Hari demi hari berlalu. Berganti menjadi minggu-minggu yang dilewati tanpa hal apapun yang terjadi di dalamnya. Tak sadar sudah tiba saatnya satu hari menjelang persiapan acara pelaksanaan pernikahan anak sulung Linda. Sejak dua minggu sebelumnya, Linda dan anaknya, Fatimah, sudah disibukkan dengan agenda mencari bidan pengantin serta dekor pelaminan yang memenuhi kriteria mereka. Sesuai harganya, sesuai seleranya, juga sesuai waktunya. Orang yang bertugas sebagai pemimpin dalam pekerjaan memasak, pun turut mereka pesan. Ini dilakukan guna mencegah perbedaan kualitas hasil masakan yang akan disajikan nanti pada tamu. Sehingga, para tetangga, saudara, dan teman-teman yang datang cukup membantu di bidang mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak serta perlengkapan detail-detail kecil yang pastinya bermanfaat dalam acara tersebut.
Saking sibuknya Linda, ia bahkan tak punya waktu lagi untuk berhadir dalam perwiridan hari ini yang diselenggarakan di rumah Evi. Walaupun sebenarnya, Dian amat sangat bersyukur atas hal itu. Sebab, ia tak perlu repot-repot memasang topeng senyum ramah setiap melihat wajah Linda yang menyebalkan. Membuat Dian bisa dengan bebas berekspresi dan saling bercengkrama bersama tamu-tamu ibunya, sambil membantu menyiapkan konsumsi di dapur.
Sepanjang acara, topik yang mereka bahas selalu sama. Persoalan tentang waktu datang ke rumah, tentang siapa saja yang hendak datang besok, tentang apa yang akan mereka bawa, dan tentang transportasi untuk mengantarkan barang-barang yang dipinjam oleh Linda. Semua mereka diskusikan. Mulai dari ketika menduduki lantai beralaskan tikar anyaman pandan, hingga bangkit meninggalkan rumah Evi.
Usai pertemuan wirid yang kesekian kalinya itu bubar, Evi dan Dian cepat-cepat membersihkan rumah sebelum hari semakin gelap. Dengan gesit, Evi menyambar sapu yang tersandar lemah di balik pintu. Menyapu seluruh permukaan tikar terlebih dahulu untuk menyingkirkan barang apapun yang melekat di sana. Sementara Dian sesaat pergi ke dapur, kemudian kembali lagi membawa sebuah baskom besar di tangan kirinya. Ditaruhnya baskom tersebut di salah satu sisi dinding ruang tamu, dan berjongkok di dekatnya.
“Ikut kau besok ke rumah si Linda?”
“Ah, buat apa? Tak sudi aku menolong orang lantam macam dia,” sahut Dian enggan seraya memindahkan gelas bekas tamu ke dalam baskom merah.
“Tak kebagian makan ayamlah kau,” Evi membalas sinis. Makan ayam adalah istilah yang begitu melekat bagi warga kota Tanjung Balai Asahan ketika ada hajatan pernikahan. Karena jarang bahkan bisa dikatakan tidak ada hajatan tanpa lauk daging ayam.
“Halah, tak karena dia pun, bisanya aku makan ayam. Mahal dari itu, pun aku pernah.”
“Apa? Daging lembu?”
“Iya!”
“Kapan?”
“Hari raya haji,” jawabnya mantap. Ia menatap Evi dengan manik bundarnya yang berbinar-binar sambil mengulum senyum jahil. Berharap jawabannya mendapat sambutan semburan tawa atau minimal suara mengikik dari sang ibu. Namun sayangnya, orang yang diharapkan malah memberi reaksi datar dengan mulut yang terkunci rapat.
Bagai memandangi kucing yang sedang membuang air seni, begitulah Evi menatap Dian dalam-dalam. Perasaan kesal, malu, tetapi tak bisa marah, membuatnya bingung bercampur muak. Lelah melihat kelakuan anak sulungnya yang tak kunjung dewasa. Tetapi rasanya sudah terlambat baginya untuk kembali mendidiknya dengan benar. Sejenak Evi menarik nafas, lalu mengeluarkannya lagi kuat-kuat setelah senyum jenaka di wajah Dian pelan-pelan meluntur. Sembari melanjutkan kegiatan sapu-menyapu tikar, ia berujar, “nanti malam kau beli beras sepuluh kilo, ya. Buat bayar hutang.”
“Hutang apa lagi, mak? Banyak kali hutang omak.”
