Gang Delima

Enya Rahman
Chapter #17

Atta

Kami sedang duduk di warung di depan pantai Boom. Suamiku menyedot habis air kelapa yang dipesannya beberapa saat lalu, bersiap untuk mengeruk semua buah kelapa yang ada di dalamnya sesaat lagi.

“Kalau nyonya Sonia nggak mau degannya, biar tak minum e sini.” Dengan semangat suamiku mengeruk setiap lembar daging kelapa lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Aku menghela nafas, menyaksikan bagaimana ibu-ibu Gang Deempat yang memakai kerudung seragam kini sedang penuh oleh kesibukan mereka masing-masing. Bu Desi dan Bu Herdi menjadi pemimpin geng ibu-ibu Gang Deempat. Sibuk mencari tempat bagus untuk berfoto dengan Aska sebagai juru fotonya. Aska menggenggam kamera DSLR di tangan, wajahnya tampak sumringah namun bahasa tubuhnya menunjukkan dia tidak ingin berada di sana. 

Sementara ibu-ibu lain yang memiliki anak kecil sibuk mengawasi anak mereka bermain air di pantai. Anak-anak Gang Deempat yang suka bermain bola di depan rumahku tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dengan bermain bola di Pantai Boom, Tuban.

Aku kembali menghela nafas. “Sudah kubilang ini bukan ide yang bagus.”

“Hmm?”

“Ikut rekreasi.”

“Aduh nyonya Sonia ndak usah sok kota, kamu dari dulu ikut rekreasi dimanapun juga wajahmu tetep jutek kayak yang paling sengsara di dunia.” Ejeknya, “chill, relax, and just enjoy the moment.

Dengan sedotan aku membuat tornado kecil di air kelapa ini, “Harusnya aku bisa setrika sama bikin prep meal buat minggu depan.” Celotehku masih tak terima.

Seharusnya aku bisa tepekur di kamar menyelesaikan bukuku dan membersihkan rumah sembari menikmati kopi hangat di ruang tamu. Bukannya duduk di warung yang menjual degan dengan harga dua kali lipat di atas normal sambil menyaksikan tetangga-tetanggaku menikmati hidup mereka.

“Dari dulu kamu tetep ya? Tetep suka ngomel kalau pergi-pergi.” Suamiku menggeleng tak percaya.

“Masalahnya kita ini cuma berdua, nggak bawa anak kecil yang bisa heboh tiap kali melihat pantai. Nggak ada orang tua yang kepingin refhreshing cari angin. Cuma kita berdua, dan itu nggak asik.”

“Maksudmu, pergi berdua sama aku nggak asik?”

“Rekreasi ini yang nggak asik.”

Suamiku menyerah. Dia tidak lagi menyahuti omelanku, kini dia mengambil buah kelapa milikku dan menyerut daging kelapa yang ada di dalamnya dengan penuh semangat. 

Sekali lagi aku mendesah tak percaya. 

Kami menghabiskan hampir setengah jam di warung depan pantai tersebut. Suamiku telah memesan indomie kuah dan degan untuk kedua kalinya sementara aku memainkan audiobook Virginia Woolf sekali lagi. Masih dua jam sebelum bis kembali ke Surabaya. 

Bu Anton, dengan pakaian modisnya dan tas Hermes KW berjalan ke arahku. Bu Anton menggendong Atta, putrinya yang masih berusia empat tahun, sementara tangan kirinya menarik Amin yang sedari tadi memegangi selangkangannya.

Lihat selengkapnya