya beberapa tahun lalu. Sebagai putrinya, pastinya Vina tidak bisa menerima begitu saja kebenaran yang memang tidak bisa disangkal lagi.

“Gue bangga sama lo, Vin,” Shera menepuk-nepuk punggung Vina yang terlihat kuat tapi nyatanya rapuh. Vina tersenyum.

“Apa yang lo lakuin udah bener, Vin. Lo mau membuka kesalahannya, ini bukti kalo lo bener-bener sayang sama dia,” imbuh Erik.

“Gue—“

Shera memeluk Vina yang mulai menangis. Mereka sangat memahami bagaimana perasaan Vina saat ini. Dia yang selalu terlihat periang justru menyimpan luka yang begitu dalam.

“Gue nggak akan nyerah,” ucap Vina penuh tekad di sela-sela tangisnya.

“Kita percaya sama lo, Vin,” balas Shera menenangkan.

Vina mengangguk senang. Dia baru menyadari bagaimana rasanya orang-orang di sekitarnya begitu memahami dan mempercayainya.

“Terimakasih,”

***

“Dia yang udah ngerencanain pembunuhan ayah. Terus, Kak Dani?” sepanjang jalan Erik masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya, Dani. Dia berjalan dengan tenang, berbeda dengan otaknya yang sedang berputar-putar dan belum menemukan jalan keluar.

Erik yang selalu jalan menunduk itu sadar. Sepatunya bertemu sepasang sepatu lain. Dia seperti mengenal sepatu itu.

Qeya,

“Erik,”

Sekarang Qeya berdiri tepat di depannya.

“Apa kabar?” tanya Qeya ragu.

“Gue baik,”

Gue?

“Ah, iya. Sukur deh kalo gitu,” Qeya menunduk bingung harus berbuat apa. Sekarang ini kakinya seperti mengakar, sehingga dia tidak bisa berkutik sedikit pun.

“A … Gue harus pergi,” tutur Erik hampir menggunakan kata ‘aku’ seperti kebiasaannya hanya jika berbicara dengan Qeya.

“Iya, silahkan,”

Erik sekilas menatap wanita yang memiliki tinggi sebahunya itu masih menunduk. Erik pikir Qeya melakukannya karena tidak ingin melihat Erik.

Tentu saja. Dia pasti tidak mau melihatku,

Erik akhirnya pergi melewati Qeya begitu saja. Qeya yang merasakan udara hangat saat Erik melewatinya, hanya bisa tersenyum kaku.

Lihat selengkapnya