Seperti diriku, rumah paling pojok tidak pernah ikut arisan. Tidak beruntung bagi mereka karena tetangga sebelah mereka bukan Bu Desi.
Dari Bu Desi aku tahu mereka baru beberapa tahun tinggal di gang Delima. Rumah mereka dulunya sudah lama kosong, dijual murah karena rebutan warisan dan dibelilah oleh keluarga Pak Hendarso. Pak Hendarso yang tertutup membuat tetangga enggan untuk menyapa mereka lebih dahulu.
Seperti semua warga gang Delima, Pak Hendarso tidak luput dari selentingan-selentingan miring warga.
"Dia pengangguran. Cuman ibunya aja yang kerja, itupun saya ndak tahu kerja dimana. Katanya ibunya pulang pagi dan berangkat malam." Ucap Bu Desi sembari mengunyah nastar sisa lebaran di rumahku suatu sore, ketika dia selesai membereskan rumah dan sendirian.
"Mungkin kerjanya pakai shift bu."
"Eala mbak ini lugu banget. Saya dulu pernah kerja di pabrik, ya ndak tiap hari juga saya shift malem mbak. Ini Bu Hendarso tiap malem."
"Mungkin Bu Hendarso jualan bu makanya kalau mau beli kebutuhan malem-malem."
"Jualan kok kalau tiap pagi molor."
"Mungkin …." Aku baru menyadari ketika Bu Desi bercerita bagaimana aku selalu mengatakan mungkin sebagai pembenaran. Awalnya kukira aku selalu ingin berpikiran positif, namun aku sadar itu hanya tindak pembelaan diri pada diriku yang jauh di dalam hati juga berpikiran sama dengan Bu Desi.
Terkadang menjadi orang yang tidak harus membela nalurimu sendiri adalah sebuah hak istimewa seseorang.
Rumah Bu Hendarso selalu tertutup. Sewaktu aku tidak sengaja mengejar kucing terluka yang suka kuberi makan hingga masuk ke dalam rumahnya aku tahu bahwa ada rumah yang sungguh gelap hingga aku menyangka tidak ada yang tinggal di rumah tersebut.
Lampu teras tetap menyala di siang hari. Di garasi Bu Hendarso yang hanya cukup untuk dua motor penuh oleh sepatu-sepatu yang sengaja dilemparkan alih-alih dilepas dengan penuh perhatian oleh sang pemilik. Debu menyelimuti daun telinga kusam rumah Bu Hendarso, dua motor bebek yang terparkir pun tampak lusuh, satu diantaranya tidak memiliki plat nomor dan spionnya menggantung dengan pasrah dengan bantuan lakban hitam.
Tidak ada tanaman di garasi atau depan rumah Bu Hendarso namun lumut tumbuh bebas di pagar mereka, dengan daun-daun kering yang terjebak di garasi akibat angin.