Anton sudah jauh dibelakang ku ketika aku masih terus berjalan. Segalanya kabur dihadapanku. Aku berhenti berjalan ketika aku sadar bahwa aku sudah jauh dari pantai Boom. Aku berjongkok koma meraup wajahku dengan tangan sambil sesekali mengucap kata-kata tidak koheren yang aku pun tidak mengerti.
Aku termenung di sana selama lima belas menit menit, memandangi kendaraan yang lalu-lalang menuju pantai Boom. Dihadapanku terdapat deretan warung yang setelah tutup dan berdebu, kira-kira beberapa meter sampingku ada kumpulan pemuda yang serius dengan ponsel mereka masing-masing. Saat itulah aku tersadar bahwa aku meninggalkan suamiku warung sendirian.
Ketika aku bertemu dengan suamiku dia meremas kedua pundakku sembari berkata, “kamu nggak apa-apa?”
Aku memiringkan kepalaku heran, “Iya, aku nggak papa. Kamu sendiri gimana?”
“Agak malu aku habis di grepe-grepe sama tapi selebihnya aku nggak papa.”
Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali tertawa kepada suamiku.
Senyuman suamiku yang semula mereka hilang seolah dia menyadari sesuatu, “Son, menurutmu yang dilakukan Atta tadi sengaja atau nggak sengaja?”
“Mana aku tahu, menurutmu anak umur empat tahun sadar dengan hal-hal seperti itu?” “Mungkin otak mereka sudah mulai berkembang ke sana? Kamu tahu anak jaman sekarang hormonnya berbeda dengan ketika kita masih kecil dulu? Mungkin TK zaman sekarang sudah mengajarkan tentang hal-hal seperti itu? Kamu tau, tentang privasi dan hal-hal yang nggak boleh disentuh orang lain? Aku juga nggak tahu Son tapi dari tatapannya tadi …”
“Maksud kamu apa?”
“Nggak tahu juga tapi rasanya kita harus ngobrolin hal ini dengan Bu Anton.”
Aku menarik suamiku lebih dekat padanya, “Lalu kita harus bilang apa? Bu maaf tapi tadi anak ibu yang masih usia 4 tahun grepe-grepe suami saya bu. Begitu?”
“Aku juga nggak tahu Son! Yang pasti ada yang nggak bener dari dalam diri Ata. Kamu pernah bilang atau hanya tinggal sendirian dengan Bu Anton kan? Jadi TKW di Malaysia yang sudah bertahun-tahun nggak pernah pulang. Aku cuman kuatir.”
Suamiku terduduk, dengan Lirih berkata, “Kita tadi bahkan nggak sempat ngasih tau dia bawa itu salah. Gimana kalau dia nggak tahu kalau itu salah? Mungkin ini yang bikin kita belum punya anak kali ya?”
Aku turut terduduk di hadapan suamiku, “Ngomong apa sih? Udah. Siapapun, nggak cuma kamu, kalau dihadapin sama hal kayak tadi juga bakalan ngeblank. Percaya deh.” Ujarku mencoba menenangkan.
Dalam pandanganku, sejak pertama kali kita bertemu, suamiku selalu menjadi orang yang paling tenang. Dia selalu tahu jalan keluar dari setiap masalah yang ada di hadapannya. Melihatnya seperti ini yang justru menyalahkan dirinya sendiri akan hal yang diluar nalar membuatku sedih.