“Jangan pura-pura amnesia kau, ya! Dulu waktu kau menikah, tak nampak kau rupanya banyak orang yang menyumbang bahan-bahan sembako, hah? Kau pikir tak perlu diganti itu? Di dunia ini tak ada yang gratis, Dian bodoh!” Amarah yang menggebu-gebu di dadanya membuat Evi melemparkan sapu ijuk yang digenggamnya sedari tadi itu ke arah Dian. Layaknya tomat matang, kini wajah Evi sudah memerah padam. Titik didih kesabarannya telah mencapai limit. Ia tak mengerti, mengapa anak yang dulu selalu ia bangga-banggakan akan jadi sebodoh ini. Terlalu bodoh hingga tak paham perkara adat yang berlaku di daerahnya sendiri.
Arisan hajatan adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sanak saudara maupun tetangga atau teman, ketika salah seorang dari mereka hendak menyelenggarakan pesta besar. Semua pemberian yang didapat, akan dicatat beserta tanggalnya. Supaya mereka bisa menggantinya sesuai dengan besaran yang diperoleh saat itu dikemudian hari. Misalnya, Linda menyumbang sepuluh kilo beras kala pernikahan Dian diadakan. Maka, Evi selaku orang tua atau Dian wajib mengganti sepuluh kilo beras juga saat Linda berada di situasi yang sama. Tak peduli harga dari suatu barang itu naik atau turun. Sebab yang dihitung bukanlah harganya, melainkan jumlah kuantitasnya. Upaya tersebut diharapkan dapat meringankan beban si pemilik hajatan dalam menghemat pengeluaran biaya.
“Terus kenapa aku yang mengganti? Kan, omak yang menerimanya, bukan aku.” Disingkirkannya sapu yang tadi nyaris menimpa badannya, jauh-jauh.
“Oh, begitu pula cakapmu, ya? Harusnya sekalian saja dulu tak kuurus pernikahanmu, orang bukan aku yang nikah, kok! Kalau bukan gara-gara kau yang merengek minta pesta besar-besaran, takkan mungkin aku hari ini dikejar-kejar si mak Eda itu.”
“Tapi baru lagi kemarin si Safar gajian, masa sudah..”
“Heh, jangan kau ukur-ukur duitku, ya. Begitu dikasih si Safar aku duit, datanglah si rentenir sialan itu. Kebetulan pula hari ini giliranku jadi tuan rumah wirid. Kemanapun kubawa duit, tetaplah habis. Tak percaya kau? Pergi kau bongkar dompetku di lemari, biar nampak kau duitku sekarang tinggal berapa,” katanya dengan nada setengah membentak. Ia berdiri dalam posisi kaki terbuka sambil berkacak pinggang. Sesekali, telunjuknya menuding-nuding Dian dari jauh setiap kata “kau” terucap. Nafasnya memburu nan sesak, umurnya yang semakin menua perlahan menurunkan performa omelannya dari waktu ke waktu.
Dengan bersungut-sungut, Dian bangkit usai mengumpulkan semua gelas bekas di dalam baskom. Diangkatnya baskom tersebut, mengapitnya di antara lengan dan sisi pinggang kirinya. Kemudian meletakkannya di depan pintu kamar mandi. Lalu kembali lagi melewati Evi yang masih berdiri mengatur nafas, cepat-cepat ingin meninggalkan rumah ibunya. “Siap makan malam kuantar berasnya,” ucapnya seraya mengenakan sandal di teras.
***
Berbeda dengan situasi di rumah Evi yang memanas, sore itu Linda datang bertamu ke kediaman Imah bersama anaknya. Raut wajah keduanya tampak kusut, seakan-akan ada beban berat yang mengganjal di pikirannya. Linda duduk di kursi plastik hijau dengan gusar. Beberapa kali ia menggaruk-garuk punggung tangannya sambil berdesis. Sementara Fatimah berjalan mondar-mandir di depan ibunya. Sama-sama diselimuti perasaan gelisah. Kebosanan setengah mati menanti Imah selesai menunaikan sholat Ashar. Tak ada sahutan yang terdengar dari mulut ibu dan anak itu, meski entah berapa kali nek Siti mengajak mereka berbincang sekedar berbasa-basi.
“Kenapa, Lin?”
Gerakan tak menentu yang berulang-ulang itu mendadak terhenti. Keduanya sontak mendongak, memandangi Imah yang masih sibuk membenahi peralatan sholatnya. Dengan tak sabar, Linda segera bergerak menghambur ke arah Imah. Di belakangnya, Fatimah turut mengekor, bersandar di ambang pintu kamar dengan tampang memelas. Memperhatikan ibunya yang kini menggenggam tangan kanan Imah erat-erat.
