Baru saja Imah menyelesaikan cucian piringnya ketika Febri memanggil-manggil nek Siti di depan rumah. Imah langsung bergegas pergi menghampiri dan meninggalkan beragam peralatan memasak yang bersih itu di meja. Tak sempat lagi menyangkutkannya ke rak piring. Ia melangkah cepat sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya yang basah ke sisi bawah dasternya. Dengan tersenyum seramah mungkin, Imah mendatangi Febri, menggantikan nek Siti yang sedang khusyuk menunaikan sholat Dzuhur.
Tanpa berbasa-basi, sebuah kotak sterofoam, yang Imah duga berisi nasi lengkap dengan lauknya itu, Febri serahkan kepada Imah.
“Makasih banyak, ya.”
“Iya, wak. Sama-sama.”
Kemudian Febri pamit kembali ke rumah usai keduanya saling mengucapkan terima kasih. Sepeninggal Febri, tiba-tiba terdengar suara deruman becak motor dari balik rumah Linda. Pelan tapi pasti, sopir betor tersebut memarkirkannya tepat di depan jalan setapak yang diapit oleh rumah Linda dan rumah Imah.
Di kursi penumpang, tampak Nining tengah berusaha turun dari becak dengan susah payah. Melangkahi macam-macam kantong belanja di bawah kakinya. Sementara Imah tetap berada di teras, mengurungkan niatnya untuk membereskan barang-barang yang baru ia cuci tadi. Ia lebih tertarik memandangi sekaligus menganalisis benda apa saja yang dibeli adiknya itu. Sekarung beras dan sekardus mie instan tersampir di belakang rangka betor. Di tangan kiri Nining, ada dua buah plastik hitam berukuran jumbo, sedang di sebelahnya ada lebih dari dua, kalau Imah tidak salah hitung sekitar lima buah, plastik transparan kecil. Menurut sepenglihatannya, yang diselubungi dengan plastik transparan itu adalah bahan-bahan masakan. Seperti bumbu rempah, sayuran, umbi-umbian, ikan asin, dan buah pisang. Namun, ada satu lagi yang tak begitu jelas tertangkap matanya. Sebuah kantong belanja yang terbuat dari kertas berwarna kuning, tersangkut di bahu Nining. Imah penasaran setengah mati, tak sabar ingin meninjau nama toko tempat kantong itu berasal.
Dengan menyipitkan mata guna menghalau sinar matahari yang silau, Nining beranjak lebih dulu di depan. Memandu sopir betor yang mengekor di belakangnya sambil memikul beras dan menenteng kardus mie instan. Meskipun tidak diterpa sinar mentari, hal yang sama pun juga dilakukan Imah. Ia sipitkan matanya untuk memperjelas tulisan yang terpampang di kantong tersebut. Sorot matanya terus mengikuti langkah Nining saat menyusuri jalan setapak itu. Sayangnya, lengan gemuk Nining selalu saja menghalangi arah pandangnya.
Sampai akhirnya, untuk sesaat angin bertiup lebih kencang daripada biasanya. Menyibakkan anak-anak rambut yang menjulur di selipan pucuk jilbabnya. Gerakan-gerakan halus itu rupanya membuat sekitaran jidatnya terasa gatal. Sehingga mau tidak mau, Nining terpaksa harus mengangkat tangannya yang lebih ringan untuk menggaruk dan melesakkan kembali anak rambutnya ke dalam jilbab. Dalam kesempatan yang langka itu, Imah pun tak mau menyia-nyiakannya. Seketika ia menatap dalam-dalam ke tulisan yang terletak tepat di tengah kantong kuning tersebut dan dicetak besar dengan warna hitam. Perbedaan warna yang sangat kontras itu, semakin mempermudah Imah untuk membacanya. Batinnya mengeja dua kata itu keras-keras, dan terbacalah kalimat “Butik Madonna” di sana.
Bersamaan dengan diturunkannya lengan Nining, Imah segera memalingkan wajahnya. Ia buru-buru masuk ke dalam rumah. Pikirannya kini tengah melanglang buana ke sebuah toko pakaian paling terkenal di kota Tanjung Balai Asahan. Saking populernya, bukan hanya orang di kota ini saja yang pernah membeli atau sekedar mampir di butik Madonna. Kualitas produk pakaian yang dijual serta harganya yang terjangkau, tak heran dapat memikat pengunjung hingga ke kota sebelah. Imah menaruh pemberian Febri tadi di dekat nek Siti sambil menggeleng-geleng pelan. Bagaimana tidak, disaat kakaknya, Evi, sedang dilanda kesusahan, Nining masih bisa membeli baju baru di siang bolong begini. Kesenjangan dalam segi ekonomi dan situasi rumah tangga mereka memang cukup berbeda. Imah menghela napas resah. Miris hatinya melihat kondisi hubungan persaudaraan mereka sebagai kakak adik kandung.
