Gang Delima

Enya Rahman
Chapter #1

Sonia

Hidup bertetangga tidak pernah semudah yang dikatakan buku-buku pengembangan diri. Aku menyadarinya seminggu setelah aku pertama kali mengikuti arisan.

Aku bukan tipe orang yang menikmati arisan. Dalam pikiranku arisan hanya untuk ibu-ibu rumah tangga yang tidak punya kegiatan sosial lain, maka aku selalu berkata sedang ada kegiatan di kantor meskipun nyatanya aku hanya duduk di cafe berjarak sepuluh kilometer dari gang kami meminum kopi yang sudah tidak dingin sambil menunggu jam arisan selesai.

Di mataku arisan hanya membuang waktu. Bersenda gurau pada sesuatu yang tak penting. Koreksi. Untuk menyindir secara perlahan dan berhati-hati mengenai sesuatu yang tidak sesuai dengan opini masing-masing.

Minggu itu, Bu Desi menggelar tikar di garasi rumahnya, mobil Bu Desi dititipkan di garasiku. Sejak pagi aku melihat Bu Desi sudah sibuk. Bu Desi bersikeras untuk memasak semua makanan arisan sendiri, dalam bahasanya yang halus Bu Desi mengaku keluarga besarnya selalu rekues masakan Bu Desi setiap lebaran.

Sejak pagi aku sudah mencium bau masakan Bu Desi dari dalam rumahku. Selepas membersihkan rumah, aku pergi ke teras melanjutkan membaca Dorris Lessing sembari menikmati kopi instan dari Korea oleh-oleh bos suamiku.

"Oh, sambel ati sama ayam kecap." Aku menggeleng sembari tersenyum. Kini tenggelam dalam kata-kata Dorris Lessing.

Tetangga depanku, Ibu Supri, mengintip Bu Desi dari balik jendelanya, mata kami bertemu namun kami berdua sama-sama setuju untuk tidak saling menyapa dalam diam.

Gang tempat tinggalku buntu, hanya satu pintu masuk dan gang ini hanya muat untuk dua mobil berdampingan. Maka dibuatlah aturan untuk tidak memarkirkan mobil di jalan gang. Bu Supri adalah salah satu, bukan, satu-satunya warga yang tidak terima dengan peraturan tersebut. Bolak-balik Bu Supri mengirim pesan di grup PKK bahwa peraturan ini egois dan tidak seharusnya diberlakukan.

"Mohon maaf ini ibu-ibu, tapi setiap bulan saya juga membayar biaya kontribusi di kampung ini. Apa salahnya jika saya meminjam jalan kampung hanya sebagian untuk mobil saya?"

Tidak ada yang menjawab pesan Bu Supri. Tidak pernah ada yang menjawabnya. Obrolan justru berganti pada cucu bu Indah yang baru lahir beberapa hari lalu.

Terkadang, aku merasa sungguh kasihan pada Ibu Supri. Setiap arisan Bu Supri yang paling vokal mengenai peraturan di gang-gang ini:

"Anak-anak nggak boleh nongkrong di atas jam sepuluh, ya ibu-ibu, kasihan orang tua-orang tua lain nggak bisa tidur. Anak-anak juga butuh istirahat, ibu-ibu."

"Mohon kalau menyalakan musik dangdut jangan sampai di atas jam sepuluh malam."

Lihat selengkapnya