Gang Swadaya

Ayu febriana
Chapter #4

Masuk Angin

“Nining, moh wirid kerumah si Ramlah” ajak Evi berbarengan dengan Imah. Sebagai informasi, mereka bertiga adalah saudara kandung kakak adik. Imah anak tertua, kemudian Evi anak kedua, Nining anak ketiga, dan yang terakhir ialah yahya suami dari Linda. Mereka berdua berdiri tepat di depan teras rumah Nining, sudah siap dengan setelan baju gamis beserta tas kecil yang berisikan buku surah yasin lengkap dengan terjemahan dan doa-doa nya.

Pore lah dulu aku kak, masuk angin aku” sahut Nining lesu, rona wajahnya pucat ditambah cepolan rambut yang awut-awutan. Penampilannya sangat meyakinkan orang-orang bahwasanya ia benar-benar sedang sakit.

“Loh, padahal kemarin ku lihat kau beli baju baru. Mengompot sekali,” tanya Imah keheranan.

“Baju murah itu wong, habis duitku. Sudah lama si Yuli tak berkirim,” katanya sambil duduk di serambi rumahnya. Kelihatannya sakit yang ia derita benar-benar parah sampai berdiri pun sudah tak sanggup lagi.

Mendengar jawabannya itu, ekspresi Evi yang awalnya kasihan berubah menjadi muak. Entah berapa kali adiknya berperilaku demikian, ketika ia mendapat transferan dari anak perempuannya yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita di negara tetangga, Nining bak lupa daratan. Belanja ke pasar sampai isi becak motor yang ditumpanginya penuh kantong plastik, mulai dari bahan sembako, bahan makanan, baju, sepatu, tas, sampai perhiasan emas. Semua dibeli. Kalau uangnya cukup, mungkin saja Nining memborong seluruh dagangan yang ada di pasar. Tapi sayangnya, ia tak pernah ingat berbagi kepada sesama atau bahkan sanak saudaranya sendiri barang sebutir biji jagung. Sebaliknya, jika dompetnya sedang kosong melompong tubuhnya langsung memberikan reaksi negatif. Sakit kepala, meriang, dan masuk angin berduyun-duyun mengerubungi tubuhnya. Dalam kondisi seperti ini, tak jarang ia mengeluh pada siapapun yang dijumpainya atau sekedar melewat di depan rumahnya.

“Tak berduit pun masih bisa beli baju, aku kalau tak berduit ya tak makan.” Ujar Evi kesal, jengah melihat adiknya itu. Ada perasaan iri yang terbersit di hatinya, hingga akhirnya mulutnya tak sengaja berucap, “jual saja cincin emasmu itu, waktu berduit sedikit pun kau tak ingat sama kami, sekarang sudah susah baru kau mengeluh ini itu.” Imah langsung berinisiatif menyenggol lengan Evi, memberi instruksi untuk berhenti memperpanjang umpatannya.

Lihat selengkapnya