Gang Delima

Enya Rahman
Chapter #8

Menjadi Seorang Tetangga

Teman sekantorku pernah mengatakan kelebihan masih serumah dengan mertua adalah tidak perlu ikut arisan ataupun mengobrol dengan tetangga.

Tetangga akan memaklumi hal tersebut, setidaknya itu yang dia katakan. Tetangga akan maklum karena dirimu bukan kepala keluarga atau bukan warga asli sana. Maka terserah saja jika kamu pulang malam, tidak ikut arisan, tidak pernah ikut duduk tempat duduk kayu panjang yang disediakan di depan rumah ibu-ibu paling jago membuat perkara setiap sore.

Dua bulan setelah aku tinggal di Gang Delima aku mulai memahami maksud dari kawan sekantor.

Mungkin, jika aku bisa mengoreksi, temanku cukup beruntung karena tidak memiliki tetangga sebelah layaknya Bu Desi.

Bu Desi umur di sekitaran akhir lima puluh. Sudah tinggal berdua dengan sang suami. Tiga bulan lalu anak perjakanya pergi merantau ke kota yang jaraknya satu jam dari gang Delima.

Setiap Bu Desi melewati depan rumahku ketika pulang dari pasar, Bu Desi selalu update mengenai harga sembako yang melambung tinggi.

"Cabe sekarang luarang, mahal. Lima ribu cuman dapet suithik, cuman segenggam bayinya bu Indah yang baru itu lhoo mbak." Celoteh Bu Desi, dengan bibir yang sedikit mancung sembari memamerkan keresek kecil cabai yang dibelinya tadi. Bu Desi tidak butuh reaksiku ataupun jawabanku, dia meninggalkanku dengan informasi tersebut ke dalam rumahnya. Begitu setiap kali kami berpapasan: aku menyapu halamanku sebelum berangkat bekerja dan Bu Desi yang sudah siap memasak untuk sang suami.

"Mbak, endog sampeyan masih ada ndak? Ndang belio di pasar, lagi murah saiki mbak, beneran. Atau sini ta titip sama aku nanti tak belikan." Ujar bu Desi sembari memburuku untuk segera memutuskan dalam beberapa detik apakah aku membutuhkan telur berkilo-kilo untuk aku dan suamiku yang sama-sama tidak menyukai telur.

Bu Desi terlalu baik. Terlalu mengurusi. Terlalu tipikal ibu-ibu di akhir lima puluhan. Persentase umur ibu-ibu terbanyak di gang Delima.

Dengan kerudung slem dan dua daster kebangsaan; satu hitam dengan corak bunga merah dan satu merah dengan corak bunga hitam, bu Desi hibuk menasehati Gang Delima. 

Mata Bu Desi selalu sibuk meneliti hal yang harus beliau benarkan, bibirnya selalu lebih maju dari seharusnya karena di dalam pikiran Bu Desi sudah terdapat banyak paragraf yang harus Bu Desi ungkapkan kepada dunia.

Lihat selengkapnya