Musim kemarau belum habis, tetapi hujan kembali menerjang kota Tanjung Balai Asahan khususnya gang Swadaya. Walaupun kali ini skalanya lebih kecil daripada hujan tempo hari. Hujan gerimis turun membasahi tanah becek di tengah terangnya sinar sang mentari di langit sana. Orang bilang hujan panas. Mitosnya hujan panas tidak baik untuk kesehatan. Itulah mengapa suasana pada hari ini begitu sunyi senyap, tidak ada anak-anak yang bermain kejar-kejaran maupun orang tua yang sekedar berlalu lalang. Seluruh penghuni gang Swadaya memilih untuk berdiam diri di rumahnya masing-masing, tak terkecuali Mira.
Dia duduk di kursi teras rumah mewahnya, memangku sambil mengelus-ngelus kucing betinanya yang berwarna abu-abu belang putih. Bibirnya tersenyum miring memandangi rumah panggung Linda yang ada di seberang rumahnya. Kemudian kepalanya menoleh ke arah kiri, menengok tiga rumah yang ada di sebelah rumah Linda. Rumah Imah yang semi permanen, setengah tembok dan setengah papan, selanjutnya ada rumah Ramlah dan Evi yang mirip dengan rumah milik Linda, hanya saja ukuran rumah Evi sedikit lebih kecil dan sudah lapuk kayunya.
Mira tak lagi ingat entah berapa tahun ia dan keluarganya tinggal di sini, yang jelas sejak awal kepindahannya sampai saat ini kehadirannya tidak pernah diterima dengan baik oleh warga sekitar. Namun, hal yang paling ia syukuri adalah harta warisan yang didapatnya dari almarhum ayahnya lah yang membuatnya bisa terus bertahan hingga sekarang. Berkat itu, Mira bisa membeli seperempat luas tanah yang dijual oleh orang tua Imah bersaudara. Mulai dari rumah serta empat petak kolam ikan, berderetan memanjang sampai ke seberang rumah milik Evi adalah tanah miliknya. Hunian mewah yang didirikannya mampu membuat para tetangga berdecak kagum juga mengiri. Harga diri yang berhasil dibangunnya itu, meski suaminya hanya berprofesi sebagai sopir becak motor, memberinya kekuatan untuk terus mengangkat dagu dan tidak pernah takut akan intimidasi yang ditujukan kepadanya.
Sayup-sayup terdengar suara deruman dari luar persimpangan gang. Spontan Mira menoleh seratus delapan puluh derajat, berbalik ke arah kanannya. Dua buah truk pikap memasuki gang dengan pelan. Kedua truk tersebut berbaris mengingat lebar jalan gang yang tidak terlalu luas. Truk yang di depan berisikan muatan pasir, sementara yang lainnya mengangkut beberapa karung semen, batu bata, batu kerikil, lima batang bambu hijau, berkotak-kotak keramik lantai, dan lima buah daun jendela kaca lengkap dengan kusennya.
Matanya memicing tatkala dua buah truk dengan bak terbuka itu bergoyang-goyang ketika mencoba melintasi cekungan tanah yang becek akibat hujan deras dua hari yang lalu. Kubangan air itu dihenyak bundaran ban tebal si truk, tampilannya kini sungguh miris. Meninggalkannya dengan kondisi diameter serta kedalaman yang kian parah, juga konsentrasi warna airnya kini semakin mirip seduhan kopi bercampur susu. Darahnya sedikit berdesir melihat pemandangan yang tidak memiliki nilai estetika itu berada tepat di depan pekarangan rumahnya sendiri.
Sudahlah jelek malah diperparah pula, batin Mira.
Pandangannya mengekori kemana arah laju truk itu, menanti kepada rumah siapakah kendaraan beroda empat tersebut akan singgah. Tanpa menunggu waktu lama, pelan-pelan keduanya parkir bersamaan di halaman rumah Mira. Kemudian tanpa instruksi, si pak sopir dan seorang temannya dengan cepat turun dan langsung membuka kunci penahan bak belakang agar timbunan pasir di dalamnya bisa dikeluarkan dengan mudah. Sama halnya di truk yang satunya lagi, dua orang pria dewasa turun kemudian bergegas menurunkan bahan-bahan di dalam bak belakang. Hanya butuh waktu sepuluh menit, gundukan pasir yang sekarang sudah berpindah tempat membentuk sebuah bukit kecil setinggi orang dewasa, serta berbagai macam bahan bangunan lainnya yang menumpuk di bawah pohon mangga milik Imah. Sepeninggal dua truk pikap itu, tampak Imah sedang merapikan susunan batu bata sembari berbincang dengan Evi.
