Gang Swadaya

Ayu febriana
Chapter #6

Laku dan Tak Laku

Siang itu, petir bersahut-sahutan. Bergiliran menyambar langit kelabu gang Swadaya. Angin berhembus kencang, mengayun-ngayunkan pelepah daun kelapa yang tingginya sekitar dua meter. Daun mangga kering yang berguguran terbang disapu angin dari balik pagar jaring milik Mira. Kain yang tadi pagi dijemur oleh Ramlah pun tak luput dari terpaan hembusan udara yang kian menderas, diikuti rintik-rintik halus dari gumpalan awan hitam yang mulai menitik di lembar-lembar kain lembab. Ramlah buru-buru keluar rumah saat menyadari langit sudah menghempaskan bulir air hujan yang semakin membesar di atas atap seng rumahnya. Tangannya menarik kasar kain-kain tersebut, sampai matanya tak sengaja menyerobot sosok ibu mertuanya duduk dan bercengkrama di teras rumah Imah. Di sana, nek Titin ditemani oleh Imah dan nek Siti.

Nek Titin sendiri merupakan unde atau tante Imah dari pihak keluarga bapak sekaligus adik ipar nek Siti, itulah sebabnya Ramlah merasa tidak begitu aneh melihat pemandangan itu. Namun, sejak suaminya pergi merantau ke Jakarta sana tujuh bulan yang lalu, ibu mertuanya tak pernah lagi menginjakkan kakinya di gang ini dengan alasan kesehatan. Sebelumnya, beliau kerap datang kerumahnya berkat bantuan suaminya yang dengan sukarela mengantar jemput. Tapi sekarang, ibu mertuanya datang kesini sendirian.

Ada apa gerangan, batin Ramlah.

“Mak, kerumah lah nanti,” ucap Ramlah setengah berteriak, mengimbangi suara petir yang belum bosan memekakkan telinga seraya tetap menarik barisan pakaian dalam di hadapannya.

“Iya sebentar lagi aku kesana,” balas nek Titin sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada Imah, tampak sedang membahas obrolan yang serius. Terbersit rasa penasaran dalam hati Ramlah, ingin menimbrung tapi ia takut dikira tak sopan oleh ibu mertuanya. Akhirnya dia memilih untuk memendam rasa keingintahuannya itu dan masuk kerumah setelah menarik celana dalam terakhir dari tali jemuran.

***

“Sama siapa omak tadi kesini?” Ramlah bertanya pada nek Titin yang kini sudah duduk di serambi rumahnya sambil makan pisang goreng buatan Ramlah.

“Si Yanti tadi pagi datang kerumah ku membawakan bubur sumsum, waktu mau balik kesini aku ikut, sudah lama tidak nengok cucu.” Jelasnya sambil menguliti lapisan tepung pada pisang goreng untuk dimakan belakangan, sebab nek Titin suka sekali dengan tepung gorengan.

“Tak sakit lagi perut omak? Kemarin ku dengar asam lambungnya kumat.”

“Halah, biasa saja itu. Minum obat sebutir, botah lah.” Nek Titin menyeruput teh manis hangat dari gelasnya, angin kencang sudah membantunya mendinginkan air teh sehingga ia bahkan tak perlu lagi repot-repot meniupnya. Dia kembali membuka mulutnya setelah tiga teguk air teh berhasil melewati kerongkongannya meski harus dibantu dengan tiga kali berdeham, “Ramlah, katanya si Fatimah waktu nikahannya jelek ya? Gigi saja yang kelihatan, tonggos.”

Sontak Ramlah terkejut mendengar pernyataan tersebut keluar dari mulut ibu mertuanya, batinnya mulai berkelana mencari-cari siapakah oknum jahat yang mengatakan hal berbahaya seperti itu, “dari mana omak dapat cerita begitu?” Ramlah tak bisa membendung rasa penasarannya lagi, ini informasi besar. Kalau dugaannya tepat, maka sebentar lagi dapat dipastikan akan terjadi pertengkaran hebat antar saudara ipar.

“Banyak yang bilang begitu,” jawaban dari nek Titin makin memutuskan akal sehat Ramlah, fakta yang ambigu. Tak salah lagi, pertunjukan yang seru kini ada di depan mata. Pelan-pelan bibir Ramlah bergerak membentuk seulas senyuman tipis, seakan-akan raganya kini sudah dirasuki iblis bertanduk merah.

***

Linda baru saja selesai membereskan hidangan sarapan pagi itu ketika Ramlah datang ke rumahnya dengan tampang serius. Terlalu serius sampai tak mengucap salam. Langkah kakinya cepat memasuki rumah panggung Linda, menimbulkan suara duk duk duk dari hamparan helai papan pohon kelapa yang sudah tua. Linda menyadari ada sesuatu yang janggal dari gerak-gerik sohibnya itu, bagai agen kepolisian yang sedang memburu bandar narkoba. Serius, menegangkan, senyap, cepat, dan tak terduga.

“Begini kak, semalam mertuaku datang ke rumah, katanya ada yang menyampaikan ke omak tu kalau si Fatimah jelek waktu jadi pengantin, giginya saja yang menonjol kak. Boneng!” Katanya dengan suara pelan nyaris berbisik. Sungguh pembuka kalimat yang atraktif, dalam sekali serang Ramlah sudah berhasil membuat mata Linda melotot seakan hendak keluar dari rongganya. Belum puas dengan kalimat tadi, Ramlah menambahkan petunjuk besar, “nampakku omak tu bertandang di rumah kak Imah sebelum kerumahku.”

Lihat selengkapnya