Gang Delima

Enya Rahman
Chapter #4

Pemeran Utama

Ada hal yang baru aku sadari selama beberapa waktu tinggal di gang Delima. Gang Delima memiliki pemeran utama mereka sendiri. Di kasus ini aku adalah pemeran figuran yang hanya muncul sesekali dalam pikiran mereka, mungkin lebih sering ketika aku tidak ikut arisan namun selain itu aku hanya menjadi pemeran figuran.

Pemeran utama gang Delima datang terlambat ketika aku pertama kali ikut arisan. Ibu Supri memakai kerudung pink lebih muda (dari kejauhan warna kerudung terlihat sama namun ketika Bu Supri mendekat aku baru menyadari Bu Supri tidak memakai kerudung seragam arisan.) Dalam hati aku sedikit bahagia karena aku punya teman yang tidak memakai seragam. Namun bisikan di lingkaran garasi Bu Desi tersebut lebih berisik daripada normal. Mata mereka sibuk menatap Bu Supri yang datang membawa kursi lipat. Bu Supri meminggirkan sandal-sandal yang bertumpukan memeluk satu sama lain di ujung tikar untuk kemudian membuka kursi lipatnya di sana.

Bisikan di sekelilingku lebih keras namun tidak terlalu jelas untuk dapat didengar bu Supri. 

Aku tidak menjadi pusat perhatian. 

Dari lima panca indera manusia kini tiga panca indra ibu-ibu gang Delima mereka fokuskan untuk Bu Supri.

Bu Supri sumringah, menaruh dompetnya yang penuh rajutan benang emas di paha sembari berkata, "Maaf nih ya ibu-ibu saya duduk di sini, ini punggungnya udah punggung tua jadi nggak kuat lagi kalau lama-lama duduk di lantai."

"Monggo Bu Supri." Seru beberapa ibu lainnya.

"Aku ini terlambat ya buibu? Aduh maaf lagi."

"Belum mulai bu. Ini bu masih ada sisa lotere." Ibu yang berada paling ujung memberikan kotak transparan tersebut.

Dengan hati-hati Bu Supri membuka dompet dengan benang rajut warna emas tersebut, mengeluarkan uang koin seribu lalu mengambil dua nomor dari kotak transparan.

Tidak ada yang berkomentar kencang namun bibir ibu-ibu gang Delima sibuk membisikkan mantra dengan nama Bu Supri di akhir kalimat. Bibir ibu-ibu, kukira, lebih sibuk daripada bibir makhluk manapun di dunia. Mereka terus membuka-menutup dalam berbagai nada mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, jika tidak membuka menutup mengeluarkan suara maka mulut tersebut membuka menutup untuk memasukkan asupan gizi cukup untuknya mengeluarkan suara pada esok hari.

Arisan belum juga dimulai.

Hari itu aku merasakan hari terlama dalam hidupku yang belum menginjak tiga puluh tahun. Bu Desi belum juga menunjukkan hidungnya. Bunyi piring bersentuhan satu sama lain, gemericik minyak panas, dan suara riuh rendah bu Desi dengan putrinya yang khusus pulang dari kosannya di luar kota untuk membantu sang ibu menyiapkan arisan.

"Bu, udah hampir jam setengah lima ini. Kok belum mulai-mulai gimana?" Ucap salah satu ibu dengan keriput mulai muncul di wajahnya, menyisakan lubang dengan warna yang tak sama dengan bedak tebal yang menutupi. Gincu merah, menjadi penentu apakah mereka telah ibu-ibu atau masih mencari pasangan untuk diantar ke penghulu.

"Dimulai aja ini ya buibu?" Ucap Bu RT dengan nada rendah namun sanggup membuat mulut-mulut paling sibuk di dunia menutup.

Ibu RT Gang Delima tidak seperti kebanyakan ibu-ibu di Gang Delima. Ibu Desi mengatakan bahwa ibu RT bekerja di perusahaan mentereng di pusat perkantoran sier Rungkut. Lipstik yang digunakan ibu RT tidak seperti lipstik ibu-ibu Gang Delima pada umumnya, beliau menggunakan lipstik dengan warna tanah paduan warna yang sempurna dengan warna kerudung seragam arisan hari ini.

Dengan suara yang lembut ibu RT memulai arisan sore itu, "Assalamualaikum ibu-ibu, Sore ini Alhamdulillah kita diijinkan untuk mengadakan arisan bulanan kita di rumah Ibu Desi. Terima kasih juga Ibu Desi karena sudah bersedia ketempatan arisan bulan ini...."

Seperti sambutan pada umumnya Ibu RT menghabiskan waktu lima menit hanya untuk berterima kasih kepada Ibu-Ibu di Gang Delima dan Ibu Desi sebagai tuan rumah. Entah siapa yang yang memulai tradisi sambutan bertele-tele seperti ini, kata-kata tidak penting yang membuat semua orang harus menghabiskan waktu mereka dengan sia-sia. Sepuluh menit selanjutnya dihabiskan dengan laporan keuangan dari berbagai bagan RT hanya atas nama Transparansi keuangan RT. Mulai dari bendahara mengatakan Berapa jumlah uang kas. Ibu penggerak Posyandu mengatakan berapa jumlah uang yang di Posyandu yang aku sama sekali tidak pernah melihat kegiatan Posyandu selama hidup di Gang Delima ini. Mungkin karena aku belum memiliki anak, mungkin karena aku masih termasuk penduduk baru sehingga belum saatnya aku ikut campur dengan kegiatan posyandu. Tidak cukup sampai disitu ada pula laporan tabungan bulanan di Gang Delima, juga laporan tabungan sembako, bahkan laporan lotere yang aku sendiri pun tidak tahu akan mendapatkan apa.

Sepanjang laporan-laporan dan laporan tersebut bisikan-bisikan masih terdengar di sekitar. Aku masih bisa mendengar nama Bu Supri, aku masih bisa mendengar beberapa ibu-ibu mengomentari gorengan yang disajikan Bu Desi dan kacang rebus yang hampir habis di tengah arisan ini. 

"Kacangnya kurang matang ini." Seru salah satu ibu.

"Iya, benar Bu. Harusnya direbus lima menitan lagi baru enak. "

"Kalau saya sih gorengannya kurang mantap. "

"Ini gorengannya pakai tepung jadi kayaknya. Bapak di rumah ya enggak mau kalau saya masak pakai tepung jadi. Makanya saya ya selalu bikin adonan sendiri ibu-ibu."

"Bu, jangan dicoba petisnya. Nggak enak bu beneran. Lah iya Bu Desi sudah saya kasih tahu buat beli saja gorengannya di saya kok masih mau bikin sendiri. lah Masa nggak percaya sama saya, Wong tiap pagi saya jualan gorengan. "

"Ini nggak ada es nya ya, di tempat Bu Anton bulan lalu kan ada es. cuman Aqua gelas aja ya? "

Lihat selengkapnya