Gang Swadaya

Ayu febriana
Chapter #8

Sampah dari Balik Pagar

Pagi yang cerah di hari minggu. Masing-masing penghuni gang Swadaya sibuk dengan urusannya sendiri. Suara beragam kegiatan terdengar dari seluruh penjuru. Mulai dari suara deruman mesin cuci Ramlah, gelak tawa yang dilantunkan oleh salah satu stasiun televisi di rumah Nining, dentingan spatula dan wajan yang beradu di bilik dapur Yanti, hingga teriakan Evi yang meminta sedikit garam pada Dian dari jendela rumahnya. Biasanya, Sari lah yang kerap menjadi kurir. Setelah menuangkan sesendok garam kasar ke dalam piring kecil, ia pun berlari-lari kecil menuju rumah neneknya.

Beberapa orang beraktivitas di luar rumah sambil menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti Linda yang jemuran kainnya kini sudah memasuki baris ketiga. Sesekali disekanya keringat yang mengalir di jidatnya, wajahnya makin kusut kala mendengar suara bantingan piring dari dapur. Namun, bukannya marah Linda justru hanya mendecakkan lidah tanpa menghiraukannya. Sebab ia tahu jelas kalau anak bungsunya lah yang melakukan hal bodoh tersebut. Sedang suaminya sudah pergi bekerja sejak shubuh tadi.

Atau seperti Imah, sibuk merapikan puing-puing rumah yang berserakan, kemudian menumpuknya di tumpukan sampah. Sementara nek Siti menyapu daun-daun mangga kering yang berguguran di halaman. Menepikannya ke sekeliling pohon mangga guna menutupi akar-akar yang menyembul dari balik tanah. Tubuhnya yang renta mengharuskan nek Siti berulang kali duduk di halaman beralaskan sandal, mengatur nafas sambil menyelipkan lidi yang kerap lolos dari ikatan sapu.

Di seberangnya, ada Mira dan suaminya yang asyik memberi pakan ikan sembari membersihkan pelepah daun tebu yang berderet tepat di balik pagar jejaring hitam yang membatasi tanah kepemilikannya dan jalan umum. Nampaknya rasa dongkol di hatinya masih belum hilang sepenuhnya, terlihat dari lirikan matanya yang seolah-olah melucuti setiap inci perubahan pada rumah Imah. Tangan gemuknya menyentak daun tebu yang layu itu dengan keras, lalu mengumpulkan beberapa helai di genggamannya. Perasaan geram yang bergelayut di sanubarinya menuntun Mira untuk meremas-remas daun tak berdosa itu menjadi gumpalan tak beraturan, dan melemparkannya ke jalanan. Sikap kekanakannya itu terus dilakukannya berulang-ulang. Peristiwa ajaib nan tak beretika itu disaksikan langsung oleh Linda, Imah, juga nek Siti. Tetapi ketiganya enggan merespon tindakannya, malas membuang-buang energi dan mengira kalau nantinya Mira akan berhenti sendiri.

“Kenapa kau buang sampah ke situ?” Menyadari tingkah aneh istrinya, Toni, suami Mira menegurnya setelah menghabiskan setengah stoples pakan ikan. Sisa-sisa remahan pakan ikan yang menempel di tangan kanannya, ia usapkan ke perutnya yang buncit bagai seorang wanita yang sedang mengandung tujuh bulan lamanya.

“Diamlah kau, bukan urusanmu ini!” Sontak Mira berbalik meninggalkan Toni yang kebingungan. Kakinya menghentak-hentak bumi, mirip balita yang merajuk karena tak diberi permen gulali kesukaannya. Mira masuk kerumahnya dengan membanting pintu kuat-kuat. Terlalu kuat sampai anaknya, Febri, yang semula berkutat dengan setumpuk kertas tugas sekolah terperanjat dari duduknya. Mira terus berlalu, tak peduli akan keluhan Febri di belakangnya. Ia kecewa Imah tidak mengindahkan kekesalannya, padahal Mira berharap hari ini ia bisa menyerang Imah lagi dengan berbagai macam umpatan yang lebih menyakitkan. Akan tetapi, target yang dituju tak terpancing, malah ia mendapatkan teguran dari suaminya.