“Wong, minta tolong kalilah aku ke uwong. Tak tau lagi aku mesti minta tolong sama siapa selain uwong,” ucapnya tak tentu arah sembari mengguncang-guncangkan tangan Imah. Sinar di matanya menunjukkan bahwa kebingungan yang luar biasa telah mematikan jalan berpikirnya.
“Minta tolong apa?”
“Begini, wong. Tadi siang datanglah tukang dekor yang kami pesan itu ke sini, katanya mau survey lokasi. Biar bisa diperkirakan mereka letak-letak susunannya, mulai dari pelaminan, hiburan musik, meja prasmanan, sampai meja makan tetamu.”
“Jadi, apa katanya?”
“Itulah tadi, wong, tak sampai lima menit orang utusan itu menengok-nengok, risaulah dia,” sejenak ia menghentikan penjelasannya. Mencoba membaca perubahan ekspresi yang muncul di antara garis-garis keriput wajah Imah. Saat dirasa, tak ada tanda-tanda penghakiman di dalamnya, ia mendengus pelan. Kemudian, Linda kembali melanjutkan kalimatnya. “Katanya, tak layak pakai halaman rumahku itu. Sempit kali. Saking sempitnya, cuma muat untuk dekor pelaminan sama meja prasmanan saja. Kemanalah ku taruh sisanya, wong? Tak mungkin tamu undanganku makan di dalam rumah, tak mungkin pesta anakku sunyi sepi tanpa hiburan musik. Mau dibawa kemana mukaku ini, wong?”
Bagai air rebusan yang meluap akibat terlalu panas, Linda menumpahkan semua kecemasannya kepada Imah setelah menuntaskan hal-hal yang menohok di sanubarinya sejak tadi. Ia menangis tersedu-sedu dengan kepala menunduk. Bertumpu pada tangan Imah yang tak kunjung dilepasnya. Linda semakin mengeratkan pegangannya, seolah hendak berbagi kerisauan yang menyiksa. “Sekiranya tak uwong kasih kami menumpang di halaman itu, menyewa pun kami mau, wong,” sambungnya lagi dengan suara nyaris terisak.
“Sudah sudah, jangan menangis,” ujarnya menenangkan sambil membelai-belai puncak kepala Linda dengan sebelah tangannya yang bebas. Dipalingkannya sebentar pandangannya ke arah Fatimah yang masih setia berdiri di ambang pintu, kondisinya pun tak jauh berbeda. Sirat keputusasaan tampak jelas di maniknya. Lalu, Imah menghela nafas panjang seraya menarik tangannya keluar dari jalinan jemari Linda. Menegakkan bahu adik iparnya itu, dan berkata lagi, “anakmu itu, anakku juga. Jadi, tak perlu bingung-bingunglah, kita ini keluarga, Lin.”
“Tapi aku sebenarnya tak mau merepotkan, wong. Padahal yang mau menikah anakku, malah pakai halaman rumah uwong. Malu aku,” balasnya dengan nafas tersendat-sendat, di mana saluran pernafasannya saat ini tengah tersumbat cairan kental bening.
“Dengar ya, Linda. Yang namanya acara keluarga, pastilah melibatkan semua anggota keluarga juga. Tak bisa kau bekerja sendiri atau berharap penuh sama orang lain. Lagipula, wajar kalau kau panik begini. Karena kau belum pernah mengadakan hajatan besar-besaran seperti ini. Walaupun aku juga belum punya banyak pengalaman, setidaknya aku pernah turut andil saat pernikahan adik-adikku, termasuk pernikahanmu. Jadi, sekali lagi kutekankan, kita ini keluarga. Jangan pernah malu untuk meminta tolong sama keluarga.”
Mendapat serangan ultimatum dadakan dari sang kakak ipar tertua, spontan Linda mengangguk-anggukkan kepalanya dan menghapus air matanya dengan kasar. Meski perasaannya kini lebih lega, namun masih ada setitik rasa malu di dasar sana. Bukan lagi malu karena telah meminta tolong atau merepotkan Imah. Tetapi, malu karena sudah terlampau berlebihan dalam menunjukkan kegelisahannya. Harusnya ia bisa berpikir lebih dewasa di umurnya yang tak lagi muda. Menjadi contoh yang baik buat anak sulungnya, yang sebentar lagi akan membangun bahtera rumah tangga. Tapi, mau bagaimana lagi? Nyatanya usia bukanlah patokan seseorang bisa bersikap dewasa. Bersyukur, ia masih punya sosok yang bisa diandalkan selain suaminya pada saat genting seperti hari ini. Bersedia memberikan solusi serta mengulurkan tangan untuk meringankan kesulitannya.
