Gang Delima

Enya Rahman
Chapter #20

Cara Mengganti Ibu

Bagaimana cara untuk mengganti ibu?

Itu adalah pertanyaan pertama yang kuketik di halaman google ketika aku pertama kali datang ke warnet. 

Tentu saja aku tidak menemukan jawaban yang jelas. Beberapa artikel mengenai KDRT, banyak puisi-puisi manis tentang orang tua, lebih banyak lagi isi blog yang mengagungkan ibu mereka. 

Andai aku bisa mengagungkan ibuku seperti mereka.

Aku beberapa kali mencoba untuk memodifikasi pertanyaan itu, namun hasilnya tetap sama. Ibu tetap menjadi makhluk yang paling disegani di dunia; di dalam kata-kata. Hal itu membuatku menyimpulkan hal terberat dalam hidupku, bahwa bagaimanapun aku harus bertahan dengan ibu yang sama sepanjang hidupku. 

Di dalam qur’an selalu dikatakan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu, ketika aku kecil aku sempat mencoba untuk melirik kaki ibuku. 

Malam hari, ketika ibu sedang tidur pulas dengan bapak aku akan bersijingkat ke dalam kamar ibu lalu meneliti dengan seksama telapak kaki ibu. Tidak ada surga di sana, hanya ada banyak garis-garis kaki dengan kulit yang menebal di beberapa sudutnya. Agama dan ibu adalah dua hal yang tidak kumengerti saat aku kecil. 

Ibu yang menjadi tempatku tidur selama sembilan bulan di dalam perutnya. Ibu bilang sewaktu hamil diriku dia sangat sengsara, aku sudah nakal sejak di dalam kandungan. Entah senakal apa aku, andai ada cara untuk mengetahui kehidupan kita di dalam kandungan. Nyatanya sembilan bulan awal hidupku Tuhan belum meniupkan akal dan otak. 

Pernah ketika aku masih kelas satu SD aku bertanya kepada temanku bagaimana mereka ketika masih dalam kandungan.

“Ya ndak tahulah, Ka! Pertanyaanmu iku aneh-aneh ae, wong aku aja ndak inget pas masih bayi kayak gimana.” Kataku pada Laila, teman SD-ku yang kini telah dipinang oleh prajurit TNI dan dibawa ke Timika, Papua. 

Laila seorang bidan yang sejak dari kecil sudah bermimpi untuk memiliki suami tentara. Katanya suami tentara pasti sangat gagah dan bisa buat angkat-angkat apapun. Ayah-Ibu Laila tentu merestui hubungan itu. Ketika Laila memberiku kabar bahwa dia akan pindah ke Papua aku hanya terdiam dan tidak dapat berkata-kata.

Ajak aku kesana… bawa aku pergi yang jauh juga La. Kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan, tergantikan dengan beberapa ucapan selamat dan semoga langgeng. 

Hidup Laila sejak kecil sudah membuatku iri. Laila tidak pernah tahu tapi aku ingin menjadi seperti Laila ketika aku besar nanti. Laila memiliki hidup yang sangat biasa. Bagi banyak orang hidupnya membosankan tapi bukankah dapat hidup membosankan seperti Laila artinya segalanya telah tercukupi? 

“Aska, nanti kamu mau ambil jurusan kuliah apa?” Tanya Laila ketika kami disuruh oleh guru mengisi form jurusan impian. 

Lihat selengkapnya