***

“Assalamu’alaikum, sampah siapa yang berserak di jalan itu, wong?” Evi masuk ke rumah Imah dengan tergesa-gesa, suara kerasnya bahkan mengalahkan kebisingan palu milik Iwan dan paku yang bertalu-talu.

“Wa’alaikumsalam, siapa lagi? Kawan kaulah,” sahut Imah dari dapur sambil mengaduk-aduk seduhan teh manis dalam teko. Langkah Evi baru terhenti saat berhadapan dengan kakaknya di dapur.

“Si Mira gila? Kapan pula aku berkawan sama dia? Jangan aneh-anehlah wong, malu aku,” ujarnya kesal. Imah tertawa pelan menanggapi kekesalan adiknya itu, sebelum akhirnya ia menceritakan ulang tentang asal-usul sampah yang bertebaran di jalan. Beberapa kali nek Siti ikut menimpali penjelasan Imah, menyumbangkan satu dua kalimat berdasarkan opini pribadinya. Tentang cara Mira meremas-remas daun tebu, tentang sorot matanya yang tajam penuh rasa iri dan dengki, tentang fisik Mira dan suaminya yang tambun, tentang betapa dangkalnya jiwa kesopanan dalam dirinya, tentang intonasinya ketika melawan teguran suaminya, hingga tentang suara bantingan pintunya yang berderak. Semua diulas satu persatu, runut dari awal sampai akhir, tak ada detail yang terlewat setitik pun.

Saking menariknya cerita yang dikemas dengan rincian super premium itu, Evi bahkan tidak sadar lagi sudah berapa lama mulutnya tak terkatup rapat. Rasa geli, lucu, geram, tak habis pikir bercampur aduk jadi satu. Sehelai handuk kecil yang tersampir di bahunya ia usapkan ke wajahnya yang berminyak, katanya, “berarti memang pas yang kami bilang kemarin. Si Mira itu iri sama uwong, takut dia ada yang menyaingi rumahnya. Mau dia, cuma dia seorang lah yang paling kaya di gang kita ini. Heran dia kenapa tak punya kawan, tapi dia tak sadar kalau ada yang salah di otaknya. Sudahlah rupa jelek, sifat pun jelek. Makan saja tahunya, macam babi!”

“Itulah makanya tak kami bersihkan sampah di situ. Jalan yang diributkannya kemarin sudah kutimbun semalam sebisaku, sekarang sampahnya pun mau aku juga yang bersihkan? Enak sekali dia, sudah bikin sakit hati orang malah menambah kerjaan orang.”

“Betul kata uwong, kalau diturutin nanti lama-kelamaan melunjak. Dipikirnya macam hebat kali dia.”

“Siapa yang kalian gosipkan dari kemarin, hah?” Tanya Iwan dari atas, bertengger di puncak tangga sedang berkonsentrasi menata adukan semen di atas batu bata kemudian menutupnya lagi dengan batu bata lainnya. Rupanya diam-diam Iwan mendengarkan gosip hangat yang dibahas oleh ibu-ibu di rumah Imah sejak kemarin. Namun, sayangnya ia belum bisa menduga siapakah sosok dibalik cerita kontroversial itu.

“Ada orang gila di seberang situ,” jawab Evi singkat sambil menunjuk ke arah luar. Dan dibalas dengan senyum lebar diwajah Iwan, nyaris menyeringai. Tampaknya Iwan mengerti perihal siapa yang dimaksud oleh Evi.

