Tingkat literasi Indonesia memang terkenal rendah namun Demi Tuhan para tetanggaku memiliki imajinasi luar biasa di kepala mereka, seolah mereka telah menelan habis-habis buku fantasi tingkat tinggi yang separuh bukunya masih bercerita mengenai setting cerita.
“Bu Supri dibawa anaknya ke Jakarta. Katanya rumahnya mau dijual.”
Terlebih setelah kejadian yang menimpa Pak Hendarso. semua gerak-gerik pak Hendarso menjadi di cerita yang baru di telinga ibu-ibu. tidak hanya itu itu Bu Hardi dan Bu Desi kini telah membangun aliansi yang setiap pagi kerjanya duduk di kursi panjang di ujung Gang dan memperhatikan satu demi satu rumah di Gang Delima. katanya semua itu dilakukan untuk kebaikan Gang Delima.
Sabtu ini alih-alih mendapatkan Waktu senggang ku yang berharga Bu Desi dengan langkahnya yang kecil yang cepat datang ke rumahku tanpa mengetuk. tentu Bu Desi tahu bahwa suamiku kerja di hari Sabtu. dan melepas kerudung selamanya Bu Desi memulai ceritanya tanpa basa-basi.
“Aduh mbak, kalau bisa ya pengen saya copot itu token listrik memiliki titik bunyinya dari kemarin malam bikin saya tidak bisa tidur.”
“Kemarin Rasanya saya lihat Bu Supri sudah pulang.” aku menyapu ruang tamuku sementara Bu Desi membuka stoples emping, memakannya tanpa permisi.
“Anaknya Mungkin mbak. saya kasih tahu Nih ya mbak…,” Bu Desi menurunkan volume suaranya hingga hanya berbisik, “Bu Supri lagi dikejar sama tukang tagih utang. katanya Hutangnya banyak banget sampai rumahnya ini mau dijual buat bayar hutang.” Bu Desi berdecak lalu melanjutkan, “makanya orang kok kemakan Gengsi. kalau nggak punya uang ya nggak usah maksa buat punya ini itu, iya toh mbak?”
“Begitu ya bu? Oh iya, bu Desi hari ini nggak sibuk apa-apa bu?”
“Saya? Nggak mbak. Kateringnya libur makanya ya gini hidupnya. Begitulah mbak kalau anak-anaknya udah besar, bisa leha-leha.” Bu Desi meringis, terdapat sedikit keangkuhan di nada bicara bu Desi.
Mataku kembali melirik pada rumah Bu Supri. Belakangan aku sudah tidak pernah lagi mendengar Pak Supri menyapu depan rumahnya di tengah malam. Pak Supri juga tidak pernah lagi berkeliling gang untuk memeriksa entah apa.
Sonia yang paling muda dengan pikiran idealisnya di gang Delima dahulu akan sibuk menghakimi perlakuan-perlakuan aneh warga gang Delima, saat ini, mengingat bagaimana aku sungguh tidak dewasa membuat seluruh tubuhku bergidik akan idealisme butaku akan kehidupan yang lebih baik dari orang-orang di gang Delima. Sungguh, masa muda adalah kepingan-kepingan harapan juga rasa malu akan tindakan kita. Sonia di akhir dua puluhan akan merasa malu pada Sonia saat ini yang menyukai memelihara tanaman dan membersihkan depan rumah.
“Kalau mbak masih nggak percaya coba tuh, sekarang bu Supri mana pernah pasang status-status mbujuk kayak dahulu. Ya soalnya hutangnya udah kebanyakan.” Bu Desi terkikik.
Salah satu hal yang dapat meningkatkan energi ibu-ibu adalah melihat orang yang dibencinya menderita lalu satu demi satu menguliti kesalahan tersebut di hadapan para pendukungnya.
Aku mengangguk cepat kemudian menggelengkan kepalaku. Tidak. Ini bukan diriku. Tidak seharusnya aku menikmati rumor-rumor mengenai Bu Supri.