“Rik, lo mau ke mana?” tanya Lucky melihat Erik yang bergegas.
“Gue mau nemuin ibu sama Rika. Gue ngerasa ada yang mengganggu gue. Gue nggak akan lama,”
“Hati-hati, Rik!”
“Oke, Bang.” Erik kemudian pergi.
“Badan masih bobrok gitu, masih aja mau keluar. Anak nggak kenal takut emang dia!” Lucky kesal sendiri menanggapi perilaku Erik yang seakan tidak memikirkan dirinya sendiri dan membuatnya seakan menanggung perasaan itu.
“Udah lah, Ky. Dia bakal baik-baik aja,” saut Gery menenangkan.
Pagi sudah menerima cahaya matahari yang cukup untuk mengiringi langkah Erik menuju rumah ibunya. Seperti biasa, dia menggunakan hoodie hitam kesukaannya. Yang berbeda, kali ini dia membiarkan pasang-pasang mata melihat wajahnya dengan jelas. Tentu lukanya itu menjadi buah bibir beberapa orang yang berpapasan dengannya. Tapi itu tidak masalah. Erik justru mendapatkan kembali jiwanya sebagai tentara dengan darah yang tidak bisa ia jauhkan dari kisah hidupnya.
“Dia tidak ada?” Erik merasakan kejanggalan karena pria yang memakai pakaian serba hitam itu idak ia temui.
“Apa terjadi sesuatu?”
Menyadari ada yang aneh, Erik berlari sekuat tenaga ke dalam rumah. Dia terkejut karena rumahnya tidak di kunci. Dia berlarian menjelajahi ke setiap sisi ruangan rumahnya.
“Ibu!”
“Rika!”
Nihil. Tidak ada seorang pun di dalam rumah yang tidak begitu besar itu.
“Ky,” Erik menghubungi Lucky dengan nafas tersengal-sengal.
“Ada apa, Rik? Suara lo—“
“Ibu sama Rika menghilang! Bantu gue …,”
Erik tidak tahan lagi menahan dadanya yang sakit.
“Tenang, Rik. Gue bakal bantu. Bang Gery akan Ngelacak lokasi mereka,”
“Oke,”
“Lo tenang dulu, Rik. Sekarang mending lo balik ke sini,”
Erik mengangguk menanggapi perintah Lucky, kemudian menutup teleponnya.
Sepanjang jalan Erik tidak bisa berpikir jernih. Langkahnya yang lunglai itu memaksanya untuk tetap berjalan.
“Erik,” Qeya sangat terkejut melihat kehadiran Erik begitu dia keluar dari kliniknya.
“Qeya,” Erik kembali menumpahkan air matanya di depan Qeya. Entah mengapa, tapi sepertinya Qeya adalah tempat Erik bisa mengekspresikan semua keluh kesahnya. Setiap dia mendapat masalah, Qeya adalah satu alasan untuk kembali padanya.
Qeya kembali terkejut dengan pernyataan tentang ibu dan adiknya yang menghilang. Qeya sangat mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu. Dan kini Erik tengah merasakannya.
“Tenanglah. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa,”
Qeya memeluk Erik, menenangkan.
Setelah beberapa menit menemui Qeya, Erik teringat Lucky tengah menunggunya.
“Baiklah. Hati-hati di jalan,”
Erik melangkah menjauh dari Qeya yang masih berdiri di depan kliniknya, memperhatikan langkah Erik yang sepertinya sangat putus asa.
Sekali lagi Erik berbalik untuk menyapa wanita yang telah merebut hatinya itu. Senyumnya mengembang begitu Qeya melambaikan tangannya. Tapi itu tidak bertahan lama. Senyumnya memudar begitu menyadari sebuah mobil berhenti tepat di samping Qeya berdiri.
“Qeya!”
Benar. Seorang pria berpakaian serba hitam lagi-lagi membuat masalah dengannya. Dia tiba-tiba membekam mulut Qeya sehingga Qeya jatuh pingsan karena kesulitan bernapas. Erik mencoba berlari dengan sekuat tenaga, tapi sia-sia. Pria itu membawa pergi Qeya begitu saja.
***
Brak!
“Erik!” Vina terkejut dengan kedatangan Erik yang membanting pintu.
“Gimana, Bang?”
Semua orang bungkam melihat Erik yang terlihat begitu kacau.
“Gue belum bisa nemuin lokasi ibu sama adik lo. Tapi kayaknya gue tahu ke mana mereka membawa Qeya,”
“Di mana?” Erik langsung mendekatkan wajahnya ke layar komputer.
“Di sini,” Gery menunjuk sebuah tempat tak jauh dari kampusnya. “Gue pernah liat ada bangunan tua di sana. Mungkin di sana,”