Ada beberapa perjalanan yang memiliki banyak kenangan. Rekreasi ke Tuban adalah salah satunya. Aku ingat itu adalah salah satu hal yang tidak bisa kulupakan, peristiwa yang merubah kehidupan kami. Petunjuk pertama, suamiku menyebutnya.
Saat akan pulang ke Surabaya suamiku berbisik pelan di sebelahku, “Kalau nanti punya anak lebih enak cowok kayaknya ya?” Katanya sungguh perlahan dan berhati-hati.
“Kenapa?” Kataku, urasa saat itu aku terlihat agak tersinggung.
“Bukan apa-apa, cuma, anak cowok rasanya nggak bikin jantungan tiap saat kayak anak cewek.” Ujarnya buru-buru, “sekarang jamannya lebih kejam dari jaman kita waktu kecil.”
“Cowok dan cewek itu sama aja.”
“Oke-oke, sorry. Cuma … lupain deh.”
Aku menghela nafas, “Kita belum punya anak tapi udah paranoid gini, ya? Kasihan nanti anak kita.” Ujarku seraya menggeleng.
“Mungkin karena itu kita belum dikasih.” Dia merangkulku dengan erat, kami berdampingan berjalan menuju bus.
Aska telah menantiku di dalam bus, duduk di sebelah jendela. Wajahnya kelihatan lelah tapi masih tidak tampak satu pori-poripun di wajahnya. Meskipun make up yang dipakainya telah luntur dan dari nafasnya yang berat dan alisnya yang saling mengkerut Aska sedang tidak dalam posisi untuk mengaplikasikan ulang make upnya.
“Gimana Tuban?” Tanyaku padanya.
“Lumayan. Jadi freelance photographer.” Jawab Aska tanpa mengalihkan perhatiannya di luar jendela.
“Kutebak kamu sudah pernah ke pantai yang lebih indah dari Pantai Boom.”
Aska hanya tersenyum.
Aku duduk dengan canggung di sebelah Aska. Ada beberapa orang yang tidak menyukai rekreasi bersama, aku dan Aska adalah salah satunya. Jika alasanku tidak menyukai rekreasi lebih ke arah egois karena aku lebih menikmati kamarku dibandingkan duduk berpanas-panasan di Pantai Boom maka alasan Aska lebih masuk akal dibandingkan diriku.
Well, jika ibuku adalah Bu Desi maka aku akan membenci segala yang berhubungan dengan kampung halaman.
Saat itu jika saja aku lebih terlihat tertarik pada apa yang Aska ceritakan maka hubungan Aska dan Bu Desi akan baik-baik saja. Namun pikiranku, betapapun aku berusaha untuk melupakannya, masih terfokus pada Atta dan hal yang dilakukannya pada suamiku.
Aku melirik suamiku yang duduk di belakang. Dia sedang menggoda salah satu perjaka di Gang Delima, memegang ponsel milik perjaka tersebut sambil menuding-nuding layarnya. Oh, tentu saja dia akan baik-baik saja.
Iqbal, seberat apapun masalah yang menimpanya, jarang memperlihatkan hal tersebut dengan ekspresinya. Hari itu Iqbal tidak bisa menyembunyikan ekspresinya di depan Bu Anton, namun beberapa jam kemudian dia sudah kembali menjadi Iqbal yang penuh senyuman dan disukai semua orang.
“Rasanya saya sudah mencoba segala macam freelance yang ada.”
“I-iya?” Aku menolehkan kepalaku pada Aska. Aska hanya menatapku sesaat sebelum kembali menatap keluar jendela.