Sambil tersenyum tipis dengan matanya yang membengkak, Linda mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Imah. Tak lupa mengajak anaknya agar ikut berterima kasih seperti dirinya. Memang tak terdengar kata izin di dalam serangkaian kalimat panjang dari mulut Imah. Namun, caranya ketika menekankan ucapan keluarga, membuat mereka berdua mengerti lebih banyak. Bahwa keluargalah tempat peraduan yang sesungguhnya, dan tiada pengganti yang lebih hebat daripada itu.
***
Jumat pagi pukul sepuluh tepat, seluruh warga gang Swadaya sudah berkumpul di halaman belakang rumah Linda dalam rangka gotong royong prahajatan anak sulungnya. Alat-alat dapur seperti kuali, dandang nasi, kompor gas, dan segala rupa barang pecah belah yang sudah diantarkan oleh ketua organisasi wirid sebelumnya mulai disusun di atas meja. Sanak saudara berduyun-duyun menyumbangkan sembako, dan ada juga yang membayar hutang sembakonya pada Linda. Ipar Linda pun tak terkecuali, mereka ikut meramaikan acara gotong royong pada hari itu. Berbekal pisau cutter yang dibawa dari rumah masing-masing, ketiganya sibuk mengerjakan tugasnya. Seperti Evi yang sedang mengupas bawang merah, Imah memotong kacang panjang, dan Nining mengiris jahe. Mereka asyik bekerja sambil menikmati biskuit ditemani teh manis hangat yang telah dihidangkan oleh tukang masak pesanan Linda, sesekali mereka bercengkrama satu sama lain demi menghilangkan rasa bosan.
Di sisi lain, khususnya di seberang rumah Linda, tampak seorang wanita paruh baya yang berumur sekitar pertengahan abad, sedang menjemur setumpuk cucian di halaman rumahnya. Mira terus saja mengedarkan pandangannya ke sana kemari. Celingak-celinguk memanjangkan lehernya ke kanan dan kiri. Menelaah perihal apa yang terjadi saat ini dengan kening yang berkerut-kerut. Walaupun ini bukan kali pertama bagi Mira, menjadi satu-satunya yang tidak tahu apapun soal acara yang diselenggarakan di gang yang sudah ditinggalinya selama bertahun-tahun ini. Namun, ia selalu ingin tahu tentang apa, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana seluk beluk dalam pembuatan acara tersebut. Akan tetapi, jangankan memperoleh informasi dari orang yang bersangkutan, sekedar kabar burung pun tak kunjung didapatnya. Biasanya, ia baru mengetahui separuh ceritanya setelah acara yang berlangsung selesai.
Kian lama kian lambat gerakannya. Sengaja berleha-leha demi memuaskan rasa penasarannya. Padahal kain yang harus disangkutkannya ke tiang jemuran hanya tersisa dua gulung lagi. Mira memeras gulungan pakaian itu sekuat-kuatnya. Jika masih terlihat beberapa tetesan air yang tersisa, maka ia akan memerasnya kembali lebih kuat sampai benar-benar tiris. Begitu terus sampai tak perlu heran lagi mengapa kegiatan menjemur pakaian saja bisa menyita waktu demikian borosnya. Di balik pagar rumahnya itu, ia bisa melihat ada lima orang laki-laki dewasa tengah mengeluarkan batang-batang besi berwarna hijau tua dan bermeter-meter kain putih dari dalam sebuah mobil truk jumbo. Lalu, di belakang rumah Linda, belasan wanita hilir mudik menenteng berbagai macam benda. Mulai dari peralatan memasak, pisau, ember, hingga plastik-plastik berukuran besar yang tidak ia ketahui persis apa isinya. Belum lagi sanak saudara Linda, yang beberapa di antaranya familier di ingatan Mira, keluar masuk pintu rumah tetangga depannya itu. Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari sekumpulan wanita-wanita di belakang sana. Sesekali di sela-sela suara girang nan gembira itu diselingi dengan kalimat perintah yang tegas dari seorang wanita, ia menduga kalau itu adalah suara si tukang masak.