Gang Delima

Enya Rahman
Chapter #7

Bu Desy

Tidak ada kontrakan di gang Delima, aku baru menyadarinya ketika kami sudah seminggu di gang ini. Seluruhnya adalah warga yang setidaknya sudah hidup di Gang Delima lebih dari lima tahun. Kami, aku dan suami, termasuk warga yang paling muda. Usia produktif, kata mereka.

Akhir dua puluh. Tidak memiliki angsuran apapun. Tidak memiliki beban. Hanya hidup berdua, berdansa di ruang tamu menjelang maghrib lalu menutup kamar rapat-rapat menjelang isya. Banyak yang ingin menjadi seperti kami, pasangan akhir dua puluh tahunan yang telah memiliki rumah, pekerjaan cukup dan membeli makanan online setiap malam karena terlalu lelah memasak.

Rumah kami hanya sebesar 8x10. Satu lantai. Bukan tipe dengan dapur mengkilap dan lampu kristal di ruang tamu. Karena aku memaksa suami untuk segera keluar dari rumah mertua kami di tahun pertama pernikahan.

Bu Desi adalah orang pertama yang memberitahu bahwa aku menjadi bahan pergunjingan di minggu pertama kami datang.

"Mbak nggak selametan soalnya, biasanya ya mbak, maaf, di sini kalau ada orang baru itu selamatan mbak."

Aku hanya tersenyum, "Maaf bu, saya waktu itu kurang begitu tahu adat orang sini."

"Ya mbok ya waktu itu tanya mbak, kan kita di sini hidup bertetangga harus akur, soalnya siapa lagi yang mau bantu kita pertama kali kalau bukan tetangga? Betul ndak mbak?" Bu Desi terkekeh, beliau menyenggol pundakku dengan pundaknya lalu menyeruput gelas aqua yang disediakan di ruang tamuku, "tapi ya yang sudah terjadi ya sudah, ndak apa-apa mbak, namanya juga orang ndak tahu ya. Anak muda kan gitu ya mbak jaman sekarang … selametan kurang keren." Dia kembali mengekeh.

Seminggu sebelum kami pindah, aku sudah mengantar nasi kotak kepada masing-masing tetangga. Sehari selepas kami pindah aku kembali mengantar nasi kuning kepada setiap tetangga. Tidak ada yang ketinggalan. Di dalam tas berkat itu juga terdapat minyak satu kilo dan gula setengah kilo. Tidak ada yang ketinggalan. Mertuaku yang menelitinya satu persatu.

"Ya padahal itu itung-itung syukuran dan didoakan rumah barunya mbak. Sama tetangga itu harus kenal ya toh? Kalau nggak kenal terus mbak sama suami kenapa-kenapa tetangga juga yang ngurusin nanti mbak." Kukira Bu Desi telah selesai dari topik tersebut. Rupa-rupanya aku masih harus menyiapkan telingaku untuk setengah jam ke depan.

Jika aku bisa memilih aku ingin tinggal di apartemen. Tidak ada arisan. Tidak ada yang mengatakan hal basa-basi setiap aku menyapu depan rumah. Tidak ada yang hibuk meneliti bagaimana cat rumahku sudah mulai mengelupas atau bagaimana mereka menyalahkanku akan kucing jalanan yang suka kuberi makan senang berak di halaman mereka. Namun suamiku tidak setuju.

Apartemen, menurutnya, terlalu banyak tetek bengek. Iuran ini, itu.

Lihat selengkapnya