***
“Nining, moh wirid ke rumah si Ramlah” ajak Evi berbarengan dengan Imah. Sebagai informasi, mereka bertiga adalah saudara kandung kakak adik. Imah anak tertua, kemudian Evi anak kedua, Nining anak ketiga, dan yang terakhir ialah Yahya suami dari Linda. Mereka berdua berdiri tepat di depan teras rumah Nining, sudah siap dengan setelan baju gamis beserta tas kecil yang berisikan buku surah yasin lengkap dengan terjemahan dan doa-doa nya.
“Pore lah dulu aku kak, masuk angin aku” sahut Nining lesu, rona wajahnya pucat ditambah cepolan rambut yang awut-awutan. Penampilannya sangat meyakinkan orang-orang bahwasanya ia benar-benar sedang sakit.
“Loh, padahal kemarin ku lihat kau beli baju baru. Mengompot sekali,” ujar Imah keheranan.
“Dari mana uwong tahu?” Air mukanya sontak berubah jadi panik bercampur bingung. Sesekali Nining melirik takut-takut ke arah Evi, malu sekaligus khawatir ia disangka sedang berpura-pura sakit. Namun, yang ditanya malah cengengesan dengan tampang tak berdosa. Demi menutupi kepanikan dan membuktikan bahwa ia saat ini benar-benar dalam kondisi yang tidak baik, Nining mencoba membela diri. Katanya, “baju murah itu wong, habis duitku. Sudah lama si Yuli tak berkirim.” Nining terduduk di serambi rumahnya, agar terlihat sakit yang ia derita sangat parah sampai berdiri pun sudah tak sanggup lagi, kemudian kedua kakaknya sudi berkenan memaklumi dirinya kali ini.
Mendengar jawabannya itu, ekspresi Evi yang awalnya kasihan berubah menjadi muak. Entah berapa kali adiknya berperilaku demikian, ketika ia mendapat transferan dari anak perempuannya yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita di negara tetangga, Nining bak lupa daratan. Belanja ke pasar sampai isi becak motor yang ditumpanginya dipenuhi kantong plastik, mulai dari bahan sembako, bahan makanan, baju, sepatu, tas, sampai perhiasan emas. Semua dibeli. Kalau uangnya cukup, mungkin saja Nining memborong seluruh dagangan yang ada di pasar. Tapi sayangnya, ia tak pernah ingat berbagi kepada sesama atau bahkan sanak saudaranya sendiri barang sebutir biji jagung. Sebaliknya, jika dompetnya sedang kosong melompong tubuhnya langsung memberikan reaksi negatif. Sakit kepala, meriang, dan masuk angin berduyun-duyun mengerubungi tubuhnya. Dalam kondisi seperti ini, tak jarang ia mengeluh pada siapapun yang dijumpainya atau sekedar melewat di depan rumahnya.
“Tak berduit pun masih bisa beli baju, aku kalau tak berduit, ya tak makan,” ujar Evi kesal. Jengah bukan main melihat adiknya itu. Sebenarnya ada sedikit perasaan iri yang terbersit di hatinya, bagaimanapun juga situasi yang dialami Nining jauh lebih baik daripada mereka berdua. Ia masih memiliki suami yang sehat serta anaknya sudah mampu bekerja dan membiayai kehidupannya. Sementara dirinya dan Imah, hanyalah seorang janda yang harus bekerja dan memutar otak dalam mengatur keuangan yang pas-pasan. Sangat berbanding terbalik dengan Nining, hidupnya terlalu makmur sampai-sampai ia bisa memenuhi gaya hidupnya yang boros. Beli ini, beli itu. Matanya lancar sekali mencari barang-barang cantik guna menghias tubuhnya, mencari makanan enak untuk memenuhi perutnya, serta menimbun stok kebutuhan untuk sebulan ke depan. Namun, matanya mendadak buta kala kedua kakaknya tengah mengeluh kesusahan.
Ketika Nining menggaruk-garuk puncak kepalanya dengan canggung, tak sengaja penglihatan Evi berserobok pada sebuah benda mungil yang melingkar di jari manis adiknya itu. Warnanya berkilauan di antar rambut kusut Nining. Melihat itu, hati Evi semakin panas. Membuat mulut Evi spontan berbicara sembarangan tanpa berpikir lebih dulu, “jual saja cincin emasmu itu, waktu berduit sedikit pun kau tak ingat sama kami, sekarang sudah susah baru kau mengeluh ini itu.”
Sontak Imah terkesiap mendengar kalimat itu, sejenak matanya membulat, dan langsung berinisiatif menyenggol-nyenggol lengan Evi dengan rusuh. Memberi instruksi kepada Evi supaya berhenti memperpanjang umpatannya. Evi segera menutup mulutnya, namun sayangnya perasaan dongkol yang bersarang di hatinya masih sulit dihilangkan. Dia berdecak kesal, lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka yang tengah diselimuti perasaan aneh. Nining dengan perasaan bersalahnya dan Imah dengan perasaannya yang tak enak hati. Tak tahan berada di sana lebih lama lagi, Imah cepat-cepat menyusul Evi setelah berpamitan sambil tersenyum dengan Nining.