Sehari setelah kejadian tersebut Gang Delima kembali seperti normal. Seperti tidak pernah ada ada kejadian yang mengusiknya. Tidur layaknya kucing di siang hari. Namun, aku tahu layaknya kucing yang selalu awas meskipun matanya tertutup Gang Delima pun masih dipenuhi oleh bisikan-bisikan di antara dinding-dinding tipis mereka.
Gadis dengan pakaian rok mini dan atasan tanpa lengan tersebut juga tidak pernah kelihatan setelahnya. Menurut Bu Desi bahkan setelah Pak Hendarso menarik gadis tersebut ke dalam rumah tidak terdengar suara tangisan gadis tersebut, pun suara teriakan Pak Hendarso. Bu Herdi dan Bu Supri sedikit curiga.
"Bagaimana kalau ternyata dia sudah dibunuh?" Ucap Bu Herdi disuatu ketika di tempat duduk kayu panjang yang terletak di depan rumahnya.
"Halah, jangan mikir yang aneh-aneh. meskipun Pak Hendarso itu jarang kumpul-kumpul bareng kita tapi aku yakin kok Pak Hendarso itu orang baik." Bu Anton.
Terdapat kursi kayu panjang di ujung Gang Delima, setiap sore ataupun pagi selepas anak-anak berangkat sekolah kursi itu akan terisi setidaknya oleh dua orang ibu-ibu gang Delima. Mereka biasanya memetik sayuran di sana, ataupun sekadar saling mencoba resep jajanan baru, tetap dengan mulut mereka yang mengembang-mengempis.
Aku sudah beberapa kali diajak untuk duduk di sana, sekadar menanyakan kabar dan juga apakah perutku sudah isi atau belum. Pagi itu aku baru saja pulang dari pasar ketika empat ibu-ibu berkumpul di sana.
“Sekarang lho bu, coba, pikir, kok bisa-bisanya ada perawan di rumah Pak Hendarso? Lha selama ini saya pikir Pak Hendarso itu mandul tiba-tiba ada perawan, aduh udah gitu pakaiannya kurang bahan begitu bu… amit-amit. Untung anak saya udah pakai jilbab dua tahun lalu.” Bu Herdi melanjutkan, membiarkan aku berdiri diantara mereka, kebingungan antara ingin melarikan diri dari mereka atau tetap di sana mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kayaknya arisan bulan depan kita musti bilang ke bu RT buat bikin aturan baru bu, semua warga sini harus ikut arisan. Seenggaknya supaya kita bisa ngawasin gitu. Bu Hendarso mana pernah ikut arisan? Ini nih, mbak Sonia aja ikut arisan kemarin, iya ‘kan mbak?” Bu Herdi, ketika mulai berbicara, akan sulit untuk dihentikan. Sama halnya dengan bu Desi.
“I-iya bu.”
“Lha iya, tinggal di sini kok nggak ikut arisan. Dipikir sini ini perumahan apa? Kalau nggak sanggup beli perumahan ya mustinya tahu harus ikut arisan. Nggih toh bu?”
Aku mencengkeram tas belanjaku lebih erat dari sebelumnya. Ini kenapa ibu-ibu termasuk makhluk paling ditakuti, mereka dapat menyindir banyak orang tanpa mereka sadari. Saat itu aku merasa tersindir meski aku tahu kedua ibu-ibu ini, yang sedang memakai daster lengan pendek dengan kerudung berwarna bertolak belakang menutupi lengan mereka, tidak sedang menyindir diriku. Semua itu sudah menjadi jati diri mereka; mengomentari hal-hal paling kecil sekalipun.
“Bu, monggo saya permisi dulu.” Kataku perlahan sembari membungkukkan badan.
“Eh iya mbak, mau masak apa mbak?”
“Oh, ini, cuma mau ungkep ayam bu, sama bikin sayur saja.”
Aku berlalu, sembari terus mendengarkan ocehan mereka tentang Pak Hendarso. Tuduhan-tuduhan tak masuk akal mereka, bahwa Pak Hendarso senang membawa perawan ke rumah setiap pagi, saat istrinya belum pulang dari pekerjaan. Akibat Bu Hendarso mandul dan Pak Hendarso mencari cara lain untuk melampiaskan hawa nafsu mereka.
Suara-suara mereka makin samar ketika aku sampai di depan rumah. Aku memandangi perutku yang semakin buncit sejak aku tinggal di gang Delima ini. Usia pernikahanku dan suami sudah hampir dua tahun. Aku bukan tipe orang melankoli, yang gampang sedih dengan omongan-omongan orang lain. Namun sejak tinggal di Gang Delima aku merasa aku salah. Karena selepas semua yang kudengar di belakangku tadi aku mulai merasa bahwa sebenarnya aku sedikit melankoli.