Bu Desi tidak begitu suka bercerita soal detail anaknya. Setiap kami bertemu, koreksi, setiap Bu Desi mengunjungi rumahku, fokus cerita beliau adalah ibu-ibu di Gang Delima. Sekali dua kali Bu Desi bercerita mengenai anaknya, yang sedang kerja di Jakarta dan selalu sibuk hingga sulit bagi Bu Desi untuk mengajaknya pulang.
Terakhir, ketika Bu Desi mengadakan arisan di rumahnya, beliau bercerita bahwa anaknya kembali ke Jakarta sebelum matahari terbit.
"Bayangkan mbak, waktu itu masih subuh, mesjid di sebelah gang saja belum adzan tapi perawan satu itu udah ngilang gitu aja tanpa pamit." Ucap Bu Desi sembari menyeduh teh hangat dengan rasa mangga yang dihadiahkan oleh bos suamiku.
"Mungkin anak ibu ada pekerjaan yang mendesak makanya harus berangkat subuh bu, lagipula Jakarta-Surabaya kan nggak dekat juga bu." Sekali lagi, aku memberi pembenaran pada orang lain.
"Mbak saya itu udah lihat tiket keretanya Azka, keretanya berangkat sore, berarti itu anak main-main tanpa ijin dari saya."
Itu adalah pertama kalinya Bu Desi mengatakan nama anaknya. Aska. Nama khas masa kini. Nama yang tidak butuh untuk kita menanyakannya dua kali untuk memastikan pendengaran kita tidak salah. Aska terlihat seperti nama seorang perempuan muda yang percaya diri. Setidaknya semua temanku yang bernama Azka penuh percaya diri. Dan aku cukup senang akan nama itu.
"Mungkin Aska mau main dengan teman lamanya di Surabaya, bu."
"Aduh mbak, anak saya itu nggak punya teman. Waktu masih di sini saja kerjaannya cuma di kamar, lihat apa itu orang-orang yang matanya sipit itulo mbak, cowok yang suka pake lipen di tipi."
"Aska nggak bilang apa-apa sama ibu mau pergi kemana?"
"Nggak tau! Dari dulu dia itu nggak pernah ngasih tau orang tuanya ini apa-apa. Padahal saya yang biayain dia kuliah, ngasih makan, ngasih rumah, ngasih tempat buat tidur. Tapi si Aska itu kayak nggak betah di rumahnya sendiri. Emang perawan jaman sekarang semuanya gitu mbak, gara-gara internet!" Bu Desi meninggikan nadanya.
"Internet juga banyak manfaatnya lho bu," Aku menambahi, mencoba untuk menurunkan amarah Bu Desi. "Pekerjaan saya kalau nggak ada internet nggak akan bisa lancar bu." Aku terkekeh, cenderung kupaksakan. Hal yang tida begitu kusenangi dari berbicara dengan Bu Desi adalah aku harus berpura-pura tertawa dengan leluconnya.
"Gambar itu jaman sekarang juga butuh internet ya mbak? Saya pikir cuma pake kertas." Bu Desi.
"Saya gambarnya di komputer bu, bukan di kertas." Aku mencoba meringis. Berharap Bu Desi tidak menanyakan hal-hal lain lagi.