Hal yang paling tidak kusangka adalah, tiba-tiba saja rekreasi Gang Delima yang sangat kunantikan datang esok hari. Hariku tertimbun oleh puluha client-client yang sama memalukannya seperti anak-anak kecil yang bermain sepak bola di depan rumahku lalu meneriakiku untuk segera membuka pintu pagar dengan kata-kata kasar karena bolanya terlempar ke garasiku. Setidaknya anak-anak kecil tersebut kemudian mendapatkan hukuman dari orang tua mereka atau decakan keras dari Bu Desi.
Pak RT telah berkali-kali mengingatkan ibu-ibu untuk membawa obat-obatan mereka sendiri-sendiri dan agar tidak terlambat. Namun ibu-ibu tetaplah ibu-ibu dengan stereotip mereka. Bis yang semula harus berangkat pukul sebelas malam mundur jadi pukul dua belas malam, karena beberapa ibu-ibu masih sibuk mengemasi tas-tas mereka (yang mana sungguh tak masuk akal karena kami hanya akan pergi sehari namun mereka membawa lebih dari dua tas travelling ukuran besar). Suamiku hanya tertawa, dia menganggap segalanya lucu, tidak pernah serius dan terlalu santai. Terkadang aku menginginkannya lebih serius.
Kami telah duduk di bus, menunggu satu pasangan yang belum muncul hingga sekarang. Keluarga Pak Herdi. Pak RT sudah mengatakan bahwa mereka hanya akan menunggu lima menit lagi atau Pak Herdi akan ditinggal.
"Apa aku yang salah? Kenapa aku cuma bawa satu tas kecil? Aku bahkan cuma bawa satu baju ganti (yang mana aku nggak yakin bakal kupakai)."
Suamiku menggeleng. "Mbak Sonia nggak pernah salah. Kapan Mbak Sonia salah? Mereka aja yang berlebihan." Bisiknya padaku.
Aku mencubit perutnya yang mulai membuncit.
"Inilah kenapa aku sangat menantikan acara ini."
"Aku tau. Aku tau." Jawabnya, membuatku semakin mencubitnya.
Tiba-tiba saja Pak RT mendekati kami. Dengan kumis tebalnya dan rambutnya yang telah menipis Pak RT menunduk agar sejajar dengan kami yang telah duduk.
"Maaf Mas, saya tahu ini sudah jadi posisi duduk yang kita setting sejak jauh-jauh hari tapi bisa nggak Mas tukar kursi Mas buat anaknya Bu Desi? Katanya dia mabuk-an dan kita tempatkan dia di kursi paling belakang. Bisa nggak Mas?"
Suamiku meringis, dan dalam sifatnya yang tidak pernah serius dia berkata cepat, "Boleh pak, monggo. Di belakang nih saya? Nanti Pak RT nggak bisa bedain saya sama mas-mas perjaka itu." Dia mengangkat alis. Kursi di belakang memang dipenuhi oleh remaja-remaja dengan energi mereka yang masih tinggi.
"Ah, makanya saya milih Mas Iqbal ini yang masih muda. Jadi pasti nggak masalah duduk dimanapun." Pak RT mengerlingkan matanya, "yang lain udah pada harus bawa minyak angin sama tolak angin Mas kalau perjalanan jauh." Dari saku bajunya Pak RT mengeluarkan sachet tolak angin.