Usai menunaikan sholat ashar dan berdzikir sebentar, nek Siti melirik ke samping. Melihat Ratih sedang duduk bersandar di sebuah kursi plastik tepat di depan pintu dapur. Memandang jauh ke depan. Diam membisu kala diterpa sinar sore sang mentari. Sesekali tangannya menjumput keripik pisang dari dalam stoples. Memasukkannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya dengan pelan. Ujung daster batik berwarna hijau yang dikenakannya, beberapa kali mengepak-ngepak perlahan saat digoda angin sepoi-sepoi.
Tertarik hendak ikut menikmati hal yang sama, nek Siti pun segera membuka mukena dan membereskan peralatan sholatnya. Menyangkutkannya ke tiang jemuran pendek, hanya setinggi pinggang orang dewasa, di pojok ruang sholat. Sebelum menyusul ke sana, ia putuskan untuk menyeduh air teh dahulu. Sambil terbungkuk-bungkuk, dinyalakannya kompor setelah menaikkan panci berisikan secangkir air mentah. Sejenak ia terdiam, seolah baru terpikirkan sesuatu. Lalu, kembali ditolehkannya kepala ke arah Ratih yang masih tetap berada di posisinya sejak tadi. Katanya, “Ratih, hoji kau teh manis?”
“Tidak nek, aku minum air putih saja.”
Mendengar jawaban singkat bin datar itu, nek Siti langsung meneruskan lagi kegiatannya bagai tak terjadi apa-apa. Dua sendok makan gula pasir dan sekantong teh bubuk sudah berada di dalam cangkir plastik ungu lengkap dengan sendok tehnya. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja sembari menatap ke atas kompor, menunggu air di panci mendidih. Begitu gelembung-gelembung air muncul di dasar panci, buru-buru dimatikannya kompor. Kemudian menuangkannya ke dalam cangkir. Belum sempat gula dan bubuk teh larut dengan sempurna, nek Siti sudah membawanya menuju ke tempat Ratih berada. Lambat-lambat ia berjalan, mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang kerap sempoyongan sambil mengaduk-aduk isi cangkirnya.
Setibanya di sebelah Ratih, nek Siti duduk di kursi yang kosong. Helaan nafas berat terdengar saat bokongnya baru saja menyentuh dudukan kursi. Kelelahan akibat terlalu lama berdiri. Perlahan disesapnya teh hangat yang uapnya masih mengepul-ngepul itu. Kemudian lidahnya menyecap kuat lantaran suhu panasnya terasa sedikit membakar. Untuk beberapa saat keduanya sama-sama diam. Menikmati kesunyian damai yang semua orang disekitar mereka tahu, kalau hal tersebut jarang-jarang terjadi. Menonton orang yang mereka kenal berlalu lalang di jalan sana. Menyaksikan kawanan burung gereja terbang melandai di antara pohon mangga dan jambu air di halaman rumah mereka. Mendengarkan bunyi nyanyian para burung yang sejujurnya tak merdu sama sekali. Suaranya melengking serta memecah keheningan dengan kebisingan. Sangat berbanding terbalik dengan postur tubuhnya yang tak lebih dari sekepalan anak-anak. Tak heran jika terkadang ada orang yang mengusir kehadiran mereka dari kediamannya.
“Kepingin aku makan mi sop ayam,” ujar nek Siti memulai pembicaraan.
“Belilah,” sahutnya cuek sambil mengunyah keripik pisang.
“Tak elok memasak saja?”
“Ah repot. Kalau nenek mau, beli saja, sebungkus lima ribu.”
“Kau rupanya tak mau?”
Merasa ada yang aneh dengan neneknya, Ratih menghentikan sejenak kunyahannya. Membiarkan tangan kanannya menggantung di udara dengan jempol dan jari telunjuknya yang mengapit dua keping keripik. Dilihatnya nek Siti yang sedang memandang kosong ke depan. Seakan-akan tak tahu bahwa ada orang yang tengah memandanginya keheranan. Ratih menduga, kalau ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi oleh sang nenek. Sebab, ucapan nek Siti yang terkesan berkelat-kelit tak seperti biasanya, mau tak mau menimbulkan rasa kecurigaan di benaknya. Selama ini, yang ia tahu, nek Siti selalu mengutarakan keinginannya setiap Ratih hendak pergi keluar mengendarai motor. Neneknya akan menyusul di belakang, berjalan tertatih-tatih seraya meneriakkan titipan serta memberi sejumlah uang. Terkadang ia menitipkan makanan, alat jahit tangan, sisipan rambut, hingga obat-obatan. Kemudian menunggu Ratih pulang membawa apapun yang ia pesan sebelumnya.
Namun, kali ini sedikit berbeda. Ada dua kesimpulan yang berputar di kepalanya. Entah karena neneknya tidak mau makan mi sop itu sendiri, atau karena neneknya tidak punya uang lagi. Untuk alasan yang pertama, rasanya tidak akan menjadi persoalan. Tapi, bagaimana kalau alasan yang kedualah yang menjadi penyebabnya? Karena Ratih ingat beberapa hari yang lalu, Evi datang ke rumah meminjam uang kepada nek Siti. Sayangnya, ia tidak tahu apakah uang tersebut sudah dikembalikan atau belum. Setelah berpikir sebentar, Ratih bertanya, “kenapa? Duit nenek habis?”
“Belum dibayar si Evi hutangnya,” jawabnya terkekeh getir. Malu mengakui perihal dirinya yang kini sudah tak punya pegangan lebih. Isi dompetnya hanya cukup untuk membeli kebutuhan mendesak nanti. Berjaga-jaga siapa tahu besok atau lusa, tiba-tiba ia jatuh sakit.
“Rasakanlah. Sudah jolak aku beritahu nenek, tak pernah nenek dengar.”
“Kasihan aku, tak sampai hatiku melihat dia menangis.”
“Nenek tak sampai hati sama dia, tapi dia sampai hati menipu nenek. Tagih nenek itu besok!” Ratih beranjak dari duduknya. Geram dan jengah melihat kelakuan neneknya yang keras kepala namun pengecut. Meninggalkan nek Siti yang termenung di kursi sendirian. Terpaku diam, memikirkan kata demi kata yang akan ia ucapkan besok kepada Evi. Memutar otak tentang bagaimana caranya besok menagih hutang tanpa menyakiti hati. Dan berdo’a di dalam hati, semoga ia bisa melaksanakan perintah Ratih dengan lancar.
***
Ada banyak sekali cara tuhan untuk membuat para hambanya bersyukur pada musim kemarau tahun ini, tidak terkecuali Evi. Ia bersyukur bukan karena hawa panas dari sang mentari yang luar biasa menyengat hingga mampu mengeringkan cuciannya dalam waktu singkat, melainkan karena angin sepoi-sepoi yang setia menemaninya saat mencabut rumput di halaman. Satu persatu rumput liar itu dicabutnya, kemudian ditumpuk di atas karung beras bekas ukuran sepuluh kilo di sebelah kanannya.