Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sayup-sayup terdengar suara ibu-ibu gang Delima dari luar rumah.
Bu Desi menggelar tikar di garasi miliknya, mengekor hingga ke paving jalan gang Delima. Aku menyetel alarm ponselku untuk jam empat lebih dua puluh sebelum kemudian kembali ke dalam dunia Doris Lessing. Dalam hati aku menyesali keputusanku untuk mengiyakan ajakan Bu Desi.
Saat ini sudah terlambat bagiku menyalakan motor dan pergi ke coffee shop terdekat. Aku mendesah cukup keras. Suamiku juga belum pulang untuk menyelamatkanku.
Suara yang semula sayup kini mulai ramai kudengar di depan rumah. Ibu-ibu telah berkerumun, ketika ibu-ibu berkerumun akan sangat jarang mendengarkan sunyi. Suara mereka bersahut-sahutan, seperti burung beo yang ingin terdengar jauh lebih keras dari burung beo lain.
Aku mendesah sekali lagi. Sialan.
Kakiku sungguh berat untuk melangkah. Meski di hadapanku masih terbuka lebar-lebar The Golden Child milik Doris Lessing, namun pikiranku melayang mendengarkan ucapan-ucapan yang makin mengeras di depan rumahku. Mencari adakah suara yang sedang mempertanyakan keberadaanku? Atau mungkin mereka terlalu sibuk menceritakan kehidupan mereka sehari-hari hingga mereka lupa akanku. Aku berharap piihan terakhir yang akan menjadi nyata.
Aku menggelengkan kepala. Jam terus berdenting, cepat atau lambat spesies ibu-ibu dengan mata mereka yang lebih tajam dari elang tersebut akan menyadari mereka kehilangan satu orang.
Sedikit terburu aku mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Meski air PDAMku kala itu hangat akibat hawa panas Surabaya di musim kemarau aku masih merasakan tanganku gemetar.
Deretan botol parfum yang ada di depan kaca riasku turut menyumbang aromaku di arisan nanti, ketiga botol parfum tersebut.
Mulanya aku menyoretkan lipstik di bibirku namun sebuah kemungkinan bahwa warna nude di bibir ini akan menjadi jalan lain pembuka pembicaraan ibu-ibu tersebut aku menghapusnya kembali.
Aku hanya memakai pakaian terusan warna marun yang paling sederhana di lemariku, mencari pakaian yang paling tidak mencolok. Aku tidak ingin terlihat.
Dari balik jendela rumah aku melihat ibu-ibu telah duduk bersila mengitar tikar yang digelar bu Desi. Ada satu spot kosong di tikar paling luar, paling ujung, ditemani sandal-sandal cantik ibu-ibu yang jarak rumahnya tidak sampai sepuluh langkah dari rumah ibu Desi.
Aku menganggukkan kepala, dengan diriku sendiri aku membuat spot kosong itu untukku, hanya untukku.