Gang Swadaya

Ayu febriana
Chapter #3

Salah Paham

Anak kecil memang menggemaskan, apalagi anak perempuan cantik berkulit putih dengan rambutnya yang super lebat. Memakai gaun merah jambu bertali pinggang renda putih, dan dilengkapi aksesoris pita besar di bagian belakangnya. Penampilannya semakin terlihat manis ketika kepangan rambutnya yang terlihat seperti tanduk, bergoyang-goyang mengikuti irama tariannya. Namanya Caca. Anak bungsu Yanti.

Hari ini, sebelum pergi ke rumah temannya di gang sebelah dalam rangka merayakan pesta ulang tahun, ia diajak ibunya menyinggahi rumah Imah terlebih dahulu. Setiap dua kali seminggu Yanti rutin membeli kue melalui Imah, biasanya mereka berkomunikasi via telepon seluler, kemudian barulah Imah menyiapkan jumlah pesanan sesuai permintaan Yanti. Setelah itu, nantinya Yanti akan datang ke rumah Imah untuk mengambil kue tersebut.

Kue yang dipesan tergantung jenis kue yang sedang dibuat oleh Ratih. Terkadang ada kue dadar, risol isi sayur, lapis pandan, lapis ketan, apem beras, bolu singkong, onde-onde, dan lain sebagainya. Yanti lebih suka memesan langsung di distributornya, daripada membeli ke warung-warung tempat Ratih menitipkan kue. Sebab, harga yang diperoleh jauh lebih murah. Harga perpotong kue hanya dibanderol senilai delapan ratus rupiah. Berbeda dengan warung yang mencapai seribu rupiah. Memang perbedaannya terlihat sangat kecil, tapi di mana lagi ia bisa mendapat sepuluh potong kue dengan harga delapan ribu rupiah?

Sementara Yanti dan Imah saling bertukar gosip terbaru, nek Siti justru sibuk menyeduh teh manis hangat untuk Caca. Beliau hanya seorang nenek yang menyukai anak kecil, tak tahu jika minuman tersebut kurang cocok disajikan pada seorang anak berumur tujuh tahun. Namun ia tahu dengan pasti bahwa kue basah nan manis cocok dinikmati bersama teh manis hangat. Orang dewasa umumnya akan berpikir Caca menolak mentah-mentah dengan alasan airnya terlalu panas, namun anak yang satu ini agak ajaib. Nasib baik ibunya pandai mendidik, Caca tampak sudah ahli menyendok air lalu meniupnya hingga turun ke titik suhu yang dapat di toleransi oleh lidahnya.

Bukan main pintarnya, batin nek Siti.

“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba terdengar ucapan salam dari arah pintu depan, yang ternyata itu adalah Dian.

“Wa’alaikumsalam,” balas Imah sambil mengintip dari balik dinding yang membatasi antara ruang dapur dan ruang tengah.

Dian melangkah masuk ke dalam rumah, menghampiri Imah di dapur. Lalu menyampaikan niat kedatangannya tepat di hadapan Imah, “pinjam parang sakojap wak, ondak memotong kayu aku, lumayan bisa jadi kayu bakar.”

“Oh, tunggu ya.” Imah langsung beranjak ke ruangan gudang yang terletak di samping kamar mandi tanpa menunggu jawaban Dian lagi.

Sambil menunggu, Dian memutuskan duduk di pinggir ruangan sholat untuk merehatkan badannya sejenak. Tangan kanannya ia topangkan ke belakang, agak sedikit menjorok ke dalam ruangan sholat. Sedang tangan yang satunya lagi mengipas-ngipas keringat di wajahnya. Berharap setidaknya angin yang tak seberapa itu bisa mengeringkan bulir asin tersebut barang setetes. Sekilas ia melirik Yanti yang masih berdiri di samping meja makan. Di sana Yanti sudah memasang senyum seramah mungkin kepadanya, namun sayangnya Dian terlalu malas untuk menyapa. Dian cuma sekedar mengangkat sebelah alisnya sejenak sebagai ganti balas sapaan. Kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke samping kiri, enggan berinteraksi terlalu lama dengan Yanti. Kedua matanya kini tampak asyik memperhatikan gerak-gerik Caca yang sangat menggemaskan. Memandangi binar maniknya yang mengerling cantik nan bersih. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis terbit di bibir Dian. Saat tangan gempal bocah perempuan itu, dengan lincah mengaduk-aduk larutan teh di dalam cangkir, kemudian mengarahkan sesendok air tersebut pada nek Siti. Seakan-akan ia hendak menyuapinya.