“Pulanglah aku ya wong, ondak beli beras aku ke kode,” Evi beranjak dari dapur setelah puas mendengar dan menyumpah serapahi Mira. Baru tiba di ruang tamu, Evi berbalik sejenak meninjau nek Siti, “hampir lupa aku, duit unde nanti sore ku bayar ya. Kabarnya sore ini si Safar gajian,” kemudian kembali berlalu meninggalkan rumah Imah tanpa menunggu jawaban dari nek Siti. Ucapan tersebut tentu saja disambut dengan suka cita oleh nek Siti. Ungkapan hamdalah dan terima kasih meski wujud uang miliknya belum tertempel di telapak tangannya, berkali-kali keluar dari bibirnya. Evi terus saja berjalan tanpa menyahut nek Siti lagi, kedua kakinya melangkah lebar-lebar menyusuri halaman rumah Imah. Ketika kakinya tak sengaja bersinggungan dengan salah satu buntilan daun tebu itu di jalan, dengan perasaan geram spontan disepaknya buntilan itu ke arah sisi pagar jaring sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan langkahnya.

***

Tak terasa hari Minggu tinggal enam jam lebih tiga puluh menit lagi. Sang mentari telah menyingsing ke ufuk barat sana. Menyirami setiap insan dan isinya di planet bumi dengan cahaya jingga keemasan. Angin menjelang maghrib berayun sepoi-sepoi membelai panca indera peraba siapapun yang masih berada di luar rumahnya. Di tengah nikmat dan asrinya suasana tersebut, segumpal asap hitam membumbung tinggi melangit. Menyebar dibawa arus angin untuk kemudian dihirup bersama-sama.

Biadab, sudah habiskah otaknya dimakan lemak? Batin Ramlah dari balik jendela teralisnya dengan raut masam, mengintip Mira yang sedang sibuk membakar rumput-rumput dan daun-daun kering bercampur sampah plastik juga sampah rumah tangga di dekat kolam ikannya. Berjaga di sekeliling tumpukan sampah, jika sampah di puncaknya telah habis dilahap si jago merah, Mira akan menaikkan kembali sampah-sampah yang berserak di bawahnya. Begitu terus sampai bukit buatan yang awalnya setinggi anak remaja, perlahan mengecil jadi hanya setinggi anak-anak yang baru duduk di sekolah dasar.

Di tempat lain, Linda terseok-seok mengangkat semua kain yang dijemurnya tadi pagi. Takut cairan pewangi yang digunakannya tidak berarti lagi akibat tertutup aroma jelaga dari sampah tetangga seberang. Lepas penjepit kain, tarik, lalu sampirkan ke lengan kiri. Gerakan mirip senam itu dilakukannya secara berulang-ulang. Baru memasuki baris ketiga, lengan kirinya sudah tak nampak lagi ditutupi oleh kain cuciannya sendiri. Mulai dari bahu sampai dengan pergelangan tangan, semuanya kain. Linda menghentikan sejenak gerakan senam dasarnya itu, dan masuk ke rumah guna meringankan beban di lengan kirinya. Sebelum akhirnya ia keluar lagi untuk mengambil sisa kainnya.

Ketika Linda masih berkutat dengan kain-kainnya yang berjumlah mega dahsyat, ia berpapasan dengan Nining yang kelihatannya baru saja kembali dari warung. Tangan kanannya menenteng sebuah plastik bening berisikan sebungkus biskuit dan sekotak teh celup. Mereka hanya bertukar senyum sebagai bentuk sapaan, lebih dari itu rasanya masih canggung akibat perseteruan antara Linda dan Imah yang terjadi tempo hari. Nining terus berjalan melewati rumah Linda, lalu berbelok ke arah kanan menuju rumahnya. Tak sengaja Nining menghirup udara yang sudah terkontaminasi asap pekat itu, sehingga menyebabkan riwayat penyakit asma yang dideritanya memaksa Nining terbatuk-batuk demikian kerasnya. Menguik-nguik sesakkan nafas. Langkah yang semula tegap kini mulai agak sempoyongan. Buru-buru ia tutupkan kain jilbabnya ke hidung, mencegah udara kotor masuk lebih banyak lagi ke rongga pernafasannya.

“Bah, kenapa uwak? Sakit?” Tanya Safar, anak bungsu Evi, yang kebetulan melintas di jalan serupa. Suaranya sedikit bergetar melihat kondisi Nining yang cukup memprihatinkan.

Lihat selengkapnya