Mira nyaris tak berkedip menatap fenomena langka yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia merasa situasi ini cukup aneh, status Imah sebagai janda pengangguran dan anaknya yang hanya bekerja sebagai tukang kue mampu merenovasi rumah. Biasanya membeli bahan-bahan kue, sekarang membeli bahan-bahan bangunan. Luar biasa.
Dari manakah kiranya mereka memperoleh banyak uang? Aku tak suka ada yang menyaingi rumahku, pokoknya di gang ini harus rumahku lah yang paling mewah, Mira terus membatin, dengki.
Selama ini ia tidak peduli dikucilkan dan diintimidasi oleh tetangganya, karena mau seperti apapun cara mereka memusuhinya, mereka tidak akan pernah berhasil melampaui kekayaannya. Mira yang awalnya merasa aman dan tentram dengan kemewahannya, mendadak berubah menjadi terancam. Takut kalau Imah sampai mengalahkannya. Baginya situasi saat ini layaknya sebuah perlombaan, posisinya sebagai juara bertahan harus tetap ia pegang. Tidak ada satupun yang boleh merenggutnya.
***
“Dari mana kau Vi?” tanya Imah pada Evi yang kebetulan muncul dari arah belakang.
“Dari rumah si Yanti, minta daun botik aku. Anak bujangku lagi tak enak badan wong, nanti malam ondak ku arut kan lah anakku biar keluar anginnya. Kalau dibiarkan takutnya makin parah, kerja pulalah dia besok.” Jawabnya sambil mengacung-ngacungkan tiga lembar daun papaya berukuran sedang di tangan kirinya. Arut adalah suatu pengobatan tradisional, konsepnya mirip seperti kerokan. Namun bahan yang digunakan berupa daun pepaya yang dibuang tulangnya, ditambah parutan kunyit, dan irisan bawang merah. Ketiga bahan herbal tersebut dicampur dengan cara diremas-remas sampai daun pepaya remuk lemas. Gumpalan daun tersebut akan digosok-gosokan ke badan yang dirasa sakit, dan setelahnya akan menimbulkan jejak bercak kemerahan sebagai pertanda ada banyak angin atau penyakit yang bersarang di sana.
Evi celingukan melihat-lihat berbagai macam bahan bangunan yang berserakan di halaman rumah Imah, membuatnya lantas bertanya, “Hendak bikin apa ini wong?”
“Merenovasi muka rumahku, Vi, sudah parah betul lapuknya” Imah mengedikkan dagunya sedikit, menunjuk ke arah rumahnya yang sudah lapuk lembab dihajar rembesan air hujan dan teriknya sinar matahari. Dua puluh dua tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk dinding kayu tersebut melindungi mereka.
“Ini asal bertanya saja aku ini ya, wong, berapa duitlah semuanya ini?”
“Semuanya lebihlah tiga juta, tapi tak sekaligus kubayar Vi. Mencicil aku sama si Ulong, ada duit sedikit beli batu bata dulu, kapan ada duit lagi beli semennya pula. Begitulah, sedikit-sedikit.” Jelasnya pelan dengan menekankan kata kunci mencicil di dalam kalimatnya. Memberikan petunjuk jika ia tidak benar-benar mengantongi banyak uang. Ia bisa memperoleh semua itu, semata-mata berkat ketekunannya dalam menyisihkan penghasilan penjualan kue sedikit demi sedikit. Sedang sosok Ulong adalah nama pemilik toko bangunan yang ada di luar gang Swadaya. Seluruh penghuni gang ini, mengenal serta berlangganan dengannya. Sebab toko tersebut adalah satu-satunya toko bangunan terdekat yang mudah dijangkau.
“Iyalah pula. Mau sekaligus tak tolop awak.” Evi manggut-manggut mengerti dengan penjelasan Imah, “jadi selama ini pakai bon ya, wong?” Sambungnya lagi. Tampaknya ia tertarik dengan tips yang dibagikan oleh kakaknya itu meski tidak tahu kapan kiranya ia bisa merealisasikan ide tersebut. Sebab beban hutang yang ditanggungnya baru berjalan setengah dari total pinjamannya, ditambah recehan yang ia peroleh dari nek Siti tak kunjung dilunasinya.
“Iyalah, kalau tak ada bon apa buktinya,” jawab Imah lugas.
“Betul betul, tak salah lagi yang uwong bilang itu,” Evi melambai-lambaikan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, menunjukkan gestur setuju juga sepakat dengan jawaban kakaknya, seolah tidak ada lagi kesalahan dalam kalimatnya.