“Oi! Ya Tuhanku yang kayo. Mau disuapinya nek Siti, makan apanya kau, Ca? Masih kecil sudah pintar betul,” ujarnya takjub. Mendengar keterkejutan Dian, sontak nek Siti dan Yanti tertawa terbahak-bahak. Mereka benar-benar mengagumi dan mengakui kepintaran serta keaktifan motorik Caca di usia yang masih sangat belia.

Masih terkekeh-kekeh, Yanti menyahut dengan kalimat yang ia buat-buat, agar terdengar seolah Caca yang menyampaikannya. “Makan apalah kak, paling makan nasi. Macam orang lain juga.”

 Tak berapa lama, Imah kembali dari gudang, tangan kirinya sudah menenteng sebilah pisau sepanjang enam puluh sentimeter. Mata pisau itu berkilat-kilat ketika diterpa sinar matahari yang menyorot dari lubang ventilasi di atas jendela, bagai baru saja diasah kuat-kuat. Diserahkannya pisau besar itu pada Dian sembari bertanya, “kayu besar atau kayu kecil yang mau kau potong ini?”

“Kayu kecilnya, wak. Ujung-ujung rantingnya saja yang kuambil.”

“Oh, kalau cuma segitu, cocoklah ukuran pisaunya ini.”

“Kayu dari mana Dian?” Rupanya keterangan dari Dian perihal kayu menimbulkan rasa penasaran Yanti. Pasalnya sejauh yang ia ketahui adik iparnya, Ramlah, baru saja menebang pohon jati di belakang rumahnya dua minggu lalu. Sementara Dian mengontrak rumah tepat di belakang rumah Ramlah, itulah sebabnya Yanti bertanya untuk memastikan firasatnya. Curiga kalau sebenarnya Dian mengambil kayu tersebut tanpa seizin pemiliknya.

“Dari pohon jati unde Ramlah, buk. Kan, banyak di situ ranting-rantingnya berserakan. Terus, sudah dari minggu lalu aku disuruh unde itu buat mengambil kayu, soalnya sayang kalau dibuang. Tapi, baru hari inilah aku sempat, kemarin-kemarin sibuk kali aku, buk,” ucapnya berterus terang. Mendengar ungkapan tersebut membuat Yanti jadi salah tingkah, malu atas kekeliruannya tadi. Akibat rasa malu yang menghinggapi hatinya, menjadikan ia kehabisan ide untuk menyahut ucapan Dian, selain membalas dengan lantunan “oh” yang panjang sambil cengengesan. Usai memperoleh keinginannya, tanpa basi-basi lagi Dian bergegas meninggalkan rumah Imah sambil membawa parang pinjamannya.

Tak lama dari pembahasan soal pohon jati, Yanti pun turut berpamitan dengan Imah dan nek Siti. Hendak segera pergi menuju pesta ulang tahun teman Caca, sebelum ketinggalan acara. Seperti sudah menjadi kebiasaan, nek Siti pun beranjak dari duduknya dengan tergesa-gesa. Kemudian melangkahkan kaki kurusnya menuju ruangan sholat, menyingkap tikar anyaman pandan tempat dompet tipisnya berada. Tetapi sayang seribu kali sayang, bukannya melihat benda persegi panjang bermotif bunga mawar, maniknya justru mendapati debu-debu halus di atas ubin hijau. Tidak ada. Hilang.

Mampuslah aku, begitulah kira-kira batinnya bermonolog.

Ia sontak terdiam, tak lagi dipikirkannya uang saku untuk cucu kesayangannya itu. Otak dan batinnya sibuk menerka-nerka di mana kiranya keberadaan dompet tersebut. Suara Yanti dan Caca ketika meninggalkan dapur pun kini sudah tak didengarnya lagi. Kepalanya yang sudah puluhan tahun tertutup uban terasa berdenyut-denyut. Nek Siti mencoba menerawang ke masa lampau, tepatnya ke beberapa menit atau mungkin jam yang lalu. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasakan pusing separah ini, memang efek faktor umur yang kian bertambah terhadap kualitas kesehatan tak bisa dielakkan. Wajar saja jika banyak dokter yang menyarankan agar para lansia tidak boleh terlalu banyak pikiran. Tapi, bagaimana jika uang tiga puluh ribu terakhir milik seorang nenek yang tidak punya pemasukan hilang? Mustahil bila tak dipikirkan.

“Imah, ada nampak kau dompetku disini tadi?” Seolah tak ingin menunjukkan kegelisahannya, nek Siti mencoba bertanya pada keponakannya itu.

“Tidak, nde. Memang dari tadi pun tak ada aku ke ruangan sholat, kenapa rupanya?”

Lihat selengkapnya